Khitabah, Jadal, Burhan, dan Masyarakat yang Tak Sadar Menjadi Korban

Khitabah, Jadal, Burhan, dan Masyarakat yang Tak Sadar Menjadi Korban

OLEH: IBNU RUSYD

Ia dianggap sedarah dengan Nabi. Tatkala ia bersuara, para pendengarnya menanti-nanti hidayah. Di dunia yang lebih nyata, hakikatnya sebagai penguras emosi massa terlihat jelas bagi mereka yang berakal.

Tak terhitung provokasi dan ucapan kebencian mengalir melalui pita suaranya. Ia makin populer dan kelompoknya makin ditakuti, seperti pemalak ditakuti pedagang kaki lima.

Di lain lokasi, seseorang kebanjiran sanjungan. Dari jauh tampak ada sayap putih di pundaknya. Ternyata itu sorban. Ke mana-mana ia kenakan sebagai lambang bagi pangkat Kiai yang disematkan padanya.

Indah nian melihat ribuan jamaah rebutan mendekatinya. Namun sama sekali tidak indah ribuan kali konflik purbakala antara Sunni-Syiah ia ceramahkan.

Tak jauh, agak belok sedikit ke kanan ada sebuah keramaian. Tampak seorang agamawan muda penuh energi mencaci-maki seorang doktor liberal.

Berbekal buku-buku logika yang ditulisnya ia mendapat banyak pemuja. Dengan logika pula ia beretorika dan mendebat si doktor liberal, sosok yang ia tuduh membawa virus orientalisme dan kesesatan.

Ribuan pemuja sang ahli logika tersihir. Mungkin karena mereka sendiri tak pernah membaca buku logika pujaannya itu. Tak sampai mampu mata mereka untuk dapat melihat bahwa sang pendekar menjatuhkan derajat logika pada level Jadal dan Khitabah

***

Alkisah, begitulah satu realitas agak penting yang belum lama ini berlangsung di tengah-tengah Dunia Islam di Tanah Air. 

Tiga jenis agamawan di atas bergabung dalam satu orkestrasi yang memukau, membawakan musik nyaring berjudul: Kemunduran Pemikiran Umat Islam.

Mereka bertiga dengan apik memainkan peran lokomotif peradaban baru Islam. Lokomotif baru yang menarik umat dan followersnya menuju gerbang kekakuan berpikir, egosentrisme, dan eksklusivisme massal.

Sebuah kabar baik, tampaknya. Ternyata gerbong peradaban Islam tak pernah berhenti melaju. Ia melaju cepat, berhasil menggoda banyak followers di metaverse untuk ikut berjuang.

Masalahnya, muqallidun itu belum juga sadar bahwa laju cepat itu bukan ke depan, namun justru sebaliknya.

Tiga lokomotif yang menarik mereka tidak membawa mereka semakin pintar, namun semakin berkubang dalam egosentrisme zaman purba. Konsekuensinya fatal. Kebencian pada pihak lain yang dicap sesat tumbuh subur di sepanjang jalan.

***

Bagaikan sinar lampu neon di tengah-tengah gua di atas gunung di malam hari tanpa Bulan, narasi dan redaksi mereka sangat jelas adalah narasi Khitabah dan Jadal—sangat amat jauh dari metode-metode Burhan.

Masyarakat yang tersihir tak satu pun yang paham bahwa Khitabah bertujuan untuk menguras emosi massa, tanpa harus peduli pada benar tidaknya apa yang disampaikan.

Juga tak terlalu tahu bahwa Jadal bertujuan untuk menjatuhkan opini orang lain, tanpa peduli bahwa yang diserang ternyata tidak salah sepenuhnya.

Tiga jenis tokoh Muslim di atas merinding memandang diri mereka sendiri di depan cermin, tampak di matanya bahwa dirinya amat pandai ber-Khitabah, amat lihai ber-Jadal.

Terasa mengalir di uratnya darah para pejuang agama yang tak kenal takut memerangi musuh-musuh agama: Barat, Syiah, dan Orientalis.

***

Jauh di sudut-sudut desa kecil, terlihat agamawan lain (bukan mereka bertiga), yang juga memakai Khitabah (nama lainnya, Retorika).

Ia berceramah untuk hal-hal sejuk, seperti mengajak orang membantu orang lain, mengajak orang bersabar atas kesulitan, dan mengajak orang hidup bergotong-royong.

Jauh di tepi kota-kota besar, samar terlihat agamawan lain (lagi-lagi bukan mereka bertiga), yang juga memakai Jadal (nama lainnya, Dialektika).

Ia berdebat untuk memunculkan rasa keadilan publik, supaya rakyat kecil, yaitu kita yang mayoritas ini, mampu bersikap kritis atas pemilik modal, bos, juragan, dan pemerintah.

Kekuatan Jadal dipakainya untuk mengingatkan kaum buruh dan pekerja bahwa mereka punya hak-hak asasi yang harus dihormati oleh para bos, juragan, dan pemerintah.

Sementara tiga jenis agamawan sebelumnya menggunakan Retorika dan Dialektika untuk membuat Anda berpikir, misalnya, bahwa Barat itu sekuler dan kafir, karenanya semua filsafat dan ide-ide Barat harus ditandai bahaya, bahwa Syiah itu musuh selama-lamanya, dan bahwa orang-orang Barat itu perusak akidah Islam, sehingga amit-amit jika ada doktor beragama Islam tapi justru mendukung teori-teori studi Islam dari Barat.

***

Tiga agamawan tadi punya banyak kelebihan. Persediaan energi mereka cukup banyak untuk dipakai menggerakkan lokomotif peradaban. Dari segi keturunan, segi kekayaan, dan segi pendidikan, mereka dianggap sebagai yang paling menawan.

Masyarakat dan followers berbondong-bondong masuk ke barisan yang mereka sediakan, duduk manis mematuhi segala ceramah dan debat yang dipertontonkan.

Tak seorang pun yang sadar bahwa tak satu pun argumentasi tokoh-tokoh mereka itu yang mencapai level Burhan, level objektivitas ilmiah.

Seribu satu sayang, semua kelebihan itu dan semua penguasaan atas khazanah Islam klasiknya dipakai bukan untuk menegakkan rasionalitas dan objektivitas.

Bagai pendekar yang bangun ba'da azan Zuhur, mereka menghunus-hunuskan kehebatan Retorika dan Dialektika untuk menjatuhkan sang monster: Barat, Syiah, dan Orientalis.

Kala pedang diayun-ayunkan oleh mereka, masyarakat terpana, terpukau, mulut mereka menganga, layaknya menyaksikan sosok-sosok yang dijanjikan di akhir zaman telah tiba.

Masyarakat dengan bangga ikut-ikutan mengayunkan apa pun yang ada di tangannya. Mission completed, tujuan pun terpenuhi: Kebencian berhasil dipertahankan, nalar berhasil disingkirkan.

Tak terhitung banyaknya orang yang ikut menaiki gerbong yang ditarik oleh tiga macam lokomotif baru dunia Islam tersebut.

Bersama lokomotifnya itu, masyarakat kita yang budiman dengan ridha memasuki gerbang yang sudah lama mereka nanti-nantikan: Babak Baru Kegelapan Intelektual di Dunia Islam. 

***

Gambar: Buku saya yang baru saja terbit. Insya Allah terjun ke pasar setelah kita semua berlebaran. Yang penting bukan buku saya ini. Yang penting adalah: Kasihan masyarakat kita (para umat dan followers), tanpa sadar beramai-ramai masuk ke mode berpikir gelap.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال