Keyakinan dan Cita-Cita Serta Pedoman Hidup Muhammadiyah dalam Berakhlak

Keyakinan dan Cita-Cita Serta Pedoman Hidup Muhammadiyah dalam Berakhlak

Keyakinan dan cita-cita serta pedoman hidup warga Muhammadiyah dalam berakhlak: "Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia." (Lihat Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, butir No. 4, point B/b).

Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlak mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.

Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran.

Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlak yang mulia (akhlak karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela (akhlak madzmumah) yang menyebabkan dibenci dan dijauhi sesama.

Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di dunia ini. (Lihat buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, halaman 65).

Demikianlah keyakinan, cita-cita, dan pedoman hidup bagi Muhammadiyah dalam bidang akhlak, akan tetapi tentu saja harus dijelaskan pengertian/definisi dari yang dimaksud dengan "akhlak" itu sendiri. 

Buya Prof. Dr. Haji Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, dan Ulama ahli tafsir Minangkabau) rahimahullah berkata:

Secara etimologis (lughatan) akhlak (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khâliq (Pencipta), makhluk (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).

Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluk (manusia). 

Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khâliq (Tuhan). 

Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.

Secara terminologis (ishthilâhan) ada beberapa definisi tentang akhlak. Penulis pilihkan tiga di antaranya:

1. Imam al-Ghazali:

فالخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورؤية

"Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."

2. Ibrahim Anis:

الخلق حال للنفس راسخة، تصدر عنها الأعمال من خير أو شير من غير حاجة إلى فكر ورؤية

"Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan."

3. Abdul Karim Zaidan:

مجموعة من المعاني والصفات المستقرة في النفس وفي ضوءها وميزانها يحسن الفعل في نظر الإنسان أو يقبح، ومن ثم يقدم عليه أو يحجم عنه

"(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya."

Ketiga definisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlak atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. 

Dalam Mu'jam al-Wasith di sebutkan min ghairi hâjah ilâ fikr wa ru'yah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan). Dalam Ihya' 'Ulum ad-Dîn dinyatakan tashduru al-af'al bi suhulah wa yusr, min ghairi hajah ila fikr wa rukyah (yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan). 

Sifat spontanitas dari akhlak tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da'i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang keutamaan membangun masjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. 

Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala tidak ada doronganpun dia tetap menyumbang, kapan dan di mana saja, barulah bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah. 

Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.

Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa akhlak itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.

Sekalipun dari beberapa definisi di atas kata akhlak bersifat netral, belum menunjuk kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlak yang mulia. 

Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita mengatakan padanya, "kamu tidak berakhlak". Pada hal tidak sopan itu adalah akhlaknya. Tentu yang kita maksud adalah kamu tidak memiliki akhlak yang mulia, dalam hal ini sopan.

Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing masing. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.

Sekalipun dalam pengertiannya antara ketiga istilah di atas (akhlak, etika dan moral) dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari hari, bahkan dalam beberapa literatur Keislaman, penggunaannya sering tumpang tindih. Misalnya judul buku Ahmad Amin, al Akhlaq, diterjemahkan oleh Prof. Farid Ma'ruf dengan Etika (Ilmu Akhlaq). Dalam Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, moral juga diartikan akhlaq. (Lihat buku Kuliah Akhlak, halaman 1 sampai halaman 4).

Setelah jelas pengertian/definisi akhlak, kemudian harus dipahami sumber seharusnya akhlak adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukanlah semata-mata akal pikiran, hati nurani, ataupun pandangan masyarakat.

Buya Prof. Dr. Haji Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. Rahimahullah berkata:

Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu'tazilah.

Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara' (Al-Qur'an dan Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah dan jujur misalnya dinilai baik? Tidak lain karena Syara' menilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara' menilainya demikian.

Apakah Islam menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat dalam menentukan baik dan buruk? Atau dengan ungkapan lain dapatkah ketiga hal tersebut dijadikan ukuran baik dan buruk?

Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur'an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum 30:30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. 

Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. 

Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran. 

Oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata. Harus dikembalikan kepada penilaian Syara'. Semua keputusan Syara' tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua-duanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT.

Demikian juga halnya dengan akal pikiran. Ia hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subyektif.

Demikianlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. 

Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan prilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.

Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), obyektif, komprehensif dan universal untuk menentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan yang lain-lainnya. (Lihat buku Kuliah Akhlak, halaman 4 sampai halaman 5).

Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan



Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال