Islam Tanpa Mazhab dalam Pandangan Filosofis Imam Murthada Muthahari


Imam Murthada Muthahari lahir di Fariman, Khurasan tanggal 02 Februari 1919 dan wafat di Teheran 20 Mei 1979. Ia merupakan seorang ulama dan filsuf terkemuka Islam kontemporer berkebangsaan Iran yang mampu memadukan dua sisi pemikiran Islam yang sering dianggap saling bertentangan yaitu tradisionalisme dan rasionalisme dalam kemasan yang baik. 

Syahid Murthada Muthahari mencerminkan sosok ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama. Kekuataan analisisnya dan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai bidang ilmu agama dan filsafat Islam dan Barat membuat kajian-kajiannya menghadapi persoalan yang dihadapi kaum Muslimin dalam abad modren sangat mengikat semua lapisan masyarakat.

Islam Sebuah Mazhab yang Lengkap

Imam Murthada Muthahari dalam karyanya “ Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya” menyatakan bahwa Islam didasarkan pada konsepsi yang sempurna tentang alam semesta, merupakan sebuah Mazhab yang realistis dan lengkap.

 Dalam Islam, semua aspek kebutuhan manusia baik kebutuhan jasmaniah maupun kebutuhan spritiual, intelektual maupun mental, kebutuhan-kebutuhan individu maupun masyarakat, kebutuhan yang berkenaan dengan dunia fana maupun akhirat mendapat perhatian.

Ajaran Islam meliputi tiga bagian. Pertama, ajaran doktrinal atau prinsip pokok. Dalam ajaran doktrinal atau prinsip pokok ini semua orang diminta beriman. Kedua, hukum moral atrau kualitas yang ditanamkan seseorang Muslim pada dirinya. Ketiga, hukum atau garis kebijaksanaan berkenaan dengan dunia fana ini atau yang berkaitan dengan akhirat. Setiap orang berkewajiban menerima ajaran doktrinal dengan sukarela dan independen setelah meyakini ajaran tersebut.

Dari sudut pandang Islam, ibadah tidak hanya ibadah fisik saja seperti Shalat dan Puasa, atau tidak hanya ibadah finansial saja seperti membayar zakat. Ada ibadah lain seperti ibadah berupa berpikir dan merenung. Karena ibadah mental ini membuat manusia sadar, maka ibadah ini jauh lebih baik dibandingkan ibadah fisik.

Penyebab Berpikir Keliru

Imam Murthada Muthahari menyatakan Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir dan menarik kesimpulan. Menurut Al-Qur’an, berpikir merupakan bagian dari ibadah. Al-Qur’an tidak mau kalau orang mempercayai ajaran doktrinal Al-Qur’an bukan dari hasil pemikiran yang benar. 

Dalam hubungan ini, Islam memperhatikan satu hal pokok yaitu Islam menunjukan penyebab berpikir keliru dan menjelaskan bagaimana cara menghindari kekeliruan dan penyimpangan. Al-Qur’an menyebutkan sejumlah faktor penyebab kekeliruan, kekeliruan tersebut adalah :

1.   Bersandar Pada Persangkaan, Bukan Pada Pengetahuan yang Pasti

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-An’am ayat 116 : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang, niscaya mereka akan menjauhkanmu dari jalan yang benar. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka”. Dan Al-Qur’an melarang mengikuti persangkaan keras : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (Q.S al-Isra ayat 36)”.

Para Filusuf mengakui bahwa persangkaan merupakan penyebab utama kekeliruan. Berabad-abad setelah turunnya Al-Qur’an, Descartes menyebut ini sebagai prinsip pertama logikanya, katanya : “Aku menganggap sesuatu itu sebagai realitas kalau sesuatu itu sudah jelas bagiku. Aku tidak mau ketergesaan, menghubung-hubungkan gagasan dan kecenderungan. Aku hanya menerima yang sudah begitu jelas, sehingga tidak ada keraguan tentangnya”.

2.   Prasangka dan Hawa Nafsu

Jika manusia ingin memberikan penilaian yang benar, maka dia harus benar-benar bersikap adil. Jika manusia bersikap tidak netral dan pemikirannya berat sebelah, secara tidak disadari pemikirannya akan condong ke hawa nafsunya dan apa yang disukai hawa nafsunya. 

Itulah sebabnya Al-Qur’an memandang hawa nafsu dan juga bersandar pada persangkaan sebagai sumber kesalahan. Allah berfirma  dalam Al-Qur’an : “ Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini hawa nafsu mereka (Q.S An-Najm ayat 23)”.

3.   Tergesa-Gesa

Untuk mengemukakan pendapat mengenai suatu persoalan, kita harus memiliki bukti yang memadai. Kalau belum ada bukti yang cukup, boleh jadi pendapat yang dikemukakan akan salah. 

Berulang-ulang Al-Qur’an mengatakan  bahwa pengetahuan manusia belum memadai untuk mengemukakan pendapat mengenai banyak masalah penting.  Misalnya Allah berfirman dalam Al-Qur’an : “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (Q.S al-Isra ayat 85)”.

Imam Ja’far Shadiq berkata : “ Dalam dua ayat Al-Qur’an itu, ada dua peringatan Allah untuk manusia. Allah berfirman agar manusia tidak mempercayai sesuatu kecuali tahu betul tentang sesuatu itu (peringatan agar jangan buru-buru percaya).

 Allah berfirman agar manusia tidak menolak sesuatu, kecuali tahu dengan pasti tentang sesuatu itu (peringatan agar jangan buru-buru menolak). Dalam sebuah ayat, Allah berfirman : “ Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan mengenai Allah kecuali yang benar ? (Q.S al-A’raf ayat 169)”. 

Dalam ayat lain, Allah berfirman : “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti (Q.S Yunus ayat 39)”.

4.   Berpikir Tradisional dan Melihat ke Masa Lalu

Kecenderungan alamiah manusia adalah cepat menerima gagasan atau kepercayaan yang sudah diterima oleh generasi sebelumnya, tanpa memikirkannya lebih jauh.

 Al-Qur’an suci mengingatkan manusia agar berpikir independen dan agar tidak menerima apa pun tanpa menilainya dengan seksama dan semata-mata karena sudah diterima oleh generasi sebelumnya.

 Al-Qur’an menyebutkan : “ Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek moyang kami. Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapatkan petunjuk (Q.S al-Baqarah ayat 170)”.

5.   Memuja Tokoh

Yang juga menyebabkan terjadinya salah berpikir adalah memuja tokoh. Akibat sangat dihormati, tokoh sejarah dan tokoh kontemporer yang termasyhur mempengaruhi pemikiran dan kehendak orang.

 Sesungguhnya tokoh-tokoh terkenal mengendalikan pemikiran orang. Orang berpikiran seperti pikiran tokoh dan berpendapat seperti pendapat tokoh. Orang tidak berani beda dengan tokoh dan karena itu orang kehilangan kemerdekaan berpikir dan berkendak.

Al-Qur’an menyeru kita agar berpikir independen dan agar jangan membabi buta mengikuti orang-orang tua, karena dengan berbuat demikian, ada kemungkinan kita akan mendapat nasib buruk. Al-Qur’an mengatakan bahwa pada Hari Pengadilan orang-orang yang sesat akan berkata : “ Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar (Q.S al-Ahzab ayat 67)”.

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال