Selamat Natal Menurut Muhammad Quraish Shihab

Selamat Natal menurut M. Quraish Shihab - “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. (Q.S Maryam: 33). Dengan demikian, Alqur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Nabi Isa AS.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu ? Bukankah Alqur’an telah memberikan contoh ? Bukankah ada juga salam tertuju kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Harun, keluarga Ilyas serta para Nabi lainnya ? Setiap muslim harus percaya kepada Nabi Isa AS seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Nabi Muhammad SAW karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah SWT.

Kita mohonkan curahan salawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk Nabi dan Rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (Natal) Nabi Isa AS ? Bukankah Nabi Muhammad SAW juga merayakan hari keselamatan Musa AS dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura, searaya bersabda “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa AS.”

Bukankah para Nabi bersaudara hanya ibunya saja yang berbeda ? seperti yang disabdakan Nabi Muhammas SAW ? bukankah seluruh umat bersaudara ? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita atau batas yang digariskan oleh panutan kita ? Demikian lebih kurang panutan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama yang telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Nabi Isa AS datang dengan membawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu”. Nabi Muhammad SAW datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang dilangit merahmatimu”. Manusia fokus ajaran keduanya, karena itu keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad SAW dan Al Masih ? Bukankah ini sebagian dari kandungan kalimat sawa (kata sepakat) yang ditawarkan Alqur’an kepada penganut Kristen dan Yahudi (Q.S 3:64) ? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat Hari Raya Natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Alqur’an sendiri yang telah mengabadikan selamat Natal itu ?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang muslim mengucapkan selamat atau menghadiri ucapan Natal yang bukan ritual. Disisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas dan tidak juga rinci. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Alqur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak di salahpahami.

Natalan walaupun berkaitan dengan Isa Al Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah.

Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahirlah larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.

Ada Kacamata Lain Tentang Natal ? Mungkin !

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. 

Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasai di mana hal ini diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan ini. 

Adakah yang berwenang melarang seseorang membaca atau mengungkapkan dan menghayati satu ayat Alqur’an ? Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Alqur’an memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya. 

Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam Q.S 34 : 24-25. Kalaupun non-muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi juga tidak salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapan itu bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. 

Bukan saja sikap dan ucapan ummatnya, tetapi juga sikap dan ucapan ummat Nabi Muhammad SAW. Salam sejahtera semoga tercurahkan kepada beliau.

Diringkas dari karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, dalam bukunya "Membumikan Al-Qur’an" terbitan Mizan.



Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال