Historis dan Hadis Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Historis dan Hadis Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Sumber gambar : Republika.co.id)

KULIAHALISLAM.COM - Umat yang akan selamat berada dalam Ahlu sunnah wal jamaah. Nabi Muhammad SAW bersabda : Yahudi terpecah menjadi 71 kelompok, Nasrani terpecah menjadi 72 kelompok, dan ummatku terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya berada dalam neraka kecuali satu. Kemudian ada yang bertanya, siapakah kelompok itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab yaitu berada dalam Jamaah

Berdasarkan hadis itu dan hadis yang sejenisnya kemudian membuat para Ulama sibuk menentukan golongan-golongan tersebut dan memaksa diri mereka untuk menghitung dan menggenapkan bilangan kelompok yang ada hingga menjadi 73 kelompok, seperti yang dilakukan Abdul Qahir al-Baghdadi, Imam Syahrastani dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal, Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal.

Kedudukan Hadis Tersebut Menurut Syekh Yusuf al Qaradawi

Prof. Yusuf al-Qaradawi dalam “Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah” menyatakan bahwa hadis ini tidak tercatat dalam sahih Bukhari maupun sahih Muslim yang menunjukan hadis ini dilihat tidak sahih menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim. 

Beberapa riwayat hadis tidak menyebutkan bahwa semua kelompok berada dalam neraka kecuali satu kelompok, namun hanya menyebutkan perpecahan dan bilangan firqah saja, ini adalah hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al Hakim.

Bunyi hadis tersebut adalah “Yahudi terpecah 72 firqah, Nasrani terpecah 71 firqah dan ummatku terpecah menjadi 70 firqah.

Meskipun hadis ini dinilai hasan namun periwayatannya bertumpu pada Muhammad bin Amr bin Alqamah bin Waqash al-laitsi yang Ibnu Hajar meragukan mutu hafalannya. Sedangkan Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim adalah kelompok Ulama yang sangat mudah memberikan penilaian sahih dan hasan kepada suatu hadis.

Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwa tambahan redaksi semuanya di neraka kecuali satu telah dinilai dhaif oleh beberapa Ulama hadis, bahkan Ibnu Hazm berkata bahwa ia hadis maudhu (palsu). Namun demikian meskipun hadis ini dinilai sahih oleh sebagian Ulama seperti Ibnu Taimiyah, tidak menunjukan bahwa perpecahan umat dalam bentuk seperti ini akan terjadi hingga hari kiamat.

Syekh Yusuf Qaradawi menyatakan adapun maksud “Ahlu Sunnah wal jamaah” dalam hadis itu adalah umat Islam yang mengikuti panggilan dakwah Nabi SAW, meskipun satu firqah itu melakukan bid’ah namun ia tetap tidak keluar dari tubuh umat Islam, jika ia nantinya berada di dalam neraka maka ia tidak kekal didalamnya.

Sejarah Teologi Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam Dunia Islam

Istilah Ahlu sunnah wal jamaah atau yang biasa disingkat “Aswaja” berubah menjadi aliran teologi dalam Islam karena reaksi terhadap paham-paham golongan Muktazilah. Paham Muktazilah disebarkan pertama kali tahun 100 H/718 M oleh Wasil bin Atha'. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa Khalifah Bani Abbasiyah yaitu al-Ma’mun.

Pengaruh ini semakin kuat ketika aliran Muktazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut Dinasti Abbasiyah. Banyak orang awam sulit untuk menerima paham-paham Muktazilah yang rasional dan filosofis. Dalam kedaaan yang demikian, munculah Abu Hasan al-Asy’ari dengan paham teologi baru yang berusaha menampung aspirasi rakyat dengan berlandaskan sunnah Nabi SAW. 

Aliran teologi yang baru ini kemudian dikenal dengan nama Asy’ariyah, selain itu muncul aliran teologi baru di Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturdi. Di Bukhara juga muncul aliran Maturidi didirikan oleh Ali Muhammad al-Bazdawi, tetapi agak liberal. Teologi-teologi tersebut dikenal dengan golongan Ahlu sunnah wal jamaah.

Istilah Ahlu sunnah wal jamaah dinisbatkan pada aliran teologi Asy’ariah dan Maturidiyah karena mereka mengklaim berpegang teguh pada sunnah Nabi SAW. Mereka juga disebut sebagai Ahl-al-Hadis wa as-sunnah (Golongan yang berpegang kepada hadis dan sunnah). Mereka menerima hadis sahih tanpa memilih dan melakukan interpertasi.

Aliran Ahlu sunnah wal jamaah menolak  aliran Muktazilah, Khawarij, Murjiah. Yang paling besar jasanya dalam mengembangkan Asy’ariyah adalah Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali mempunyai paham dan pemikiran yang sama dengan al-Asy’ari, Namun demikian, ada Ulama yang menolak paham al-Asy’ari seperti Al-Baqillani, Imam Haramain. 

Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya perbuatan Allah dan manusia hanya memperoleh (al-muktasib) perbuatan dari Allah.

Adapun Al-Baqillani berpendapat bahwa manusia mempunyai sumbangan efektif dalam perbuatannya, Allah hanya menempatkan daya dalam diri manusia, sedangkan bentuk dan sifat dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia itu sendiri.

Jadi, dari uraian singkat di atas tampak jelas bahwa perubahan istilah Ahlu sunnah wal jamaah yang awalnya bukan merupakan aliran teologi dalam Islam berubah menjadi aliran teologi di tangan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. 

Aliran-aliran teologi ini membuat perpecahan umat Islam semakin melebar sebab yang satu menyatakan bahwa mereka sajalah yang selamat dari neraka karena mendirikan teologi Ahlu sunnah wal jamaah sementara pihak lain juga mengklaim hal yang serupa padahal perpecahan umat Muslim tidak diridhai Allah dan tidak akan dimaafkan Nabi SAW.

Makna dari Ahlu Sunnah Wal Jamaah 

Ahlu sunnah wal jamaah dalam hadis itu maknaya adalah setiap muslim dilarang Nabi SAW untuk saling bepecah belah dan harus tetap menjaga persatuan dan persaudaraan sesama Islam, selain itu Nabi SAW mewajibkan setiap muslim berjamaah dalam hal membangun kekuatan politik yang sesuai yang dikehendaki Islam, berjamaah dalam menciptakan penegakan hukum yang adil dan tidak berdasarkan hawa nafsu jahiliyah.

Selain itu, Nabi juga mewajibkan umat islam berjamaah dalam menghancurkan fanatisme kesukuan, berjamaah dalam menjaga lingkungan, dan berjamaah dalam saling membantu kaum miskin, berjamaah dalam membagun sistem pendidikan dan ekonomi umat Muslim yang kuat.

Ini yang bisa dikatakan umat Islam gagal menerapkannya secara berjamaah sehingga terjadi kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara Muslim seperti yang dijelaskan Dr. Nabil Subhi Ath-Thawil dalam bukunya. 

Lantas masih sanggupkah kita mengklaim sebagai Ahlu sunnah wal jamaah menyaksikan demikian ? jangan-jangan mengklaim sebagai Ahlu sunnah wal jamaah ternyata dihadapan Allah menjadi pengkhianat terhadap sunnah dan jamaah Islam.

Oleh: Rabiul Rahman Purba, S.H.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال