Apakah Matematika Suatu Temuan atau Suatu Ciptaan ?

Ilustrasi matematika ( Sumber gambar : Ngopibareng.id)

KULIAHALISLAM.COM – Untuk memahami pertanyaan di atas, mari kita mulai dari melihat apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran matematis yang dianggap mutlak atau setidaknya tidak diperdebatkan lagi kebenaranya. 

Renungkan dua statemen berikut "dua puluh tiga adalah bilangan prima terkecil yang lebih besar dari dua puluh" dan "lingkaran mustahil bersudut". Statemen ini adalah statemen-statemen yang dianggap benar secara matematis. Pertanyaanya sekarang adalah apakah kebenaran-kebenaran matematis di atas benar dalam pengertian absolut nir-waktu? Apakah kebenaran statemen di atas tetap berlaku seandainya alam ini tidak ada? Apakah kebenaran statemen di atas tetap berlaku seandainya manusia tidak ada? 

Jika kita menjawab ya atas serangkaian pertanyaan di atas maka berarti peranan kita, umat manusia, hanyalah mengungkapkan kebenaran-kebenaran tersebut dalam bahasa  tertentu yang kita susun. Meski kebenaran matematis itu sendiri, pada dirinya sendiri, das ding an sich, tetap ada seandainya kita umat manusia tidak mengungkapkanya. Sederhananya matematika ditemukan. Lingkaran akan tetap mustahil bersudut bahkan jika alam semesta ini tidak ada sekalipun.

Namun jika kita menjawab tidak untuk rangkaian pertanyaan-pertanyaan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika itu benar karena bergantung pada eksistensi manusia, terkhusus, kesepakatan di antara manusia. Kebenaran matematis secara tidak langsung bersifat antar-subjektif, benar karena kita manusia mengatakanya benar. Matematika karenanya bergantung (dependent) pada eksistensi kita. Dengan kata lain matematika adalah ciptaan manusia semata. Lingkaran mustahil bersudut, karena kita mengatakanya demikian.

Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah menjadi bahan perdebatan di antara para filsuf, matematikawan dan ilmuwan hingga sekarang. Perdebatan ini sebenarnya tidak lepas dari keyakinan bangsa Yunani bahwa alam tempat kita hidup, bukanlah suatu tempat yang acak-acakan tapi suatu tempat dengan hukum-hukum yang teratur dan terungkap dalam persamaan-persamaan matematis yang oleh orang Yunani alam ini disebut sebagai "cosmos" yang berarti keteraturan, lawan dari chaos, dan merupakan akar kata dari cosmetic

Phytagoras sebagai contoh meyakini bahwa angka-angka bukanlah sebatas konsep abstrak yang ada dalam pikiran kita. Ia meyakini bahwa angka punya realitasnya sendiri. Ia menyebut angka 1 sebagai "monad" generator yang membentuk angka lain bahkan dunia ini sekalipun. 

Ide dan gagasan Phytagoras ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Plato. Ia mengatakan bahwa matematika punya realitasnya sendiri yang berbeda dari dunia kita, dapat di akses dengan nalar hanya tidak punya realitas empiriknya saja. 

Kebenaran matematis seperti lingkaran mustahil bersudut adalah kebenaran yang punya realitasnya sendiri yang berbeda dari dunia kita, dapat di akses oleh nalar kita, namun tidak punya realitas empirik. Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh Euclid, bapak geometri yang meyakini bahwa alam tempat kita hidup hanyalah manifestasi dari hukum-hukum matematis. 

Banyak para pemikir yang datang pada era berikurnya setuju dengan pemikiran ini. Dalam buku Carl Sagan berjudul Cosmos, misalnya, ia menceritakan bagaimana keyakinan pribadi para ilmuwan Medieval seperti Copernicus dan Galileo yang percaya bahwa Tuhan adalah seorang matematikawan atau matematika adalah bahasa alam. 

Di era kita sendiri tidak sedikit pemikir yang punya pandangan seperti ini misalnya saja ada Godel yang terkenal dengan teorema ketidaklengkapanya. Ada juga Richard Feynman pernah ditanya oleh Paul Davies soal masalah ini, dan dalam bukunya yang berjudul The Mind of God, Paul Davies memaparkan ulang jawaban panjang Feynman tersebut. Dari jawaban panjang Feynman, terlihat bahwa Feynman sendiri meragukan apakah matematika sebatas sebagai alat ciptaan manusia. Meski ia sendiri tidak mau juga mengatakan bahwa matematika punya realitasnya sendiri yang independent dari manusia. 

Tidak sedikit para matematikawan, sebagaimana yang dicatat oleh Paul Davies, betul-betul meyakini bahwa matematika adalah temuan, bukan ciptaan. Mereka menganggap matematika sama realnya seperti hukum-hukum alam lain seperti gravitasi misalnya, yang sudah berlaku bahkan sebelum manusia memiliki kapasitas untuk memahaminya. 

Satu diantaranya sudah saya sebutkan di muka, yaitu Kurt Godel. Di era kita sendiri ada juga matematikawan yang meyakini hal semacam ini, dia adalah si peraih nobel Roger Penrose. Ia menolak gagasan bahwa matematika adalah ciptaan. Bahkan melangkah lebih maju, ia yakin bahwa matematika punya realitasnya sendiri, sebagaimana yang digagas oleh Plato di awal. 

Secara garis besar mereka yang meyakini bahwa matematika punya realitas yang independent semacam ini disebut sebagai "platonis". Mereka disebut demikian karena punya landasan pemikiran yang sama dengan Plato: mereka meyakini matematika punya realitasnya sendiri, mereka meyakini bahwa realitas matematika ini dapat diakses oleh penalaran semata (apriori) dan akan tetap berlaku bahkan seandainya manusia tidak ada. 

Di garis berlawanan ada formalisme, yang meyakini bahwa matematika sebatas sebagai alat. Bagi kalangan ini matematika hanyalah mainan logika semata, dengan seperangkat aksioma yang diturunkan, yang jika di ubah aksiomanya, maka berubahlah seluruh aturan main. Hal ini misalnya dipercaya oleh David Hilbert. Menurutnya matematika adalah permainan semata. Kita mempostulatkan suatu nilai sebagai benar (aksioma) lantas dengan seperangkat alat bernama logika, kita menarik turun seluruh kemungkinan logis yang ada hingga tersusun suatu teorema-teorema tertentu. 

Henri Poincare juga memiliki keyakinan yang sama. Ia menjadikan Euclid sebagai contoh. Geometri Euclid, sebagaimana yang dicatat didalam the elements, selama berabad-abad lamanya menjadi salah satu karya matematika yang dipercaya benar secara mutlak. Prinsip-prinsip geometrisnya diterapkan dihampir seluruh karya seni baik lukis maupun ukir, hingga pengembangan astronomi. Sangking mutlaknya, hingga dititik para matematikawan klasik pun percaya bahwa kebenaran geometris Euclid sifatnya apriori, seperti misal yang dicatat oleh Kant dalam karyanya kritik akal budi murni. 

Namun semua berubah setelah relatifisme Einstein. Banyak aspek-aspek dari geometris Euclid yang ternyata tidak bersesuaian atau kurang sesuai dengan data-data empiris tertentu karenanya musti diperbaiki. Dari sini, Poincare meyakini bahwa kebenaran-kebenaran matematis pun tidak bersifat mutlak, karenanya posisi seperti Platonisme jelas posisi yang tidak masuk akal. 

Pada tahun 1960, Eugene Wigner menerbitkan satu artikel berjudul " The Unreasonable Effectiveness of Mathematics" dalam artikel tersebut Wigner menunjukan bagaimana suatu teorema matematis yang dikembangkan selama berabad-abad lamanya dengan tujuan tidak lebih demi matematika itu sendiri (tidak ada urusan dengan hal-hal praktis) ternyata sering sekali di masa-masa berikutnya ternyata cocok dengan pengamatan-pengamatan empiris atas alam raya. 

Ada satu contoh menarik akan hal ini. Isaac Newton mengamati objek apapun yang jatuh di bumi (seperti batu yang terlempar) bergerak dalam gerakan elips, hal yang sama dengan gerakan benda-benda langit seperti bulan misalnya. Berdasarkan pengamatan sederhana itu, Newton menyatakan adanya gravitasi universal yang berlaku secara seragam dan menyeluruh di semesta raya ini. Pada zamanya, sebagaimana yang dicatat dalam principianya, Newton hanya sanggup memperkirakan pergerakan benda-benda ini dengan akurasi 4% dari hukum yang ia dalilkan. Di masa-masa berikutnya, terungkaplah sudah bahwa hukum Newton sangat akurat dengan kesalahan hanya seperseribu satu persen. 

Ada contoh lain. Mekanika kuantum misalnya menggunakan rumusan Aljabar matrix untuk menjelaskannya. Jauh sebelum Heisenberg mendalilkan soal ketidakpastianya dengan serangkaian komputasi, Aljabar ini sudah dikembangkan sedemikian rupa oleh para matematikawan tanpa ada tendensi praktikal apapun. Max Born kemudian menyadari bahwa komputasi Heinsenberg sebenarnya cocok dengan komputasi yang ia kerjakan. 

Bersama-sama dengan Heisenberg, Born pun mulai menggunakan Aljabar matrix untuk mengganti variabel-variabel yang sebelumnya digunakan oleh Heisenberg. Hasilnya? Cocok. Aljabar matrix yang sebelumnya dikembangkan tanpa ada tendensi praktikal tertentu ternyata cocok dengan mekanika kuantum. 

Dari kasus-kasus di atas, Wigner mengajukan pertanyaan, mengapa? Apakah ini hanya kebetulan semata? Jika hanya kebetulan, mengapa terus menerua terjadi ketepatan yang sama seperti ini secara berulang kali? Apakah masuk akal sesuatu yang sebatas ciptaan manusia, bisa terus menerus memberikan deskripsi yang pas akan fenomena alam tertentu? pertanyaan Wigner ini bukanlah pertanyaan yang baru. 

Di lain kesempatan dengan nada berbeda Einstein sendiri mengungkapkan keheranan mengapa alam ini bisa dipahami atau dimengerti. Padahal, tidak ada keharusan atau alasan apapun alam agar bisa dipahami. Baginya, misteri terbesar alam ini adalah mengapa ia bisa dipahami. 

Di era tahun 60-an juga ada matematikawan kondang seperti Kurt Godel yang tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa alam ini bersifat matematis. Di era kita, ada ilmuwan teoritik penerima nobel Roger Penrose yang juga tanpa ragu meyakini alam ini bersifat matematis. Paul Davies sendiri mencatat hal ini dalam bukunya Mind of God bahwa mayoritas ilmuwan sendiri memang meyakini hal ini termasuk Davies sendiri. 

Saya sendiri punya keyakinan akan adanya kebenaran yang sifatnya transenden. Seperti lingkaran mustahil bersudut di atas. Atau hukum identitas bahwa A tetap A. Dan hukum kontradiksi bahwa A bukanlah B. Dalam hal ini saya punya alasan tersendiri.

Dalam masalah kosmologis seperti asal mula alam semesta, hanya bisa dipecahkan jika kita mengandaikan adanya hukum-hukum tertentu yang sudah berlaku sebelum alam ini ada. Hal ini bisa dilihat dari serangkaian banyaknya tulisan-tulisan para fisikawan yang mencoba menjelaskan bagaimana semesta bermula, pun dengan rumusan-rumusan matematis. 

Masalahnya, jika matematika tidak berlaku sebelum alam ini ada, atau sebatas ciptaan manusia semata, maka seharusnya matematika tidak mungkin bisa menjelaskan asal usul alam ini. Logikanya, bagaimana bisa kita menggunakan sesuatu yang muncul kemudian atau bersamaan untuk menjelaskan sesuatu sebelum itu. Tidak masuk akal. 

Karenanya penjelasan matematis apapun atas asal usul alam ini hanya mungkin jika penjelasan itu sendiri diandaikan sudah berlaku bahkan sebelum alam ini ada. Dengan demikian kebenaran transendental tidak terelakan lagi.  Ini sesuatu yang sifatnya postulat, pengandaian yang dianggap benar demi keshohihan penalaran apapun.

Terlepas dari apapun itu, permasalahan-permasalahan ini yang membuat minat saya pada logika dan matematika semakin bertumbuh.

Penulis : Syahid Sya'ban

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال