Pattani Kerajaan Melayu yang Terjajah di Thailand

Ilustrasi gambar Ratu Kerajaan Pattani Melayu yang terjajah di Thailand

KULIAHALISLAM.COM - Sejarah mencatat Pattani merupakan Kerajaan Islam di Pesisir Timur Semenanjung Malaka, Teluk Siam, Pantai Laut China Selatan. Sebagian besar wilayah kekuasaannya sekarang menjadi bagian wilayah negara Thailand Selatan. Pattani pada mulanya adalah daerah pantai yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Budha Inthira di bawah pimpinan Raja Phaya Tu Nakpa.

Di Pattani merupakan pelabuhan yang banyak disinggahi pedagang yang berniaga dari India sampai ke China. Pada saat Islam mengalami kemajuan, banyak pedagang muslim singgah di Pattani. Diperkirakan rakyat sudah masuk Islam 300 tahun sebelum perpindahan Ibukota ini. Raja Phaya Tu Nakpa kemudian mendirikan Istana dan perumahaan pembesar Istana.

Banyak yang berpendapat bahwa Islam di Pattani berasal dari Kerajaan Samudera Pasai di ujung utara Pulau Sumatera. Hal ini didasarkan pada persamaan antara dua kerajaan tersebut dalam mazhab keagamaan dan kebudayaan. Dalam buku “Hikayat Pattani” dan “Sejarah Kerajaan Melayu Pattani” disebutkan bahwa Samudera Pasai merupakan sumber kerohanian Pattani.

Raja Phaya Tu Nakpa (1486-1530) adalah Raja Budha pertama yang masuk Islam. Ia masuk Islam karena ia sering jatuh sakit, seorang Ulama bernama Syekh Said mampu mengobatinya dengan syarat sang raja harus masuk Islam. Ternyata setelah diobati Syekh Said, Raja sembuh. Akhirnya ia masuk Islam berserta seluruh pembesar kerajaan. Ia mengganti nama menjadi Sultan Ismail Syah.

Masa Pemerintahan Para Sultan dan Ratu

Setelah menjadi Kerajaan Islam, Sultan Ismail Syah menjalin hubungann dengan Sultan Malaka dan Kerajaan Ayutthaya (sekarang Thailand). Sultan Ismail Syah digantikan putranya bernama Sultan Muzzafar Syah. Ia mendirikan tempat ibadah dan mengangkat Syekh Safiyuddin (ulama Kerajaan Samudera Pasai) sebagai pengajar hukum Islam di Istana. Ia terbunuh pada saat melawan Kerajaan Ayutthaya tahun 1564.

Pada tahun 1632, Kerajaan Pattani dipimpin empat Ratu yaitu Ratu Hijau, Ratu Biru, dan Ungu serta Ratu Kuning. Kerajaan Pattani mengalami kemajuaan dalam bidang Keislaman, kesenian, kesastraan. Pada masa pemerintahan para Ratu ini, Kesultanan Pahang dan Johor di bawah Kerajaan Pattani. Setelah Ratu meninggal, ia tidak memiliki ahli waris kekuasaan sehingga dipilih Raja yang tidak berasal dari keturunan Raja Sultan Ismail Syah.

Kerajaan Pattani terus mengalami kemunduraan ketika Kerajaan dikuasai oleh Kerajaan Siam yang berpusat di Bangkok Thailand. Raja Pattani terakhir adalah Abdul Kadir Kamaruddin, setelah itu Kerajaan Pattani dihapuskan oleh Kerajaan Siam tahun 1902 M. Pada tahun 1909 diadakan perjanjian Anglo-Siam tentang wilayah di semenanjung Malaya yang berada di bawah kekuasaan Siam (Thailand).

Runtuhnya Kerajaan Pattani

Dalam perjanjian itu ditentukan Inggris mendapatkan Kelantan, Kedah, Trengganu dan Perlis yang sekarang menjadi wilayah Malaysia saat ini. Sedangkan Kerajaan Pattani terdiri dari Provinsi Pattani, Narathiwat, Yala, Satun dan Songkhla diberikan kepada Siam (Thailand).

Masyarakat bekas kerajaan Pattani protes dan memberontak sebagai upaya mereka mempertahankan budayanya serta meraih kemerdekaan dan membentuk negara berdasarkan prinsip Islam. Mereka melakukan perlawanan golongan Melayu-muslim yang dipimpin para ulama dan Abdul Kadir Kamaruddin.

Pada masa perang Dunia II para pemimpin Melayu dan Pattani berpihak kepada Inggris dengan harapan jika Inggris melawan Jepang dan sekutunya Thailand, tuntutan mereka merdeka terpenuhi. Namun masalah Pattani tidak terselesaikan hingga perang berkhir. 

Pemerintahan Thailand ikut campur dalam urusan sosial keagamaan diantaranya bidang hukum agama. Hal ini menimbulkan perlawanan dari cendekiawan muslim Melayu. Mereka menuntut agar bahasa Melayu sebagai bahasa resmi selain bahasa Thailand dan pembentukan Majelis Agama.

Pada tahun 1954 M, pemimpin perlawanan bernama Haji Sulong bin Abdul Kadir bin Muhammad Al Fatani yang dianggap sebagai “Bapak Perjuangan Pattani” hilang dan diduga dibunuh Polisi pemerintah. 

Tahun 1957 saat Thailand dipimpin Sarit Thanarat, maka diberlakukan ideologi pembangunan bangsa (patanarakan), di mana pendidikan pondok sebagai tempat belajar agama Islam diubah menjadi sekolah swasta dengan tekanan khusus pada pendidikan agama.

Bahasa Melayu diganti dengan bahasa Thailand. Kurikulum pendidikan dan pengajar agama diatur oleh pemerintah, akibatnya mutu pendidikan agama sangat merosot. Sementara di bidang ekonomi, pada umumnya kaum muda setelah lulus sekolah bekerja di pabrik-pabrik. 

Nilai-nilai agama dan moral mulai hilang dari mereka, karennya timbul kecemasan akan kehancuran Islam dan identitas Melayu. Keadaan ini memperkuat gerakan perlawanan yang menuntut otonomi. Organisasi perlawanan terbesar adalah Pattani United Liberation Organization (PULO). Organisasi ini dibentuk tahun 1968 dan memiliki komite pusat terdiri dari bagian politik, ekonomi, militer dan hubungan luar negeri.

Awalnya markas besar penyusunan kebijakan ada di Makkah sedangkan markas operasional berada di Kelantan, Malaysia. Dalam kegiatannya, mereka banyak mendapat bantuan dari Libya pada masa Muammar Gaddafi, serta organisasi Pembebasan Malaysia. Organisasi ini sempat mengalami kekacauan dan perpecahan.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال