Kemandirian Ekonomi Islam

Sumber gambar : google pict

KULIAHALISLAM.COM–Siapa yang pernah menduga, seorang faqih namun concern membicarakan ekonomi, memang bukan hal yang baru. Rasulullah sendiri, lebih dari empat belas abad silam pergi berdagang. Rasul secara langsung turun ke lapangan mengajari kita bagaimana kita praktik ekonomi Islami. 

Dagang yang perkara dunia, tidak selamanya dapat dipandang sebagai hal keduniawian. Perkara dunia ketika berada di tangan yang tepat adalah sejatinya perkara ukhrawi juga. Kata Nabi yang masyhur, “innamal- a'maalu bin niyaat

Pada sebuah hari di Kufah, sebuah kota di Irak hari ini, tahun ke-80 Hijriyah yang bertepatan dengan 699 Masehi. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang dipimpin Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan, lahirlah Nu’man bin Tsabit yang kelak pada masanya kita kenal dengan nama Imam Abu Hanifah. 

Beliau seorang Persia, namun demikian beliau ternyata menjadi imam mazhab pertama bagi golongan ahlussunnah.

Abu Hanifah kecil sering pergi ke pasar karena mengikuti ayahnya yang pedagang. Kegiatan yang lazim beliau lakukan sebelum dirinya menenggelamkan diri dalam masygulnya belajar, duduk di  antara ulama, di berbagai majelis ilmu.

Ilmu kalam atau ilmu tauhid, disebut juga ilmu akidah ataupun ushuluddin, adalah keilmuan pertama yang digemari Nu’man. Pada mulanya beliau mendebat seorang atheis yang sesat.

Beliau mampu menggiring atheis tersebut hingga mengakui syariat Islam secara sadar dan tercerahkan. Kemudian  dilanjutkan dengan diskusi-diskusi lain yang berjumlah tidak kurang dua puluh tujuh kali di Kota Basrah.

Abu Hanifah tertarik fikih. Beliau belajar kepada Hammad Sulaiman al-Kufi seorang faqih Kota Kufah. Abu Hanifah belajar ilmu bersama gurunya Hamad tak kurang dari delapan belas tahun lamanya. Mereka terpisahkan karena sang guru wafat.

Selepas Hammad wafat, Abu Hanifah menggantikan kedudukan gurunya sebagai direktur di sekolah fikih di Kufah. Beliau dikenal luas, banyak sekali orang di kota-kota besar Islam belajar darinya. Mungkin pada zaman ini, saya bayangkan seperti Kiai Bahauddin Nursalim dari Narukan, sebuah daerah di Kabupaten Rembang.

Guru dari Abu Hanifah yang lain berjumlah tidak kurang dari empat ribu orang. 
Empat ribu orang tentu bukan hitungan yang sedikit. Kalau tidak percaya, coba hitung guru sejak berada di sekolah taman kanak-kanak hingga anda membaca catatan ini. Apakah ada empat ribu?, atau jauh di bawahnya?

Empat ribu guru tersebut diantaranya ada tujuh orang golongan sahabat, sembilan puluh tiga tabi’in, dan sisanya dari golongan tabiut tabiin. Jumlah empat ribu, Abu Hanifah dapatkan karena selama hampir tujuh puluh tahun usianya, beliau telah lima puluh lima kali pergi berhaji. Saat haji, di Masjidil Haram itulah beliau belajar kepada banyak sekali ulama. Abu Hanifah menulis banyak kitab, diantaranya Al-Risalah & Al-Athar.

Kembali ke praktik ekonomi, Nabi melarang bai’ najasy, yaitu memuji barang dagangan agar laris terjual, dan masih banyak praktik ekonomi Islami lainnya yang pada periode setelah Nabi, banyak ulama yang menuliskan praktik-praktik ekonomi tersebut. 

Sayangnya, teori ekonomi Islam tidak dituliskan dalam disiplin ilmu tersendiri yang memang cocern membahas ekonomi an sich. Namun menjadi satu dengan ilmu fikih, akidah dan sebagainya. 

Abu Hanifah sendiri sebenarnya menulis karya tentang ekonomi secara khusus dalam satu kitab: Kitab al-Makharif fi al-Fiqh. Ahkam al-Suq juga pernah ditulis oleh Yahya bin ‘Umar, atau juga al-Amwal nya Abu Ubaid.

Namun sekali lagi, ilmu ekonomi dalam karya-karya tersebut belum terorganisasi dalam disiplin ilmu khusus, sehingga oleh pandangan dunia, ekonomi Islam tidak menonjol, kurang masyhur, dianggap stagnan dan pada akhirnya memberi ruang lebih kepada pakar ekonomi Barat.

Tenggelamnya ekonomi Islam menyebabkan umat manusia harus mengikuti ekonomi konvensional yang terdapat banyak kelemahan. Lalu kini, akankah bangkit atau masih akan digilas habis-habisan?

Penulis : Arif Budianto


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال