Pangeran Diponegoro Bertemu dengan Ratu Kidul


Pangeran Diponegoro (Sumber gambar : KanalKalimantan.com)

KULIAHALISLAM.COM - Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwana III yang memerintah  tahun 1810-1814 Masehi dari seorang istrinya yang tidak berasal dari golongan bangsawan yaitu Raden Ajeng Mangkarawati, putri seorang Kiai dari Tembayat, sebuah Desa di sebelah Selatan Yogyakarta. Dalam naskah lain juga dikatakan bahwa R.A. Mangkarawati adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74)


Masa Kanak-Kanak Pengeran Diponegoro 

Pangeran Diponegoro melewati masa kanak-kanaknya di bawah asuhan kakek dan nenek buyutnya dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Sejak kanak-kanak ia yang bernama R.M. Antawirya diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Hamengkubwana I (Memerintah 1755-1792 M).

Setelah Sultan Hamengkubuwana I wafat digantikan oleh putranya yaitu Sultan Hamengkubuwana II. Ratu Ageng tidak betah tinggal di Keraton, ia lalu membawa Pangeran Diponegoro ke Tegalrejo, Magelang dan hidup bersama rakyat biasa. 

Di sana Ratu Ageng mendirikan Masjid dan surau-surau untuk tempat beribadah dan tempat belajar agama pada anak-anak setempat. Di tempat inilah Pangeran Diponegoro menimba ilmu baik dari para Ulama maupun santri senior.

Ketaatannya pada Islam membuat Ia gemar bergaul dengan para Ulama dan senang belajar Tasawuf, Tauhid, Fikih. Berbeda dengan bangsawan seusianya, ia enggan sekali muncul di Keraton karena ia menilai tempat itu telah terpengaruh oleh budaya Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti kebiasan meminum-minuman keras. Keraton juga telah  dipenuhi intrik-intrik Belanda.

Setelah Ratu Ageng meninggal, Pangeran Diponegoro tetap tinggal di Tegalrejo sampai pecahnya perang. Dalam kedudukannya sebagai seorang Pangeran, hal yang paling menonjol pada dirinya ialah pakaian yang khas yaitu pakaian yang biasa dikenakan oleh Ulama Makkah pada masa itu  yang terdiri atas jubah, ikat pinggang dan serban.

Dalam Babad yang ditulis oleh Adipati Cakranegara I (1830-1862) dipaparkan bahwa Diponegoro mempunyai sifat adil, tidak membeda-bedakan pengikutnya dan mempunyai perhatian yang besar terhadap rakyat kecil.

Jika dipelajari sikap hidup Diponegoro melalui Babad yang ditulisnya sendiri yaitu Babad Diponegoro, tampak bahwa ia tidak senang melihat kemungkaran yang terjadi di Keraton Yogyakarta akibat pengaruh Belanda. Dihatinya selalu bergelora keinginan untuk menegakan yang haq dan menghapuskan yang batil.

Pecahnya Perang Diponegoro

Ketika ia menyaksikan kemungkaran, kemerosotan moral, kesewenangan penguasa Istana, penindasan terhadap rakyat kecil maka timbulah rasa benci dihatinya dan berkobarlah semangat untuk membela Islam dan menegakan kebenaran. Sejak itu ia memimpin suatu peperangan yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Perang Diponegoro (1825-1830 M) merupakan suatu perang besar dan dahsyat yang dikobarkan bersama rakyat melawan penjajah Hindia Belanda. Dalam perang ini, lebih kurang dua juta penduduk Kesultanan Yogyakarta menderita kerugian materil maupun spiritual. 

Di pihak Pangeran Diponegoro diperkirakan dua ratus ribu orang meninggal dan di pihak Belanda sekitar lima belas ribu orang meninggal. Untuk perang ini Belanda harus mengeluarkan dana Dua Juta Gulden.

Sebab-sebab timbulnya Perang Diponegoro antara lain ialah pengaruh Belanda semakin kuat dalam kehidupan Keraton Yogyakarta, kehidupan rakyat kecil semakin tertindas di balik kehidupan mewah para bangsawan, hukum-hukum Islam tidak dilaksanakan lagi, ketentuan adat sudah diabaikan, kesewenang-wenangan Patih Danureja (pemegang pemerintahan di bawah Sultan Hamengkubuwana V) yang dianggap sebagai boneka Belanda.

Dalam Babad Diponegoro, perang itu disebut Perang Sabil yaitu perang untuk melawan orang Kafir. Konsep “Perang Sabil” inilah yang melandasai perjuangan Diponegoro dan para pengikutnya sehingga ia digelari oleh para pengikutnya sebagai Ratu Paneteg Panatagama (Pemimpin Agama Tanah di Jawa).

Pangeran Diponegoro memimpin perang itu secara bergerilya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam peperangan itu, Ia dibantu sejumlah Ulama diantaranya Kiai Madja yang berasal dari Pardikan Maja (Wilayah Surakarta). Panglima perang yang terkenal dalam peperangan tersebut adalah Sentot Prawirodirdjo (Ali Basha).

Oleh para pengikutnya, Pangeran Diponegoro juga digelari Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Gelar ini diartikan bahwa Diponegoro adalah Ratu Adil yang ditunggu-tunggu dan yang dijanjikan Tuhan akan datang kepada para pengikutnya untuk melepaskan mereka dari penindasan dan penderitaan.

Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya berjuang selama lima tahun tanpa kenal lelah melawan Hindia Belanda. Perjuangan mereka berhasil mengoyahkan sendi-sendi kekuasaan Kolonial bahkan nyaris menumbangkannya.

Kemudian, Panglima Hindia Belanda bernama Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock menjalankan siasat perbentengan (Benteng Stelsel) yakni mendirikan benteng yang dilengkapi dengan penjagaan tentara yang kuat dan persenjataan yang lengkap di setiap daerah dengan tujuan mempersempit perlawanan Pangeran Diponegoro.

Jenderal de Kock mengajak Pangeran Diponegoro untuk mengadakan perundingan perdamaian di Magelang. Maka Pangeran Diponegoro datang ke Magelang didampingi beberapa pengikutnya.

Makam Pangeran Diponegoro (Sumber Gambar : Detik.com)

Namun sesampainya di sana, pada tanggal 28 Maret 1830 M, ia ditangkap dan diperlakukan sebagai tawanan perang, lalu ia bersama anak dan istrinya diasingkan ke Manado, tiga tahun kemudian Ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan meninggal di sana tahun 1855 M. 

Pertemuan Ratu Kidul dan Pangeran Diponegoro

Dalam buku tulisan Peter Carey berjudul Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro, menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro mengunjungi Pantai Selatan. Ia memasuki Gua Lengse dan di sana bersemedi, kemudian Ratu Kidul menemuinya. 

Ratu Kidul berjanji akan membantu Pangeran Diponegoro dalam menghancurkan Belanda dengan syarat Pangeran Diponegoro meminta kepada Allah SWT agar Ratu Kidul bisa menjadi manusia, namun permintaan Ratu Kidul ditolak Pangeran Diponegoro dan berkata bahwa “Pertolongan hanya datang dari Allah”.

Peter Carey menyatakan Ratu Kidul ingin menjadikan Pangeran Diponegoro sejajar dengan Sultan Agung di tanah Jawa namun Pangeran Diponegoro menolaknya.

Sumber : Ensiklopedia Islam Jilid I terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dan lain-lainnya.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال