Menyambut Idul Fitri 1443 H: Refleksi Peningkatan Kualitas Iman dan Takwa

Menyambut Idul Fitri 1443 H: Refleksi Peningkatan Kualitas Iman dan Takwa

Di Indonesia ada dua hari besar agama Islam yang selalu dirayakan dengan meraih dan kesibukan yang tinggi yaitu hari raya Idul Fitri dan hari Raya Idul Adha. Hampir setiap orang dari semua kalangan masyarakat di negeri ini ikut menyibukkan diri menghadapi dua peristiwa tahunan  ini. 

Dari dua hari raya ini, Idul Fitrilah yang paling ramai dan paling spektakuler dirayakan. Bagaimana tidak, semua tenaga dan waktu terkuras dalam menyongsong hari raya Idul Fitri. 

Tidak hanya umat Islam saja yang disibukkan dengan Idul Fitri, tetapi hampir semua orang baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua instansi pemerintah mapun swasta di negeri ini juga menjadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk saling berbagi dan membina tali komunikasi antar warganya, juga dengan masyarakat sekitarnya.

Hal ini terlihat bagaimana instansi-instansi tersebut menyediakan  bingkisan lebaran, menyediakkan kendaraaan gratis untuk mudik para karyawan, serta mengadakan acara syawalan sebagai bentuk syukur kepada Allah atas selesainya pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Idul Fitri sebagai momen yang sangat istimewa. Idul Fitri sering dijadikan ajang untuk pamer kemewahan dan kesuksesan dalam meraih prestasi-prestasi duniawi yang jauh dari karakter-karakter nilai karakter mulia yang mengharuskan kesederhaan dan keantunan yang dipandu dengan peningkatan kualitas iman dan takwa. 

Pada perayaan Idul Fitri sebagaian masyarakat terkadang pulang kampung untuk memamerkan keberhasilan mereka bekerja di kota dengan berfoya-foya dan berlebih-lebhan di kampung halaman. 

Sehingga tidak aneh jika pada akhir bulan Ramadan, pusat berbelanjaan, pasar-pasar atau mall-mal banyak dikunjungi pengunjung yang berbelanja untuk kebutuhan Idul Fitri, sehingga sering kali kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang sering ditemui di pusat-pusat kota.

Di Indonesia Idul Fitri sering di tandai dengan adanya tradisi mudik. Mudik dianggap fenomenal, karena mudik terjadi secara serentak dan searah yaitu terjadi mobilisasi jutaan manusia dari pusat kota menuju daerah-daerah pedesaan dan kota-kota kecil lainnya. 

Umat Islam pada umumnya merayakan dengan berbagai ungkapan kegembiraan tidak terkecuali sebagian masyarakat, membeli baju baru, membangun rumah yang baru, dan lain sebagainya. 

Sehingga terkesan bahwa mereka telah berhasil ketika merantau atau sukses di tempat bekerja. Padahal uanng yang mereka pakai untuk berlebaran adalah uang hasil tabungan selama ini. 

Banyak juga di antara mereka yang terpaksa menunda pulang kampung di karenakan tabungan yang akan dibagi-bagikan kepada saudara dan tetangga dirasa belum cukup, sehingga terpaksa harus menabung lagi untuk berlebaran pada tahun berikutnya.

Selain itu yang menjadi fenomena menjelang hari raya Idul Fitri atau masuk pekan di bulan Ramadan di sebagaian masyarakat Lamongan yaitu menggunakan petasan dan pesta kembang api untuk meramaikan suasana. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang hanya untuk membakar petasan kembang api berhari-hari.

Idul Fitri terkadang dijadikan sebagai kesempatan atau momen bagi sebagaian masyarakat Lamongan untuk memiliki hal-hal yang baru. Seperti sepatu baru, baju baru, tas baru, jam tangan baru dan lain-lain yang serba baru. 

Sudah menjadi kebudayaan di hari lebaran Idul Fitri untuk membeli kebutuhan yang serba baru. Bahkan anggapan sebagian masyarakat “Kalau tidak baru bukan lebaran namanya”.

Dalam ajaran Islam ada perintah untuk selalu hidup sederhana dan larangan berlaku boros, berlebih-lebihan dan pesta pora. Aturan dan kaidah berkonsumsi dalam sistem ekonomi Islam menganut paham kesederhanaan dan keseimbangan dalam berbagai aspek. 

Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan masyarakat. Selain itu tidak diperbolehkannya mendikotomikan anatara kenikmatan dunia dan akhirat. Bahkan sikap ekstrim pun harus dijauhkan dalam berkomsi. 

Larangan atas sikap berlebihan dan boros, bukan berarti mengajak seorang muslim untuk bersikap bakhil dan kikir. Akan tetapi mengajak kepada konsep keseimbangan, karena sebaik-baiknya perkara adalah tengan-tengahnya.

“Hai anak Adam. Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf ayat 31).

“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (Supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya erkataan, kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Israa ayat 16).

Refleksi Menyambut Idul Fitri

Ramadan yang telah dijalani selama sebulan penuh adalah ladang untuk mengumulkan amal kebaikan. Merugi bagi sebagian kaum muslimin karena telah menyianyiakan momen Ramadan karena tida menyibukkan diri dengan ibadah. Sudah sejauh mana bekal yang diperoleh selama Ramadan ini.

Pertama, orang yang mengerti dan memenuhi hak-hak Ramadan sebagaimana mestinya. Mereka puasa di siang harinya, beribadah di malam harinya, dan makan dari harta yang halal, menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. 

Mereka bersungguh-sungguh beribadah dengan tujuan meraih ridla Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang yang di pagi hari mendapatkan upah atas segala jerih payah yang mereka kerahkan.

Kelompok orang dari jenis pertama ini adalah ahlullah. Mereka akan menjadi orang spesial di hadapan Allah pada waktu bumi ini sudah diganti bukan berbentuk bumi, langit sudah berganti tidak sebagaimana langit yang kita saksikan, dunia ini sudah rusak luluh lantak, di mana para manusia telah memasuki era baru akhirat. 

“Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.” (QS. Ali Imran: 185).

Pada hari itu pula para malaikat gembira melihat orang-orang mu’min, mereka masuk ke surga dari semua pintu-pintu yang disediakan atas buah kesabaran mereka menahan hawa nafsu makan, minum, dan maksiat lain di bulan Ramadan serta mereka juga sabar menjalankan ibadah malam dan ibadah lain, sehingga atas kesabaran mereka, dikatakan:

“Malaikat-malaikat itu mengucapkan (Kesejahteraan buat kalian) yakni pahala ini (Berkat kesabaran kalian) sewaktu kalian di dunia (Maka alangkah baiknya tempat kesudahan ini) akibat dari perbuatan kalian itu.” (QS. Ar’Ra’d: 24).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah menyatakan, di dalam bulan Ramadan ada lima hal yang tidak pernah diberikan kepada satu umat pun sebelum Nabi Muhammad Saw yaitu pada malam pertama Ramadan, Allah memandang kepada semua umat Muhammad. 

Barang siapa pernah dipandang oleh Allah, tidak pernah disiksa selamanya. Kedua, mulut orang yang berpuasa ketika memasuki sore hari, baunya secara hakikat, menjadi lebih harum daripada minyak kasturi. 

Ketiga. Setiap sehari semalam, selama Ramadan, para malaikat memintakan ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Keempat, Allah bersabda kepada surga, “Persiapkan tempatmu, hiasilah dirimu dengan perhiasan yang indah untuk hamba-Ku yang meluangkan diri meninggalkan kerepotan atau hiruk pikuk duniawi, kemudian sibuk menuju kepada kemurahan-Ku.”

Rasul menjawab: Bukan, apakah kamu tidak melihat para karyawan yang sedang bekerja? Ketika mereka telah menyelesaikan tugas mereka, tentu mereka akan mendapatkan gajian.

Pada intinya, sebagaimana, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 17)

Kelompok atau jenis manusia yang kedua adalah orang-orang yang tidak menghormati Ramadan dengan baik. Kelompok ini dibagi menjadi dua bagian. 

Yang pertama adalah orang-orang yang tidak mengindahkan perintah Allah atas dasar somong. Mereka tidak mau puasa dan lain  sebagainya karena tidak percaya kepada perintah Al-Qur’an dengan faktor keangkuhan di hati mereka.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Satu kelompok lagi adalah orang-orang yang tidak berpuasa, tidak memenuhi hak-hak Ramadan dengan baik namun tidak didasari dengan kesombongan. 

Mereka orang-orang yang sembrono dalam menjalani hidup namun dalam hati mereka tertancap keyakinan bahwa mereka lakukan adalah kesalahan, maksiyat kepada Allah, akan tetapi mereka merasa kalah dengan serangan nafsu amarah mereka, mereka termasuk orang yang lemah.

“Manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)

Pada kelompok ini, ketika mereka meninggalkan kewajiban puasa, misalnya. Mereka sembari bermunajat kepada Allah, “Ya Allah, saya sedang sembrono, tidak mengindahkan perintah-Mu. Kami kalah dengan godaan hawa nafsu, godaan saya teramat berat, semoga Engkau mengampuni kami, terimalah tobat kami.” 

Maka, tidak diragukan lagi, Allah pasti akan mengampuni mereka sebab Allah maha pengampun, meskipun kewajiban seperti qadla puasa dan lain sebagainya tetap harus dijalankan.

Penulis: Fathan Faris Saputro (Redaksi Pelaksana Kuliahalislam.com)

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال