Menafsirkan Prinsip Toleransi Beragama: Pendekatan Double Movement Pada Konflik Tolikara

Penulis: Arindita Dwi Septiani*

Konflik antara umat beragama masih menjadi permasalahan yang kerap terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah insiden yang terjadi di Tolikara, Papua pada tahun 2015. Kasus ini bermula dari rencana umat Muslim untuk melaksanakan salat Idul Fitri di sebuah lapangan yang diklaim milik Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). 



Rencana tersebut memicu penolakan keras dari kelompok Kristen setempat hingga memicu bentrokan fisik dan kerusakan. Peristiwa ini mengungkap perlunya pemahaman yang mendalam mengenai konsep toleransi beragama dan resolusi konflik dalam ajaran Islam. 

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah teori double movement yang dikemukakan oleh pemikir muslim kontemporer, Fazlur Rahman. Teori ini menawarkan metode penafsiran Alquran dengan mempertimbangkan konteks historis dan merumuskan prinsip-prinsip umumnya untuk diterapkan pada realitas kekinian.

Teori Double Movement Fazlur Rahman

Teori double movement yang diperkenalkan Fazlur Rahman merupakan sebuah metode penafsiran Alquran dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. Terdapat dua gerakan utama dalam metode ini. 

Gerakan pertama adalah memahami makna teks Alquran secara komprehensif sekaligus mengkaji konteks historis yang melatarbelakangi turunnya teks tersebut. Dari sini, kita dapat merumuskan prinsip moral atau pesan universal yang terkandung di dalamnya. Gerakan kedua adalah menerapkan prinsip-prinsip umum tersebut ke dalam konteks realitas kekinian.

Dalam gerakan pertama, seorang penafsir dituntut untuk memahami makna literal teks Alquran dengan mengkaji aspek linguistik, munasabah (koherensi antar ayat), dan sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul). 

Selanjutnya, penafsir harus mengidentifikasi dan menganalisis konteks historis spesifik yang melatarbelakangi turunnya teks tersebut. Dengan mempelajari situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada masa itu, kita dapat memahami lebih utuh mengapa suatu ayat diturunkan. Dari kedua langkah ini, penafsir kemudian dapat merumuskan prinsip moral atau pesan universal yang menjadi inti dari ayat atau peristiwa tersebut.

Pada gerakan kedua, seorang penafsir harus mampu menerapkan prinsip-prinsip umum yang telah dirumuskan pada gerakan pertama ke dalam konteks realitas kekinian. 

Ini dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat modern serta menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai alat bantu. Dengan demikian, pesan Alquran yang universal dapat diterjemahkan menjadi pedoman yang aplikatif dan relevan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Analisis Kasus Tolikara dengan Double Movement

Dalam menganalisis konflik Tolikara dengan pendekatan double movement, kita dapat menggunakan beberapa ayat Alquran sebagai tumpuan, antara lain QS. Al-Mumtahanah ayat 8 dan QS. Ali Imran ayat 159.

a. Gerakan Pertama: Memahami Teks dan Konteks Historis

QS. Al-Mumtahanah ayat 8 turun dalam konteks hubungan antara umat Islam dan non-Muslim di Madinah pada masa awal perkembangan Islam. Ayat ini berbunyi:

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Menurut riwayat, ayat ini turun setelah Asma' binti Abu Bakar menolak menerima pemberian dari ibunya yang masih kafir dengan alasan dilarang menjalin hubungan dengan non-Muslim. Kemudian, turunlah tersebut sebagai koreksi atas sikap itu dan menegaskan prinsip untuk berbuat baik dan adil kepada non-Muslim yang tidak memusuhi umat Islam.

Adapun QS. Ali Imran ayat 159 turun di Madinah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ayat ini berbunyi:

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal." (QS. Ali Imran: 159)

Ayat tersebut turun sebagai pedoman bagi Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi sikap keras dan membangkang dari sebagian umat Muslim, di mana beliau diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, pemaaf, dan selalu bermusyawarah dalam menghadapi mereka.

Dari kedua ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa konteks historisnya adalah mengenai cara mengelola hubungan dengan pihak-pihak yang berseberangan, baik non-Muslim maupun sesama Muslim. Prinsip-prinsip seperti toleransi, keadilan, kelembutan, pemaafan, dan musyawarah menjadi sangat penting untuk dijunjung dalam menghadapi perbedaan dan konflik.

b. Gerakan Kedua: Merumuskan Prinsip Umum dan Menerapkannya

Dari pemahaman konteks historis pada gerakan pertama, kita kemudian dapat merumuskan prinsip-prinsip umum seperti toleransi beragama, larangan diskriminasi, kewajiban berlaku adil, penyelesaian konflik secara damai melalui musyawarah, kelembutan, dan pemaafan. Prinsip-prinsip ini selanjutnya dapat diterapkan dalam konteks konflik Tolikara.

Dalam kasus ini, pemerintah dan tokoh agama harus mendorong sikap saling menghormati hak beribadah antara umat Muslim dan Kristen, meskipun mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Tidak boleh ada tindakan diskriminasi atau penghalangan terhadap kelompok tertentu dalam menjalankan ibadahnya. 

Prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 yang menegaskan "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama" juga dapat dijadikan landasan. Selanjutnya, para pemimpin agama dan masyarakat harus memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi antara kedua kelompok dengan pendekatan yang lembut.

*) Mahasiswi Prodi Studi Agama-agama.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال