Penyesatan Opini : Gagal Paham tentang Bahasa Arab

Penyesatan opini ( Sumber gambar : dokumen penulis)

KULIAHALISLAM.COM–Lagi-lagi kita dibuat gagal paham. Ada pengamat politik (kalau menurut ketua MUI KH. Cholil Nafis sih bukan pengamat tapi penyesat), eks politisi partai berkuasa, membuat kriteria ciri-ciri radikal dan teroris. Diantaranya adalah menyebarkan atau memperbanyak bahasa Arab. 

Tentu pernyataan ini bikin heboh seluruh jagat media sosial. Saya tunggu klarifikasi (biasanya sih begitu), akhirnya muncul juga. Setelah dibaca beritanya, ternyata klarifikasinya hanya ingin menunjukkan bahwa pendapat itu bukan hanya pendapat pribadinya. Artinya, sah-sah saja. Buat yang menyampaikan sih merasa sah-sah saja itu wajar. 

Tapi kita bisa membaca ada gaya-gaya penyesatan opini di sini. Di mana berita—atau pernyataannya di dalam webinar Media Medcom itu terdapat penyesatan opini? Dia membuat kriteria yang tidak spesifik atau khas pada sekolah yang dituduhkan berkiblat kepada Taliban itu. 

Kalau dia menuduh suatu sekolah itu berkiblat ke Taliban dan ciri teroris adalah Berbahasa Arab, logikanya semua orang Arab, pesantren-pesantren, termasuk pesantren Pak wapres dan bapak-bapak pejabat kita adalah teroris. 

Kalau dia ambil satu ciri—yang bukan khas, yang dilakukan sekolah itu ya tentu banyak sekali ciri-ciri teroris. Misalnya, ada seorang teroris tertangkap. Setelah ditanya asal muasalnya, ternyata di pernah kuliah di Kampus X. Maka bisa jadi pengamat atau penyesat ini akan mengatakan Kampus X mengajarkan terorisme.

Kalau dia alumni SMA Y maka dia akan menganalisis, SMA Y mengajarkan terorisme. Sampai ke TK dulu dia belajar. Mungkin juga ciri-ciri fisiknya, termasuk merk celana dalam yang dipakai mungkin dijadikan ciri-ciri. 

Itulah kalau kata mas Rahmat M Jayaatmadja, "Pintar itu ada batasnya. Bodoh itu tidak berbatas." Kalau saya sih menganggap dia bukan bodoh ya. Tapi memang ingin melakukan penyesatan opini. Makanya penting baca buku lama Pak Adian Husaini berjudul Penyesatan Opini. 

Dan jangan lupa dengan ayat: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS Al-Hujurat: 6).

Intinya, kalau ada berita atau pernyataan dari orang fasik, harus check & recheck, teliti kebenarannya dan segera bantah jika keliru. Lho, kan sumber berita ini muslim/muslimah pak? Asal muasal turunnya ayat ini (asbabun nuzul) juga terjadi pada orang muslim. 

Suatu ketika Nabi SAW mengutus Walid bin Uqbah menarik zakat di kaum Bani Mustaliq yang telah memeluk Islam. Namun ketika sampai ke kampung Bani Mustaliq ia lari ketakutan melihat warga Bani Mustaliq mendatanginya. Ia mengira akan dibunuh, padahal mereka datang hendak menyerahkan zakat. 

Walid pulang dan melaporkan kepada Nabi SAW bahwa Bani Mustaliq tidak mau membayar zakat dan malah hendak membunuhnya. Mendengar laporan itu Nabi Muhammad SAW bersiap-siap mengirim pasukan ke Bani Mustaliq untuk menaklukkan mereka.

Tapi sebelum terjadi, datang utusan Bani Mustaliq membantah berita yang disampaikan Walid. Lalu turunlah ayat ini membenarkan pernyataan utusan Bani Mustaliq dan menyebut Walid sebagai fasik atau pembohong. 

Dalam Islam, sumber berita atau sumber omongan itu penting, sebagaimana sudah dicontohkan para muhaditsin (ahli hadis) bahwa para perawi hadis (pembawa informasi kata dan perbuatan Nabi Muhammad SAW) harus benar-benar orang yang jauh dari sifat fasik.

Mereka adalah orang-orang yang adil. Kalau urusan hadis Nabi Muhammad SAW sifat-sitaf para perawi sudah diverifikasi oleh para ahli hadis, maka tugas kita yang memahami unsur-unsur berita memverifikasi informasi di media sosial, bukan saja soal menyampaikan kebenaran berita tapi juga motif apa yang terkandung di balik penyesatan opini yang dilakukannya.

Oleh : Ustaz Budi Handrianto 


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال