Gerakan Pembaharuan Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam Analisis Prof. Dr. Harun Nasution


Prof. Dr. Harun Nasution merupakan salah satu Intelektual Muslim terkemuka di bidang Filsafat, sekaligus tokoh pembaharuan Islam di Indonesia. Harun Nasution lahir di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, 23 September 1919 dan wafat di Jakarta pada tanggal 18 September 1998. Harun Nasution merupakan putera dari Abdul Jabbar Ahmad yang menjadi Qadi dan penghulu di Pematangsiantar.

Pada tahun 1983, ia melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir dan tamat tahun 1940, kemudian pada tahun 1952, Harun Nasution menyelesaikan studi Sosial dengan gelar Sarjana Muda dari Universitas Amerika di Cairo. Selanjutnya, ia dipilih menjadi Diplomat di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels. Ia banyak mewakili Indonesia di sana terutama karena ia menguasai bahasa Belanda, Prancis, Inggris dan penguasaanya terhadap masalah politik luar negeri Indonesia saat itu.

Karena pengaruh Komunis yang semakin kuat di Indonesia, ia memutuskan keluar dari Kedutaan karena Harun Nasution anti Komunisme, kemudian ia melanjutkan studi di ad-Dirasat al Islamiyah, Mesir. Studinya di Mesir tidak dilanjutkan karena tidak ada biyaya. Kemudian, ia menerima Beasiswa dari Institute of Islamic Sudies McGill di Montreal, Canada. Ia berhasil meraih gelar Magister dan Doktor dalam bidang studi Islam pada Universitas McGill dengan Desertasi yang berjudul “The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology : its Impact on His Theological System and Views”.

Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air dan menjadi Dosen di IAIN Jakarta kemudian menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta selama 11 tahun dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Harun Nasution dikenal sebagai Intelektual yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam di bidang Filsafat, Teologi, Mistisme, dan Hukum

Gerakan Pembaharuan Islam Muhammad bin Abdul Wahab di Arabia

Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “ Pembaharuan dalam Islam” menyebutkan bahwa pada abad kesembilan belas di Arabia timbul aliran Wahabiah. Pencetusnya adalah Muhammad bin Abdulwahhab (1703-1787). Ia berasal dari Nejd di Arabia. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Madinah, ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Baghdad dan menikah dengan seorang wanita yang kaya. Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan, selanjutnya ke Hamdan dan ke Isfahan.

Di Isfahan, ia sempat mempelajari Filsafat dan Tasawuf. Setelah bertahun-tahun dalam pengembaraan, ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Nejd. Pemikirannya yang dicetuskan Muhammad bin Abdulwahhab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat dalam Kerajaan Mughal dan Dinasti Turki Usmani tetapi sebagai reaksi terhadap paham Tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam waktu itu.

Kemurnian paham Tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran terekat yang semenjak abad ketiga belas memang tersebar luas di Dunia Islam. Di tiap negara yang dikunjunginya Muhammad bin Abdulwahhab melihat kuburan-kuburan Syekh tarekat bertebaran di tiap kota. Sebagian umat Islam pergi naik Haji dan meminta pertolongan dari Syekh atau wali yang dikuburkan didalamnya untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan mereka. Ada yang meminta pertolongan supaya diberi anak dan ada pula meminta supaya diberi jodoh.

Syekh atau Wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi manusia di alam ini. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan  dan doa tidak langsung lagi dipanjatkan kepada Allah tetapi melalui syafaat Syekh atau wali tarekat yang dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan.

 Ahmad Amin berkata “ bagi mereka Tuhan menyerupai Raja dunia zalim yang untuk memperoleh belas kasihannya harus didekati melalui orang-orang besar dan berkuasa yang ada disekitarnyar dan berkuasa yang ada disekitarnya".

Muhammad bin Abdul Wahhab melihat kemurnian Tauhid bukan hanya dirusak karena memuja para syekh atau wali saja. Faham aninisme masih mempengaruhi keyakinan umat Islam. Syrik adalah dosa terbesar terbesar dalam Islam dan dosa yang tidak dapat diampuni Tuhan. Soal  Tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam, oleh karena itu tidak mengherankan kalau Muhammad bin Abdul Wahhab memusatkan perhatian pada soal ini. Ia berpendapat :

  1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh ataub wali dan dari kekuatan ghaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
  3. Menyebut nama Nabi, Syekh atau Malikat sebagai pengantara doa juga merupakan syrik.
  4. Bernazar kepada selain Tuhan juga syrik.
  5. Memperoleh pengetahuan selain  dari Al-Qur’an , hadis dan qias merupakan kekufuran.
  6. Tidak percaya kepada Qada dan kadar Tuhan merupakan kekufuran.

Semua yang di atas ia anggap bidah dan  bidah adalah kesesatan. Untuk melepaskan umat Islam dari kesesatan ini, ia berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada Islam yang asli yaitu Islam yang dipraktikan pada masa Nabi, sahabat serta tabi’iin sampai pada abad ketiga hijrah.

Kepercayaan dan praktik-praktik lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran asli dari Islam dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taklid dan patuh kepada pendapat Ulama sesudah abad ketiga tidak dibenarkan.

Pendapat dan penafsiran Ulama tidaklah merupakan sumber dari ajaran-ajaran Islam. Sumber yang diakuinya hanyalah Al-Qur’an dan Hadis. Dan untuk memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam kedua sumber itu dipakai ijtihad. Baginya pintu ijtihad tidak tertutup. Sama dengan Syah Waliullah dari India, Muhammad bin Abdul wahhab juga pengikut Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Sau’ud dan puteranya Abd Al-Aziz di Nejd. Faham-faham Muhammad bin Abdul Wahhab mulai tersiar dan golongannya bertambah kuat sehingga di tahun 1773 mereka dapat menduduki Riyadh. 

Pada tahun 1787 Muhammad bin Abdul Wahahhab wafat tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang disebut dengan Wahabiyah.

Pada tahun 1802, pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab menyerang Padang Pasir Karbala karena di kota ini terdapat makam Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beberapa tahun kemudian mereka menyerang kota suci Madinah dan menghancurkan kubah-kubah yang ada di atas kuburan-kuburan. Hiasan-hiasan yang ada dikuburan Nabi dirusak.  Kiswah sutra yang menutupi Ka’bah juga dirusak karena semua itu adalah bidah.

Sultan Mahmmud II penguasa Dinasti Turki Usmani memberi perintah kepada Khedewi Muhammad Ali di Mesir supaya menghancurkan gerakan Wahabi. 

Ekaspedisi yang dikirim dari Mesir dapat membebaskan Madinah dan Mekkah di tahun 1813 namun kota ini jatuh kembali ke tangan wahabiah di tahun 1804 dan 1806. Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang mempunyai pengaruh adalah:

  1. Hanya Al-Qur’an dan Hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat Ulama tidak merupakan sumber.
  2. Taklid kepada Ulama tidak dibenarkan.
  3. Pintu Ijtihad terbuka.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال