KH. Makki Maimun Abdul Wafi: Kiai Pengayom Kader-Kader PMII Nurul Jadid

KH. Makki Maimun Abdul Wafi: Kiai Pengayom Kader-Kader PMII Nurul Jadid

KULIAHALISLAM.COM - Tubuhnya kecil, berkulit kuning langsat. Tatapan matanya tajam. Berpenampilan sederhana. Tutur katanya lembut dengan logat Madura yang khas dan timbrenya tipis. Intonasinya datar, tidak ekspresif. Murah senyum dan humoris. Refleks sekaligus antusias berbicara ketika diajak ngobrol, terutama soal bahasan ilmu-ilmu Keislaman.

Saat berjalan selalu merunduk kebawah dengan langkah-langkah kaki yang tertata. Sesekali tubuhnya terlihat “ringkih”, tapi pancaran wajah seorang Kiai terlihat begitu jelas. Kemana-mana selalu pakai sarung, nyaris tak pernah terlihat pakai celana panjang, berkopyah putih. Jika belum mengenal, orang akan menganggapnya sebagai orang yang klemak-klemek.

Namun, dibalik tubuhnya yang ringkih, tersimpan energi intelektual dan kejeniusan yang luar biasa. Itulah KH. Makki Maimun Wafi, putra Alm. Hadratussyaikh Hasan Abdul Wafi (1923-2000), salah satu Dewan Pengasuh Ponpes Nurul Jadid, dan Filsuf Nurul Jadid dimasanya.

Saya tidak menututi bagaimana Kiai Hasan Abdul Wafi, sepak kiprah dan kecintaannya kepada NU (Nahdlatul Ulama) di masanya. Alih-alih tak menututi, saya mengenang Kiai Hasan Abdul Wafi sebagai orang alim terutama di bidang fikih, teguh pendirian, dan memiliki komitmen ke-NU-an yang cukup kuat. Soal komitmen ke-NU-annya salah satunya tercermin melalui Shalawat Nahdhiyah-nya yang berkumandang di mana-mana.

Tak hanya itu, rupa-rupanya dalam berorganisasi, Kiai Hasan Abdul Wafi juga mengikuti jejak langkah Kiai Zaini Mun’im (1906-1976); aktif di NU bukan di organisasi lain. Bukan hanya menjadi warga NU biasa, Kiai Zaini pernah menjadi Rais Syuriah PCNU Kraksaan Probolinggo. Dan mengikuti jalan hidup Kiai Zaini, Kiai Hasan Abdul Wafi juga pernah menjabat Rais Syuriyah PCNU Kraksaan.

Konon, beliau Kiai Hasan Abdul Wafi, ketika tidak enak badan, sakit, akan segera sembuh jika mendengar ada tamu dari pengurus NU. Sama halnya dengan KH. Dhofir Munawwar (1923-1985), beliau akan segera pulih dari sakitnya, manakalah ada jadwal untuk mengajar kitab kuning di Mushallah Ibrahimy Sukorejo.

Kiai Maimun dan PMII

Dalam suatu kesempatan, Kiai Maimun pernah menyampaikan bahwa, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilahirkan oleh anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU) pada 17 April 1960 di Surabaya. Tentu, sebagai jawaban atas tidak menentunya kondisi politik nasional, yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis kebangsaan dan kerakyatan.

Karena itu, dalam catatan sejarah panjang bangsa dan sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sikap PMII tegas tidak pernah bergeser sejengkalpun, yakni berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. 62 tahun sudah organisasi biru kuning ini terus berkibar di tanah pusaka, untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa melalui solidaritas baru dan inovasi-inovasi baru.

Tidak berhenti disitu, lanjut Kiai Maimun, prinsip Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan akan terus (harus) diemban oleh kader-kader PMII, Nurul Jadid Khususnya. Dengan prinsipnya yang seperti itu, saya melihat kecintaannya Kiai Maimun kepada PMII, salah satu organisasi sayap NU, secara tidak langsung memberi pengalaman kepada saya untuk menyimpulkan bahwa, mungkin juga begitu kecintaan Kiai Hasan Abdul Wafi terhadap NU kala itu. Pepatah Arab mengatakan: 

الثمرة لا تسقط بعيدًا عن الشجرة

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.

Kiai Maimun bukan tipikal kiai yang duduk di ruangan sepi, menjauh dari gemuruh kehidupan, melainkan langsung terjun ketengah-tengah masyarakat, khususnya PMII. Rumahnya (dhalem) yang tak pernah sepi dari tamu, datang secara sama tanpa membedakan kelas-kelas sosialnya, mulai dari rakyat jelata (kaum primitif) hingga para elit penguasa papan atas (kaum kapitalis).

Syahdan, ditangan orang-orang seperti Kiai Maimun ini, PMII adalah bak sumur yang airnya tak pernah kering untuk ditimba. Jika ada yang mengkhawatirkan bahwa, sepeninggal Mahbub Djunaidi akan dilanda kelangkaan pendampingan dan pengayoman, maka fenomena Kiai Maimun ini akan menampik kekhawatiran itu.

Bagi sebagian orang mengayomi adalah aktivitas yang membosankan, lebih-lebih menakutkan. Mengapa demikian? Menjadi pengayom bukanlah pekerjaan enak dan menyenangkan. Ia harus siap menghadapi berbagai rintangan, mulai dari ocehan, hingga mengancam keselamatan dirinya apabila ada yang tidak senang. Namun, karena ingin suatu kebenaran merata tersampaikan dan hobi Kiai Maimun adalah mengayomi dan mendampingi maka, aktivitas dakwah ngayom-ngedampingi menjadi peristiwa yang menyenangkan.

Satu dawuh Kiai Maimun yang selalu saya ingat, “engko’ riah cong mon urusan PMII, pasti selalu ngopene bhen ngancaen cakanca PMII,” (Saya akan selalu mendampingi dan mengayomi kader-kader PMII UNUJA sampai titik darah penghabisan). Di lain kesempatan, Kiai Maimun juga pernah menyampaikan bahwa, santri juga punya potensi yang sama dengan temen-temen yang berada diluar pesantren (bukan santri). Dalam hal misalnya, meraih prestasi mulai dari tingkat lokal hingga internasional. 

Namun demikian, sambung Kiai Maimun, yang jelas prestasi tidak datang begitu saja, melainkan diperoleh melalui belajar yang tekun dan kerja keras yang tidak kenal lelah. Karena, faktor utama dalam keberhasilan adalah kemampuan kita dalam mengoptimalkan potensi, serta bakat yang terdapat pada diri kita masing-masing. Barangkali, ini yang dimaksud oleh Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim:

وقيل: من طلب شيئا وجد وجد، ومن قرع الباب ولج ولج. وقيل: بقدرما تتعنى تنال ما تتمنى

“Dan dikatakan: “siapa yang sungguh-sungguh dalam mencari sesuatu pastilah ketemu”. “Barangsiapa yang mengetuk pintu bertubi-tubi, pasti dapat memasuki”. Dan dikatakan lagi: “Sejauh mana usahamu, pasti sekian pula tercapai cita-citamu”.

Pepatah lain juga mengatakan:

من جد وجد ومن زرع حصد ومن سار على الدرب وصل

“Barang siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil, barang siapa menanam dia yang memetik, barang siapa yang berjalan dia akan sampai”. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Ar-Ra’d: 11;

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَ نْفُسِهِمْ ۗ وَاِ ذَاۤ اَرَا دَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّا لٍ

Artinya:“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Kiai Maimun dan Konsep Wasathiyah

Mafhum, prinsip wasathiyah diyakini sebagai sebuah cara pandang atau metodologi yang paling tepat dalam kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Keyakinan akan ketepatan sikap wasathiyah ini dilandaskan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Artinya:“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143).

Bagi Kiai Maimun, wasathiyah dalam paradigma moderat setidaknya cenderung pada tiga hal yang di antaranya: pertama, hak antara dua kebatilan dan adil antar dua kezhaliman (حق بين الباطلين وعدل بين ظالمين). Kedua, pemaduan di antara dua hal yang berbeda antara jasmani dan rohani, aql dan naql serta dunia dan akhirat. Ketiga, realitas (waqi’iyyah).

Disini PMII selaku jam’iyyah yang mempunyai manhaj ahlussunnah waljama’ah dengan watak wasathiyyah tercermin dalam aspek aqidah, fikih/syariah, akhlaq/tasawuf terjadi dalam beberapa hal: melandaskan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum primer dan sekunder. Ijtihad sebagai otoritas dalam menjawab persoalan dalam Islam apabila memenuhi kriteria berijtihad, apabila tidak memenuhinya maka harus bermadzhab dengan ashabul madzahib yang empat.

Secara tidak langsung, PMII sebagai anak kandung NU, juga membuka ruang bermahdzab secara “manhaji” pada permasalahan yang tidak selesai bermadzhab secara qauli. Pola bermahdzab dalam PMII (sebagaimana mestinya NU) berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fikih, dan akhlak/tasawuf.

Di bidang syariah/fikih, PMII mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Di bidang akidah mengikuti mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sementara itu, di bidang akhlak/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Hakikatnya, poin watak wasathiyah dalam diri PMII (tetap mengikuti NU) selain dari dua diatas, tercermin pada delapan poin lainnya yang berorientasi pada dakwah, realitas bernegara dan berdaulat, menolak prinsip takfiri, tidak adanya orang ma’sum (terhindar dari dosa) setelah nabi Muhammad SAW, masalah khilafiyyah bainal muslimin, ukhuwah islamiyyah dan keseimbangan jasmani dan rohani.

Ala kulli hal, saya sebagai santrinya sekaligus kader beliau, berharap semoga Kiai Maimun tetap sehat dan terus mengedukasi untuk izzu NU wa al-nahdhiyyin, izzul Islam wal muslimin, izzu Indonesia wal indunisiyyin.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال