Jihad Konstitusi Umat Islam di Indonesia

Jihad konstitusi mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama beberapa elemen masyarakat (Sumber gambar : Republika.co.id)
Oleh : Rabiul Rahman Purba, S.H

KULIAHALISLAM.COM ‐ Negara Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) sebagai konstitusinya. 

Tokoh Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) seperti Mohamad RoemMohammad Natsir, dan Syafruddin Prawiranegara, Zainal Abidin Ahmad menyatakan suatu negara akan bersifat Islami bukan karena secara formal disebut “Negara Islam” atau pun “Berdasarkan Islam”.
 
Tetapi negara itu disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik secara teori maupun dalam praktiknya, (Prof. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, 1999).

Selanjutnya, Mohammad Natsir dalam Majalah Mingguan Hikmah terbitan 9 Mei 1954 memuat tulisan berjudul “Bertentangankah Pancasila dengan Alquran ?” Dalam tulisan itu beliau membandingkan tiap-tiap sila dari Pancasila dengan ajaran Alquran.

Mohammad Natsir mengungkapkan dimata seorang muslim perumusan Pancasila bukan kelihatan sebagai suatu barang asing yang berlawanan dengan ajaran Alquran, tetapi tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam.

Artinya adalah para Ulama seperti M. Natsir menerima Pancasila sebagai Dasar Negara, padahal sebelumnya para Ulama telah menetapkan “Piagam Jakarta” namun karena yang minoritas tidak setuju maka disepakatilah Pancasila. 

Oleh karena itu Menteri Agama Republik Indonesia yaitu Tarmizi Taher menyebut “Pancasila hadiah terbesar umat Islam untuk bangsa Indonesia”. 

Walaupun  Ulama telah menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Konstitusi tertinggi, namun para Ulama masih melihat perlu adanya Jihad Konstitusi. 

Para Ulama yang tergabung dalam Partai MASYUMI, berjihad konstitusi dengan tujuan agar Undang-Undang yang berlaku di Indonesia berdasarkan syariah. 

Partai MASYUMI menyatakan bahwa partai itu memperjuangkan untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam dalam negara Republik Indonesia, hukum Islam yang dilaksanakan adalah hukum Islam modern yang sesuai dengan keadaan Indonesia.

Semua Undang-Undang yang diberlakukan harus memperoleh persetujuan badan legislatif yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pelaksana dari pandangan modernisme mengenai ‘ijma sedangkan semua draf Undang-Undang yang diajukan harus merujuk kepada syariah sebagai sumber hukum.

MASYUMI merencanakan untuk melakukan kodifikasi hukum publik yang akan diberlakukan untuk semua warga negara, sehingga hukum publik warisan kolonial belanda akan digantikan dengan hukum nasional yang bersumber pada syariah (Lebih lengkap lihat, Prof Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fudamentalisme dalam Politik Islam, 1999). 

Jihad konstitusi yang dilakukan MASYUMI menemui jalan buntu ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki kekuasaan yang kuat di pemerintahan.

Jihad Konstitusi di Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru terjadi pertarungan konstitusi yang kuat di parlemen antara Kristen dan Islam. Prof. Alwi Shihab dalam bukunya “Islam Inklusif” mengungkapkan bahwa pada tahun 1973, pemerintah memperkenalkan rancangan Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional.

Sudah terlihat dari awal bahwa rancangan Undang-Undang itu tidak secara jelas melayani maksud umat Kristen sehingga ditolak. 

Tetapi bagi umat Islam, pendirian umat Kristen ini dipandang sebagai upaya untuk menghalangi usaha umat muslim memberikan makna Islami pada hukum. Namun demikian RUU Perkawinan itu disetujui walau mendapat penolakan dari Kristen. 

Kemudian, tidak hanya itu penolakan umat Kristen berlanjut terhadap pembentukan Pengadilan Agama, Perundangan Peraturan No.2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan pelajaran agama di semua sekolah umum dan Perguruan Tinggi. Umat Kristen menuding ada upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta. 

Jihad Konstitusi di Era Reformasi

Pada masa Reformasi, banyak produk perundang-undangan yang berasal dari Hukum Islam yang ditransformasikan ke dalam Pancasila dan UUD 1945, diantaranya Undang-Undang Pengelolahan Zakat Nasional, Undang-Undang Tentang Jaminan Produk Halal tahun 2014 dan lainnya. 

Namun demikian umat Islam tetap harus melaksanakan jihad konstitusi saat ini, jihad yang dimaksud bukan untuk merubah Pancasila atau UUD 1945 namun berjihad konstitusi untuk melaksanakan, mengontrol pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.

Mari kita lihat, dalam Pancasila dan UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, nah realitanya Undang-Undang khusus yang mengatur tentang penghinaan terhadap agama belum ada, bahkan ada pelaku dugaan  penistaan agama masih belum terjamah oleh hukum. 

Selanjutnya, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamya dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, lantas apa benar rakyat yang menguasai seluruh kekayaan negara, bumi, air ? kalau “iya” mengapa masih banyak pengangguran, kesenjangan sosial. 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita masih produk hukum warisan kolonial Belanda. Seharusnya KUHP kita berasal dari hukum pidana Islam. 

Hukum Pidana Islam merupakan aliran hukum progresif sedangkan aliran hukum Indonesia saat ini ada positivisme. Aliran Hukum Progresif menundukan kepastian, keadilan, kemanfaat dalam satu garis, dan karakter hukum progresif berpegang teguh pada hati nurani, hukum yang menghendaki manusia jujur.

Hukum yang tidak hanya bertumpu pada Undang-Undang namun hakim berani mencari keadilan (dilansir dari Hukum Online : Menggali Karakter Hukum Progresif).

Selanjutnya adalah penerapan hukum Islam ada yang menyebut penindasan. Jika penerapan syariat Islam dalam suatu masyarakat dikatakan sebagai penindasan, apakah penerapan hukum (kolonial) secara paksa terhadap umat Islam saat ini bukan merupakan suatu penindasan ? 

Dan setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu adalah agar mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, 2001).

Dalam Tafsir Al Azhar Juz 6, Prof. Buya Hamka menyatakan: Dan Insaflah bahwa rasa takut orang-orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus-menerus dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa takut itu.

Adian Husaini, Ph.D dan Nuim Hidayat dalam buku “Islam Liberal” menyatakan bahwa Jika dicermati fakta-fakta sejarah, penerimaan tokoh-tokoh Islam pada 18 Agustus 1945 untuk mencoret tujuh kata dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945  yang berkaitan dengan hal itu lebih merupakan pertimbangan situasional. 

Bukan soal konsep pluralitas atau polaritas. Terbukti mereka kemudian gigih kembali memperjuangkan konsep Piagam Jakarta tersebut dalam Majelis Konstituante. 

Bahkan menurut Mr. Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo sampai meninggal dalam penantian akan kembalinya Piagam Jakarta. Mr. Kasman menyatakan Piagam Jakarta sebenarnya merupakan “Gentelmenn’s Agreement” dari bangsa ini”.

Jadi perjuangan umat Islam dalam berjihad konstitusi belum usai. Saya ingin tegaskan kembali, jihad konstitusi yang saya maksud adalah bukan jihad merubah Pancasila atau UUD 1945.

Karena Pancasila dan UUD 1945 berasal dari syariah Islam namun jihad konstitusi yang saya maksud adalah umat Islam harus memiliki peranan besar dalam pembentukan hukum di Indonesia.

Umat Islam harus mengontrol jalannya hukum di Indonesia agar tetap sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Syariat Islam bahkan produk perundang-undangan, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah pun semestinya benar-benar berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai ajaran Islam.

Jihad Konstitusi Muhammadiyah

Jihad konstitusi merupakan jihad baru Muhammadiyah. Jihad Konstitusi Muhammadiyah mulai dilakukan gencar pada tahun 2015. 

Pada saat itu Muhammadiyah menggugat tiga Undang-Undang sekaligus ke Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. 

Ketiga Undang-Undang tersebut menurut Prof. Din Syamsudin, bertentangan dengan Konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 1945. Din menambahkan, langkah gugatan ini juga merupakan bagian dari upaya PP Muhammadiyah menggalakan Jihad Konstitusi adalah sebuah gerakan untuk meluruskan kiblat bangsa. 

Karena itu kami menyimpulkan telah terjadi penyimpangan dari cita-cita nasional, ujar Din Syamsudin dilansir dari Republika Online (2015). Pada tahun 2020. Muhammadiyah juga bentuk Tim Jihad Konstitusi kawal Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan sejumlah Rancangan Undang-Undang lainnya.

Untuk mewujudkan Jihad Konstitusi maka para pelajar, sarjana, intelektual Islam harus berjihad juga melalui pendidikan, sosial, budaya dengan tujuan menanamkan semangat jiwa Islam, dan ahlak mulia serta kesadaran akan kemajuaan Islam. Selain itu umat muslim harus dibangun kesadaran politik hukumnya dan perduli terhadap nasib bangsa. 

Kemudian, umat Islam juga harus bersatu melalui organisasi, Masjid, lembaga untuk berjihad konstitusi, produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 harus kita kerjasama berjihad konstitusi mengubahnya di Mahkamah Konstitusi. Demikian tulisan ini, terimakasih.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia (STH-YNI), Pematangsiantar

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال