Islam dan Masalah Modernitas dalam Catatan Buya Syafii Maarif

KULIAHALISLAM.COM - Prof. Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan Intelektual Muslim kelahiran Sumpurkudus, Sumatra Barat tahun 1935. Merupakan alumni University of Chicago, Amerika Serikat dan Ohio State University, Amerika serta Universitas Negeri Yogyakarta. Menjadi Profesor tamu pada Universitas IOWA tahun 1990-1992.

Buya Syafii Maarif pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Presiden World Confrence on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute. Buya Sayfii Maarif juga dikenal sebagai murid dari Prof. Fazlur Rahman, selain Prof. Amien Rais dan Prof. Nurcholis Madjid.

Islam dan Masalah Modernitas

Dalam bukunya “Membumikan Islam”, Buya Syafii Maarif menyatakan bahwa Modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans di Eropa pada abad ke-16, berlanjut dengan rasionalisme pada abad-abad berikutnya dan kemudian berpuncak pada sekularisme, materialisme dan ateisme pada abad ke-19/20.

Gerakan Renaisans adalah gerakan yang ditegakan atas sendi antroposentrik, manusia menjadi pusat dan ukuran segala-galanya. Wahyu secara berangsur dan sistematis dibuang karena dirasakan tidak perlu lagi. Sistem nilai dan sistem kebenaran yang dapat dipercaya adalah sejauh yang berada dalam bingkai radius indrawi. 

Di luar itu tidak ada nilai, di luar itu tidak ada kebenaran. Apa yang diistilahkan A. J. Toynbee sebagai extra scientific knowledge (pengetahuan ilmiah ekstra) tidak diberi tempat dalam kawasan modernitas. Di wilayah ini manusia adalah pemain tunggal. Pendamping tidak diperlakukannya, dan pada tingkatnya yang tertinggi Tuhan telah dilupakan entah di mana.

Menurut Buya Syafii Maarif, pemikiran Barat modern adalah refleksi dari modernitas.  Menurut pandangan kelompok neo-tradisionalis Muslim semisal Hossein Nasr : Krisis ekosistem yang diderita dunia sekarang ini adalah akibat dari pola berpikir modern telah tercabut dari akar tunggang moral-trasendental.

Kelompok ini ingin menawarkan dan mengidupkan kembali tradisi filsafat dan sufisme klasik, demi membebaskan manusia dari kelumpuhan spiritual yang semakin parah saja. Keberatan kita terhadap tawaran kelompok ini terutama terletak pada sikap intelektual mereka yang tidak kritis terhadap pemikiran Islam yang serba klasik itu. 

Padahal mereka tahu bahwa khazanah klasik itu juga diramu dari tradisi Yunani kuno, Platonisme, Aristotelianisme dan neo-Platonisme. Tradisi inilah yang dulunya diberi warna Islam oleh pemikir-pemikir seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan banyak yang lain.

Ungkapan “Diberi warna” sudah dengan sendirinya menunjukan bahwa formulasi filosofis mereka itu tidak mesti mewakili pandangan dunia Al-Qur’an. Lebih lanjut, Buya Syafii Maarif menyatakan bahwa modernitas seperti yang didefinisikan di atas secara filsafat tidak mungkin di Islamkan. 

Fondasi ontologisnya dari sisi pandangan agama sangat rawan dan tidak aman. Tetapi yang sedang kita hadapi dan ini telah sangat global sifatnya adalah lembaga-lembaga, sistem-sistem sosial politik, konsep negara hukum, masalah hak asasi manusia, konsep negara bangsa dan lain-lain yang berkaitan dengan semua itu, bersumber dari hasil pemikitan Barat modern. 

Apakah semunaya ini kita pandang sepi saja dan mesti dicampakan jauh-jauh, karena kita berdalih bahwa Islam punya sistem sosial politik yang serba unik dan lengkap ? Cara berpikir yang seperti ini adalah “a-historis”, mengawang-ngawang, tidak mau melihat kenyataan yang sebenarnya yang bearada di depan kasat mata kelompok yang berpola pikir begini. 

Himbauan kita, kata Buya Syafii Maarif, adalah cobalah lihat apa yang sedang berlaku di kawasan tempat kelahiran Islam dan sekitarnya. Amatilah sistem politik mereka. Dapatkah semuanya itu kita teladani ? Ada sistem kerajaan, ada sistem otoriter, ada republik dengan partai tunggal, tetapi tidak ada demokrasi. 

Dari pengamatan kita, semua sistem yang dipraktikan itu ternyata tidak menjamin tegaknya keadilan, dihormatinya hak-hak manusia dalam makna yang positif. Apa akibatnya ? Diantara akibatnya adalah berlakunya proses penghijrahan otak (brain-drain) dari negara-negaraa Muslim, khususnya di Asia Barat dan Afrika Utara ke dunia non-Muslim, demi mencari kebebasan.

Bukankah gejala semacam ini sebuah tragedi ? Tampaknya tragedi ini akan terus berlanjut selama orang tetap saja bahwa sistem demokrasi ini tidak sejalan dengan Islam, sekalipun ini sebenarnya hanyalah untuk melestarikan depotisme dalam jubah agama. Sistem yang semacam ini pulalah yang hendak diimpor oleh sementara orang yang singkat akal ke negeri-negeri Muslim yang lain.

Sebenarnya sistem demokrasi telah ditawarkan oleh Namik Kemal, seorang modernis Muslim Turki abad yang lalu, tetapi telinga mana pulalah yang bersedia mendengarnya dengan iklim budaya politik yang serba dinastik itu. Demokrasi dalam bentuknya yang sekarang dengan berbagai variasi di sana-sini adalah sebuah dari pergumulan yang panjang dan melelahkan.

Negeri-negeri Muslim karena terlalu lama hidup di bawah sistem dinasti depostik yang opresif terlalu sukar baginya untuk menghayati makna yang terdalam dari prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak manusia, sekalipun Islam sebagai ajaran yang memuat masalah ini dengan sempurna. 

Sejarah Islam masa kini memantulkan prinsip ini dalam kenyataan kehidupan kolektif umat, tapi selanjutnya ditelan oleh budaya politik Romawi dan Sasania Persia. Ini berlarut-larut selama puluhan abad. Maka tidaklah mengherankan mengapa sampai hari ini masih ada juga orang Islam yang kaget mendengar “Makhluk” yang bernama demokrasi itu. 

Demokrasi yang kita kenal adalah sebagai suatu pantulan dari modernitas bersamaan dengan terbentuknya negara-negara bangsa (nation states). Ini adalah realistis sejarah yang harus diakui dengan mengetepikan sikap suka atau tidak suka. Dengan demikian bila Islam mau berperan dalam percatutan Dunia, kini dan nanti, kita harus mampu menawarkan pandangan-pandangan yang realistik Islami untuk memecahkan masalah-masalah sosio-politik yang sedang berkembang.

Adalah sebuah pertunjukan tanpa penonton bila kita hanya pandai bermain dan bernyanyi dalam kesunyian di pojok-pojok teater kemanusiaan. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk bersibuk-sibuk mengurus masalah-masalah kecil yang ada di pinggir sejarah. Kitab suci ini menawarkan diri kita untuk membingkai peradaban yang berwajah adil dan ramah.

Sumber. Prof. Ahmad Syafii Maarif, “Membumikan Islam”, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال