Mengenal Hakikat Diri di Masa Pandemi

Ilustrasi ibadah di rumah (Sumber gambar : Kemenag.go.id)

KULIAHALISLAM.COM
– "Masa krisis adalah masa-masa untuk mawas diri, refleksi diri dan menengok kedalam diri, mengosongkan akhlak/perbuatan yang tercela dan mengisinya kembali dengan akhlak-akhlak yang mulia."

Pepohonanpun ada gugurnya, lautanpun ada surutnya, dan negara-bangsapun ada masa kehancuran dan kemundurannya. Karena itu, dalam kondisi krisis terpuruk, titik terendah mungkin adalah sesuatu hal yang negatif dan tak berdaya. Tapi segala krisis, cobaan dan tantangan dalam masyarakat adalah bergantung dan pola pikir dan pola tindak semua manusia menghadapainya.

Jika sebagian manusia menganggap cobaan adalah suatu hal yang menakutkan dan tak berdaya maka membuat manusia diam statis dan apatis. Tapi, jika manusia menganggap cobaan dan rintangan sebagai hal yang lumrah dan biasa saja dan positif/baik sangka, juga segala cobaan adalah bentuk kasih sayang dan maha bijaksana Tuhan kepada makhluknya. Cobaan adalah bagian dialektika atau proses perjalanan hidup bermasyarakat dan bernegara.

Karena itu, dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan hidup ini, membuat masyarakat sadar diri, mawas diri, refleksi diri atau menengok kedalam diri untuk menghayati kembali mengenai arti hakikat, peran dan tujuan umat manusia hidup dalam dimuka bumi atau bermasyarakat dan bernegara.

Selain untuk kembali sadar dan mawas diri, masa-masa krisis yang kompleks dan multidimensional ini membuat masyarakat untuk mengganti hakikatnya sebagai makhluk sosial.

Maknanya bahwa, segala cobaan dan rintangan tidak bisa diselesaikan hanya individu dan sekelompok orang melainkan dibutuhkan makhluk sosial untuk bekerja sama, bersinergi, bergotong royong dan berkolaborasi dalam melewati setiap aneka cobaan agar supaya mampu keluar dari kondisi krisis dan menatap kondisi yang kembali normal sehingga manusia-manusia dalam masyarakat bisa sehat walafiat, fokus dan bersemangat dalam mewujudkan mimpi-mimpi dan tujuan dimasa depan yang akan datang.

Senantiasa menengok kedalam diri (inwar looking) dan koreksi diri (self corection).
Karena, pengetahuan yang utama adalah mengenal hakikat diri dan misi kita didunia ini.

Kita boleh kehilangan harta benda dan apapun, tapi, ketika kita kehilangan diri/jati diri/identitas diri, maka kita akan kehilangan semuanya. Karena dengan, mengenal hakikat diri, kita bisa mengenal Kasih Tuhan, mengenal dan melindungi martabat manusia. 

Bukankah kita mengenal bunyi ungkapan, "siapa yang mengenal dirinya, dialah yang mengenal Tuhannya". Dalam setiap langkah kaki kita selalu berbanding pada petunjuk Allah SWT dan bersinergi dengan sesama manusia lain.

Selain itu, dengan mengenal hakikat diri/jati diri/identitas diri maka kita bisa mengenal segala fenomena dan dinamika kehidupan dalam masyarakat dan negara. Hakikat diri adalah pusat jiwa raga manusia dalam menjalani aktivitas sehari hari. 

Karena, hakikat diri, identitas diri atau mengenal diri adalah membuat kita menata hati nurani dan merawat akal budi untuk senantiasa berpikir akan tanda tanda kekuasaan Allah SWT dan mengikuti petunjuknya, kemudian berzikir melihat dan mengamati dinamika yang terjadi dimasyarakat. Atau, dalam konsep Islam kita mengenal trilogi istilah yakni, habluminallah, habluminannas, dan hablumbinafsih.

"Keadaan dunia/kehidupan masa depan nanti, bergantung pada cara pandang (World view) dan gaya hidup (Way of life) umat manusia masa kini".

Sebagian, ada yang memandang dunia ibarat perahu besar yang siap berlayar mengarungi samudra lepas menuju tanjung harapan, ada yang memandang dunia ibarat arena tempur dimana setiap manusia saling mempertahankan kedaulatan diri-sendiri dan kedaulatan wilayahnya, sehingga memandang manusia lain sebagai ancaman yang harus ditaklukan/ditindas. 

Ada yang memandang dunia ibarat ladang savana, dimana setiap manusia dapat menanam, menabur dan merawat benih-benih kebajikan lalu kemudian memanen kebahagiaan, kesabaran, kedamaian dan kesejahteraan bagi diri sendiri dan manusia lain di lingkungan masyarakatnya.

Karena itu, bagi saya cara berpikir dan cara berperilaku yang sesuai dengan kondisi manusia dan masyarakat masa kini dan masa depan nanti adalah cara pandang dunia atau kehidupan di atas muka bumi ini ibarat ladang savana, dimana setiap manusia hidup, fokus, bersemangat untuk menabur benih benih kebaikan, dari benih kebaikan lalu tumbuh menjadi taman-taman yang beraroma kebahagiaan dan kedamaian, juga menjadi savana yang dipenuhi pepohonan yang beraneka ragam, menjulang tinggi dan menaungi kehidupan manusianya.

Iqbal dalam bukunya yang terkenal Membangun Kembali Pemikiran Agama Dalam Islam, mengatakan bahwa menurut pandangan Alquran, "manusia itu bukanlah orang asing di dunia dan bumi bukanlah penjara bagi manusia, bukan tempat penyiksaan". Bumi malah merupakan tempat terbaik bagi manusia dalam mengembangkan kemampuan rohaninya. 

Apabila Alquran menurunkan kisah kejatuhan adam dari jannah (surga), Alquran bermaksud menunjukkan kebangkitan manusia dari keadaan primitif (bersahaja) dengan naluri rendahnya, menuju kesadaran bahwa manusia memiliki pribadi yang merdeka, yang mampu untuk bersikap ragu ragu dan mampu pula untuk membangkang.(Kembali Ke Akar, Kembali Ke Sumber, Abdul Hadi, W.M), hal 319).

Filsuf dan penyair muslim, Muhammad Iqbal itu menyitir ayat suci yang mengatakan, "dan kami telah mendirikan bagimu bumi serta di dalamnya kami berikan hal hal yang meneggakkan kehidupan. Betapa kurangnya rasa terima kasihku",(QS, 7:10).  Menurut Alquran, bumi tidak diciptakan dengan sia-sia dan karenanya tidak boleh dinafikan.

Ibnu Arabi, pemikir sufi dari Spanyol, dengan tegas menyatakan bahwa dunia ini bukanlah suatu ilusi. Dunia ini nyata sebab merupakan ayat-ayat Tuhan. Oleh karena dalam diri manusia juga terbentang ayat ayat Tuhan, maka upaya mengidentifikasikan manusia dengan dunia atau masyarakat adalah mungkin. Dengan kata lain, dunia dan masyarakat mempunyai hubungan dengan manusia, baik secara jasmani maupun secara rohani.

Pandangan Iqbal tentang dunia, dan Ibnu Arabi, mewakili pandangan sufi yang benar dan sesuai dengan amanat kitab suci. Iqbal malah mengutip sebuah ayat lagi dalam kitab suci, "dan kami telah menyebabkan engkau tumbuh dari bumi". Dalam sebuah sajaknya, penyair sufi penulis Musyawarah Burung yang mahsyur, Fariduddin Attar menulis:

Dunia, Nak. Adalah sebuah ladang
Buat didatangi siang dan malam
Apa saja yang memancar dari martabat
Dan kekayaan iman
Semuanya diperoleh dari dunia ini.
Buah hari esok adalah kembang benih hari ini
Dan irang yang ragu akan merasakan
Buah pahit penyesalan
Dunia ialah tempat terbaik bagimu
Di dalamnya kau dapat menyiapkan bekal
Buat hari kemudian
Pergilah ke dunia, tapi jangan tenggelam oleh hawa nafsu
Dan siapkan dirinya bagi dunia lain
Jika kau berlaku demikian, dunia akan pantas bagimu
Akrabilah dunia semata demi tujuan mulia ini.

Sajak diatas ditulis sehubungan peristiwa yang dialami oleh Khalifah keempat, Sayyidina Ali, seperti tersebut dalam kitab nahj balaghah. Amirul mukminin dikisahkan kedatangan seseorang yang mengutuk, menyumpah dan melaknati dunia. 

Dunia dikatakan oleh orang itu sebagai penuh kesalahan, sumber kehancuran. Padahal dalam perspektif Islam, sebagaimana dikatakan Murthada Mutahhari, hubungan manusia dengan dunia bukanlah seperti hubungan antara seorang tawanan dan penjaranya. 

Hubungan manusia dengan dunia bisa diumpamakan sebagaimana hubungan antara petani dengan ladangnya, atau antara pedagang dan pasar. Dunia merupakan sebuah sekolah bagi manusia, tempat melatih diri untuk mencapai kesempurnaan. 

Halangan untuk mencapai kesempurnaan ialah hawa nafsunya, yang membuatnya demikian terikat dan terbelenggu oleh dunia. (Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber, Abdul Hadi, w.m, hal 321).

Oleh: Fitrah TA
Editor : Adis 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال