Hijab dan Kebangkitan Wanita Islam dalam Analisis Leila Ahmed (Guru Besar Studi IslamTerkemuka di Barat)

Hijab dan Kebangkitan Wanita Islam dalam Analisis Leila Ahmed (Guru Besar Studi IslamTerkemuka di Barat)

Leila Ahmed lahir tahun 1940 adalah seorang Sarjana Islam Mesir-Amerika. Ayahnya berdarah Mesir dan Ibunya berdarah Turki. Keluarga Leila Ahmed dikucilkan secara politik oleh Presiden Mesir yaitu Gamal Abdel Nasser. Leila Ahmed memperoleh gelar sarjana dan Doktor dari University of Cambridge dan menjadi Guru Besar Studi Wanita dan studi Timur dekat di University of Massachusetts di Amherst dan menjadi Guru Besar dalam Studi Wanita dan Agama di Harvard Divinity School. Ia adalah wanita muslim yang terkemuka di Barat.

Wacana Hijab

Prof. Leila Ahmed dalam bukunya “ Women and Gender in Islam : Historical Roots of a Modren Debate (Wanita dan gender dalam Islam : akar-akar historis perdebatan modren) menyebutkan bahwa Qasim Amin pada tahun 1889 menulis buku Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Kaum Wanita). 

Karya Qasim Amin ini telah menyebabkan lahirnya perdebatan yang intens dan sengit. Tesis utma Tahir al-Mar’ah adalah argumen-argumen mengenai kaum wanita ditanamkan : mengubah adat-istiadat berkenaan dengan kaum wanita dan mengganti buasana mereka khususnya dengan menghapus Hijab mereka.

Kemarahan dan kecaman yang disulut karya Qassim Amin baru bisa dipahami ketika orang mempertimbangkan bukan pembaharuan substansif bagi kaum wanita yang dianjurkannya melainkan pertama, pembaharuan simbolisme penanggalan Hijab yang dipaksakannya dan kedua,  perubahan fundamental dalam kebudayaan dan masyarakat. Karya Qassim Amin secara tradisional telah dianggap menandai awal-mula Feminisme dalam kebudayaan Arab. Penerbitannya dan perdebatan yang menyusul kemudian pastilah menjadi momen penting dalam sejarah wanita Arab. Di Mesir, kehadiran kolonial Inggris merupakan komponen-komponen kritis dalam situasi yang menyaksikan munculnya wacana baru tentang Hijab.

Kehadiran kolonial Inggris di Mesir membuat rakyat Mesir termasuk para Ulamanya terpengaruh oleh penetrasi Barat. Para pedagang tidak mampu produknya  bersaing dengan produk Barat atau tergusur oleh berbagai kepentingan Barat. Hukum Barat ikut serta memperbaharui Hukum Syariah yang berlaku di Mesir.

 Orang-orang beralih ke pendidikan sekuler tipe Barat. Di antara kelompok-kelompok politik yang bersuara dalam Pres sewaktu karya Qassim Amin diterbitkan adalah kelompok yang sangat mendukung kolonialisasi Inggris dan menganjurkan untuk mengadopsi pandangan dan kebudayaan Eropa. Orang-orang Kristen Syria menerbitkan Harian pro-Inggris bernama al-Muqattam untuk mendukung pemikiran Qassim Amin.

Disisi lain, Syekh Yusuf Ali dan Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani) mati-matian menentang Inggris dan westrenisasi tetapi ia mendukung Nasionalisme Sekuler. Kehadiran Kolonial dan agenda ekonomi serta politik Inggris memainkan peranan besar dalam memperlebar kesenjangan antara kelas, memberikan dasar yang kukuh pada momen ini bagi munculnya isu kebudayaan yang besifat kontroversial.

Akan tetapi mengapa perdebatan tentang kebudayaan mesti memusat pada kaum wanita dan Hijab ? dan mengapa Qassim Amin menghubungkan isu-isu itu sebagai kunci menuju transformasi kultural dan  sosial hanya bisa dipahami dengan mengacu pada gagasan-gagasan yang dibawa ke dalam sitausi lokal dari masyarakat penjajah. Gagasan-gagasan itu dijejalkan ke dalam wacana pribumi ketika kaum Pria Muslim yang terpengaruh gagasan-gagasan Eropa.

Dalam “Divine Comedy” karya Dante menyatakan  “ Praktek-praktek khas Islam berkenanan dengan kaum wanita senantisa menjadi bagian dari narasi Barat tentang inferioritas Islam”.

Sebelum abad ke-17 M, gagasan-gagasan Barat tentang Islam berasal dari kisah-kisah para pengembara dari prajurit Perang Salib yang dibesar-besarkan oleh berbagai deduksi dari pendeta-pendeta dari pembacaan mereka atas teks-teks Arab yang tidak dipahami dengan baik. 

Tesis wacana kolonial baru tentang Islam yang dipusatkan pada kaum wanita adalah bahwa Islam menindas wanita, hijab melambangkan penindasan wanita dan bahwa berbagai adat kebiasaan ini merupakan sebab-sebab mendasar bagi keterbelakangan umum dan komperhensif dari masyarakat-masyarakat Islam.

Barat memandang jika praktik-praktik yang bersifat intristik bagi Islam dibuang maka masyarakat Islam bisa bergerak maju di jalan peradaban. Hijab dalam pandangan Barat sebagai tanda mencolok dari keberbedaan dan inferioritas masyarakat-masyarakat Islam kini menjadi simbol penindasan wanita (degradasi wanita oleh Islam) dan keterbelakangan Islam dan hijab menjadi sasaran terbuka serangan kolonial dan ujung tombak gempuran pada masyarakat-masyarakat Muslim.

Earl of Cromer dalam bukunya “ Modren Egypyh” mempunyai pandangan yang cukup jelas tentang Islam, wanita dalam Islam, dan hijab. Cromer meyakini bahwa agama dan masyarakat Islam lebih rendah ketimbang agama dan masyarakat Eropa dan melahirkan manusia-manusia inferior. Cromer menjelaskan Islam sebagai sebuah sistem sosial telah gagal sama sekali karena perlakuan atas kaum wanita. 

Leila Ahmed menyatakan bahwa pandangan-pandangan Cromer pun sebenarnya merusak wanita-wanita Mesir karena kebijakan kolonialnya di Mesir yang menghambat pendidikan anak-anak prempuan dan anak-anak laki-laki Mesir dan Cromer juga menghalangi anak-anak perempuan Mesir untuk menjadi dokter-dokter wanita.

Leila Ahmed mengemukakan bagi kaum Misionaris Barat  dan sebagaimana Cromer, kaum wanita adalah kunci untuk mengubah masyarakat-masyarakat Muslim yang terbelakang menjadi masyarakat-masyarakat Islam yang beradab.

 Pendeta Robert Bruce menyatakan seorang Misionaris dan Orientalis terang-terangan membidik kuam wanita Muslim karena kaum wanita Muslim membentuk anak-anak, Islam harus dihancurkan dengan halus dan secara tidak langsung dikalangan wanita muslim agar mereka memiliki anak-anak yang ketika beranjak dewasa menjadi genarasi yang buruk.

Para pejabat kolonial dan kaum Misionaris juga mempromosikan gagasan Islam menindas kaum wanita di Mesir. Feminis Eropa seperti Eugine le Brun dan pengikutnya Huda Sya’rawi juga bersemangat menggiring wanita-wanita muda Islam ke dalam pemahaman Eropa tentang makna Hijab dan keharusan untuk meninggalkan Hijab, meninggalkan Islam, adat-istiadat mereka. 

Gagasan-gagasan yang diungkapkan oleh Cromer dan kaum Misionaris itu merupakan basis buku Qassim Amin. Dasar pemikiran Qassim Amin dimulai ketika ia mengambil pendidikan Hukum di Perancis.

Tuntutan yang paling lantang dan paling luas disuarakan Qassim Amin adalah seruaanya untuk mengakhiri Hijab. Leila Ahmed menyatakan bahwa seruan-seruan Qassim Amin sama seperti wacana-wancana kaum penjajah.  

Hijab dan Kebangkitan Wanita Muslim dalam Catatan Leila Ahmed 

Prof. Leila Ahmed dalam bukunya A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence menyebutkan bahwa pada pertengahan tahun 90-an jumlah perempuan muslim yang berhijab di Amerika mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Hal ini menandakan generasi perempuan muslim baru telah muncul di Amerika, karena di generasi sebelumnya (generasi pertama) perempuan muslim di Amerika (baik yang berasal dari migrasi maupun kelahiran Amerika) hampir bisa dikatakan tidak ada yang mengenakan hijab.

Para ilmuan, peneliti, feminis muslim pun lagi-lagi dibuat heran, tidak ada yang memprediksi sebelumnya bahwa kebangkitan hijab yang awal kali terjadi di  Mesir dapat menyebar dengan cukup cepat ke Amerika, dan nantinya ke Eropa, Asia, bahkan ke seluruh belahan negara yang di dalamnya terdapat perempuan muslim. 

Terdapat banyak serangkaian aksi kekerasan atau terorisme tersebut membuat beberapa negara mulai melarang atau membatasi warganya untuk mengenakan hijab. Perancis pada tahun 2004 mengesahkan Undang-Undang yang melarang hijab di Sekolah Negeri dan pada 2005 melarang pemakaian hijab yang sampai menutup wajah di ruang publik.

Tahun 2003 pemerintah Jerman mengeluarkan aturan melarang hijab bagi kalangan pengajar. Leila Ahmed melihat bahwa saat ini hijab diidentifikasi sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan pemahaman fundamentalis dan militan di dalam Islam.

 Asumsi ini menurut Leila Ahmed, tidak sepenuhnya benar. Leila Ahmed mengakui bahwa memang terdapat kelompok-kelompok Islam yang menggunakan cara kekerasan di dalam menegakkan pemahamannya tentang Islam, tetapi juga harus dicatat bahwa sebagian besar kelompok-kelompok Islam banyak yang tidak sepakat dengan hal tersebut. Mereka bahkan turut mengutuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh sesama muslim tersebut. 

Leila Ahmed mengingatkan kembali bahwa Ikhwanul Muslimin sendiri ketika di Mesir sudah berkomitmen untuk tidak menggunkan kekerasan dan hanya memfokuskan kegiatannya pada dakwah, kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, menyalurkan bantuan dan pertolongan bagi orang-orang yang membutuhkan. 

Meski, Leila Ahmed juga tidak menafikan bahwa di tubuh Ikhwanul Muslimin juga tetap terdapat kelompok yang militan, hal itu terbukti dengan pembunuhan Sadat (yang dilakukan oleh tentara anggota Jihad Islam) dan penculikan bahkan pembunuhan beberapa ulama al-Azhar. 

Akan tetapi menurut Leila Ahmed, asumsi bahwa hijab berkaitan dengan aksi-aksi fundamentalis atau militan tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena perempuan yang mengenakan hijab memiliki dorongan motivasi dan keyakinan yang berbeda-beda, tidak bisa disamakan atau bahkan dihubungkan dengan satu variabel saja (penanda fundamentalisme Islam).

 Bahkan mungkin saat ini, hijab menjadi suatu pakaian yang tidak memiliki makna universal, melainkan maknanya itu selalu bersifat lokal tergantung kepada si pemakai bagaimana dia mengartikan gaya busana dan hijab yang dikenakan.

Para peneliti yang meniliti tentang fenomena ini pun menjamur di mana-mana. Di Amerika, studi tentang perempuan dan feminisme pun meningkat tajam. 

Para peneliti menemukan bahwa fenomena kebangkitan hijab yang dimulai tahun 1970-an dilatarbelakangi oleh beragam motivasi. Biasanya para peneliti pertama-tama akan membagi motivasi tersebut menjadi dua, yakni perempuan menggunakan hijab karena keinginannya sendiri dan hal ini didasari oleh alasan-alasan subjektif, dan perempuan mengenakan hijab karena berasal dari semangat islamisme yang sedang berkembang. 

Leila Ahmed, menjelaskan motivasi perempuan dalam mengenakan hijab berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti, yakni ArleneElowe Macleod dan Sherifa Zuhur.

Menurut Leila Ahmed, penemuan kedua peneliti tersebut sangat mencerahkan di dalam memahami kondisi transformasi perempuan muslim di Mesir (dan secepatnya akan menyebar ke perempuan muslim di berbagai negara termasuk Amerika dan Eropa) dari yang sebelumnya menanggalkan hijab dan di tahun 1970 sampai 1990 an kembali menggunakannya.

Dari penelitian Macleod memeroleh beberapa jawaban yang ternyata sangat beragam, di antaranya: Orang-orang mengubah gaya penampilannya menjadi lebih Islami karena orang-orang tersebut merasa bahwa nilai-nilai kebudayaan mereka telah kembali ke arah yang lebih otentik, yakni sebagai seorang muslim. 

Beberapa yang lain berpendapat bahwa orang-orang di era sebelumnya telahdiajarkan dan dibimbing dengan salah, dan sekarang mereka menyadari bahwa kebiasaan mereka itu salah maka dari itu orang-orang tersebut mengubah penampilannya. 

Seorang perempuan menjawab bahwa di masa sebelumnya orang-orang tidak memahami bahwa nilai-nilai agama (terutama di bidang panampilan) sangat penting, dan sekarang orang-orang mulai melihat bahwa nilai-nilai tersebut sangat berharga sehingga sekarang kita menjadi tahu bagaimana seharusnya tindakan atau penampilan kita yang benar sebagai perempuan muslim. 

Seseorang yang baru mengenakan hijab berkata bahwa sebelumnya ia tidak tahu bahwa pakaian yang sebelumnya ia kenakan tidak benar, tetapi sekarang Ia menyadari dan sudah tahu bahwa pakaian yang dulu Ia kenakan itu salah. 

Beberapa dari mereka mendasarkan pendapatnya pada penolakan terhadap gaya berpakaian Barat. Mereka berpendapat bahwa perempuan Muslim berpakaian dengan pakaian yang sopan, tidak seperti perempuan Barat. 

Ada juga perempuan yang menjelaskannya berdasarkan sudut pandang ekonomi. Menurutnya, sekarang semua orang menjadi lebih religius karena semua orang merasakan kehidupan semakin sulit sehingga kondisi ini mengharuskan kita semua untuk kembali kepada nilai-nilai agama kita. 

Menariknya, sebanyak enam puluh persen responden menjawab tidak tahu mengapa hal tersebut dapat terjadi. Mereka tidak memahami mengapa orang-orang sebelumnya mengenakan pakaian bergaya modern tetapi sekarang tidak lagi. 

Sebanyak 56 persen berpendapat bahwa perubahan ini hanyalah persoalan fesyen. Suatu hari semua orang menggunakan model fesyen yang biasa (baju, kaos, celana) lalu tiba-tiba sekarang menggunakan penutup kepala (hijab). 

Perempuan yang sudah mengenakan hijab berpendapat bahwa dengan memakai hijab, ia menemukan kedamaian. Ada juga yang mengatakan bahwa hijab dapat melindungi diri dari pelecehan dan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan di jalan. 

Dalam penelitian Zuhur mengatakan bahwa pada tahun 70-an perempuan yang menggunakan hijab akan dipandang aneh, tetapi di tahun 80-an sebaliknya, perempuan yang tidak mengenakan hijab yang dipandang aneh. Zuhur memulai penelitiannya pada tahun 1988. Zuhur menemukan bahwa di tahun tersebut, perempuan mulai mengenakan hijab di usianya yang lebih awal, yakni di masa sekolah, di mana hal ini umumnya karena adanya pengaruh dari guru dan teman-teman sebaya. Keluarga dan saudara-saudara perempuan yang awalnya tidak menyukai keputusan tersebut belakangan dapat menerimanya bahkan ikut mengadopsinya (mengenakan hijab). 

Pada tahun 80-an, sekolah-sekolah berstandar Islam mulai dibangun secara massif. Ide-ide keislaman tentang cara hidup beragama yang benar mulai diajarkan di dalam kelas dan juga masuk di dalam kurikulum pelajaran. 

Sekolah-sekolah negeri milik pemerintah pun tidak ingin dianggap tidak religius sehingga akhirnya sekolah-sekolah tersebut juga mempromosikan ajaran-ajaran agama di berbagai kegiatannya, memasukkan kurikulum agama di dalam mata pelajaran, dan juga membangun masjid di sekolah-sekolah.

Zuhur lebih jauh menemukan bahwa perempuan yang tidak berhijab meyakini bahwa hijab tidak diwajibkan di dalam agama Islam. 40 Perempuan tidak berhijab mendefinisikan agama ke dalam dimensi-dimensi batin. Menurut mereka, substansi dari sebuah agama lebih penting ketimbang hanya penampilan (appearance). 

Perempuan ini menegaskan bahwa yang paling penting adalah ia percaya kepada Tuhan dan ia memperlakukan orang lain dengan benar.

Leila Ahmed menyataka  bahwa Dengan jilbab mereka ingin mengatakan “Saya bangga menjadi Muslim dan saya ingin menunjukkan kepada anda, anda tidak usah berprasangka buruk terhadap orang Islam”. 

Sebagian lain berharap jilbab mereka akan membuat wanita lain berpipikir tentang gaya berpakaian mereka sendiri serta sebagai bukti keadilan sosial dan pengabdian. Sementara aktivisme sering memotivasi wanita untuk mengenakan jilbab, komitmen agama tetap menjadi alasan penting juga. “Banyak wanita mengenakan jilbab karena mereka percaya bahwa Allah menghendaki demikian” kata Leila Ahmed. Ia berpendapat bahwa dalam konteks Islam di Amerika masa kini, memakai jilbab jutru dapat menandakan tuntutan kesetaraan.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال