Perbedaan adalah Rahmat

Ilustrasi | Sumber gambar: NU Online


KULIAHALISLAM.COM - Indonesia sangat beruntung sekali memiliki dua ormas Islam terbesar. Beruntung karena memiliki Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tahun 1926 dan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tahun 1912. 

Sampai saat ini masih banyak orang yang bertanya-tanya, apa perbedaan diantara NU dan Muhammadiyah. Perbedaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah hanya pada aspek furu’uddin (hal yang partikural dalam Islam). Sementara yang menyangkut masalah ushuluddin (hal pokok dalam Islam) tidak ada perbedaan diantara keduanya.

Keduanya (Kiai Hasyim dan Kiai Dahlan) sama-sama pernah nyantri di Kiai Kholil Bangkalan. Tak hanya itu, selesai di Kiai Kholil Bangkalan keduanya melanjutkan ke Semarang di bawah asuhan Kiai Sholeh Darat. Kiai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, tafsir, juga ahli ilmu falak. 

Kepada Kiai Sholeh Darat, Hasyim dan Darwis (berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, tabarruk dengan gurunya Syekh Ahmad Zaini bin Dahlan, Mufti Syafi’iyah di Tanah Haram) belajar tekun dan rajin. 

Hingga akhirnya oleh Kiai Sholeh Darat, keduanya diperintahkan untuk melanjutkan studi di Makkatul Mukarramah. Setibanya di Makkah, keduanya menjadi murid kesayangan Imam Masjidil Haram yakni, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tampaklah kecenderungan Hasyim pada Hadis, sementara Dahlan tertarik pada bahasan pemikiran dan gerakan Islam.

Ketika terjadi gesekan antara anggota Muhammadiyah dengan kalangan pesantren, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari turun tangan dan berkata: “kita dan Muhammadiyah sama. Kita Taqlid Qauli (mengambil pendapat ulama salaf, mereka Taqlid Manhaji (mengambil metode).”

Syahdan, perbedaan partikural didalam Islam (menyebabkan perbedaan antara NU dan Muhammadiyah) tentu saja tidak boleh diperpanjang, karena sesuatu partikural memang tidak bisa dikonsensuskan (ijma’). 

Apakah berkunut dan tidak saat melaksanakan shalat subuh, tidak bisa dikonsensuskan. Alih-alih tidak bisa dikonsensuskan, pasti diperselisihkan sepanjang zaman, sepanjang umat Islam berada dipermukaan bumi ini. 

Meski demikian, kedua ormas ini cukup mencerminkan perbedaan-perbedaan secara tradisi, cara berpikir, bahkan perbedaan didalam menafsirkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Perbedaan cara menafsirkan tetap diperbolehkan, sejauh perbedaan itu sama sekali tidak menyentuh esensi pokok dalam agama Islam.

Pandangan ini didasarkan pada pendapat Imam at-Taftazani dalam hasyiyah al-athar mengatakan: لا يمس لب العقيده “tidak menyentuh akidah” bahwa perbedaan-perbedaan dikalangan umat Islam, ketika tidak menyentuh esensi pokok dalam akidah, maka perbedaan itu adalah rahmat bagi seluruh umat Islam.

Pada dasarnya Muhammadiyah memang tidak bermazhab (Muhammadiyah tidak seperti NU dalam bermazhab, misalnya NU punyak mazhab akidah, fikih, tasawuf), dalam hal ini menggunakan “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”. 

Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi “Tidak mengikat diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat”.

Berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang mengharuskan diri bermazhab. Kita tahu bahwa, NU dalam tiga dimensinya memiliki mazhabnya masing-masing. Dalam akidah ada Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, di fikih ada mazhab yang empat (Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi). Sementara dalam tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid al-Baghdadi.

Menariknya, kalangan NU lebih cenderung pada mazhab Syafi’iyah. Ini terlihat dalam penerapan ushul fikih-nya Imam Syafi’i yang sampai detik ini tetap dioperasikan oleh Kiai-Kiai NU dalam pengambilan hukum atas suatu persoalan yang terjadi. 

Bahkan, keputusan-keputusan hukum terdahulu yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, sampai saat ini masih diadopsi dan menjadi tradisi yang kuat dikalangan NU, pasantren khususnya.

Untuk melihat kerangka utuh fikih yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i, kita bisa melihat salah satu kitabnya yang termasyhur bertajuk kitab ar-Risalah. Melalui kitab ini Imam Syafi’i kemudian populer dalam khazanah fikih dan ushul fikih. 

Seluruh ide-ide Imam Syafi’i tentang ushul fikih-nya terdokumentasikan detail dalam kitab tersebut. Tak heran jika oleh beberapa para pemikir (Barat dan Timur), melalui kitab tersebut Imam Syafi’i dikatakan sebagai pencetus lahirnya kaidah-kaidah ushul fikih dalam dunia Islam.

Dominannya NU pada mazhab Syafi’i ini bukanlah tanpa sebuah alasan. Alasan tersebut dapat kita pahami bahwa Imam Syafi’i adalah tokoh fikih yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Ia adalah murid senior dari tokoh fikih yang termasyhur dizamannya, yaitu: Imam Malik dan Abu Hanifah. 

Dari kedua guru inilah, Imam Syafi’i berhasil menciptakan nalar fikih. Nalar fikih yang dimaksud adalah memadukan dua epistemologi sekaligus, antara metodologi ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi. Dua paduan epistemologi fikih inilah yang menjadi alasan paling kuat mengapa para Kiai-Kiai NU banyak mengadopsi fikih-nya Imam Syafi’i. 

Pada hakikatnya dalam bermazhab, kita hanya mengambil satu dari yang empat (qauli dan manhaji), yang kalau ditelusuri rumpun dan genealogi-nya adalah sama. 

Sebut saja Imam Ahmad bin Hambal yang berguru kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berguru pada Imam Malik, Imam Malik berguru kepada Imam Abu Hanifah meski secara tidak secara langsung, tapi melalui muridnya yaitu, Hasan as-syaibani. 

Semuanya yang diatas jika ditelusuri maka berpuncak pada Jakfar as-Shadiq. Ia adalah salah satu rujukan utama dalam mursyid tariqah-tariqah muktabarah yang dianut di lingkungan Nadhlatul Ulama.

Hal ini perlu sekali untuk di jelaskan ditengah kecenderungan orang membeda-bedakan mazhab. Perlu, karena seseorang seringkali membedakan mazhab, yang seakan mereka dari golongan yang lain bukan dari rumpun yang sama. 

Jika belakangan ada orang berkata, kita harus kembali pada manhajnya ulama salaf, maka pertanyaanya adalah manhajnya siapa? Karena dikalangan para sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat didalam memahami hadis. Wallahu a’lam…

Catatan: Jakfar as-Shadiq anak dari Muhammad al-Bakir, Muhammad al-Bakir anak dari Ali Zainal Abidin, Ali Zainal Abidin anak dari Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jakfar as-Shadiq punya ibu namanya Siti Fatimah, Siti Fatimah punyak bapak namanya Qasim, Qasim punya bapak namanya Muhammad bin Abi Bakr as-shiddiq, Muhammad bin Abi Bakr as-shiddiq punyak ibu namanya Asma binti Umaits, Asma binti Umaits ini mantan istri dari Jakfar bin abi Thalib.

Jakfar bin abi Thalib sendiri adalah saudara kandung dari Ali bin Abi Thalib yang meninggal didalam peperangan muktam, yang meninggalkan empat orang anak. Akhirnya pasca meninggal dinikahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu punyak anak Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Abu Bakar punyak anak Qasim, Qasim punyak anak Fatimah (ibu Jakfar shadiq).

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال