KH As'ad Syamsul Arifin Ulama Besar NU

KH. As’ad Syamsul Arifin merupakan ulama terkemuka dan tokoh Nahdlatul Ulama dan pimpinan Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukerejo, Asembagus Situbondo, Jawa Timur. Ia lahir di Mekkah pada tahun 1987 dan wafat di Situbondo pada tanggal 4 Agustus  1990. 

Ayahnya yang juga bernama Kiai Syamsul Arifin merupakan seorang ulama besar dari Madura. Masa kanak-kanaknya dilewati di tanah suci Mekkah bersama kedua orangtua dan adiknya yang bernama R. Abdurrahman. Pada usia 6 tahun, ia pulang kekampung halamannya di Pemekasan, Madura.

Setelah lima tahun di Madura, pada tahun 1908, ayahnya yang bernama Kiai Syamsul Arifin mempunyai gagasan untuk mendirikan pesantren. Mengikuti saran para Kiai, ia memilih lokasi di Pulau Jawa, tepatnya di Sukerejo Asembagus (Situbondo) yang ketika itu masih merupakan hutan belantara. Ia membenahi daerah itu dan kemudian mendirikan pesantren yang dinamai Pesantren Salafiyah Syafiiyah. Pesantren ini memiliki kemajuan yang sangat pesat dan As’ad menjadi salah seorang santri di pesantren ini.

Ketika berangkat remaja, KH As’ad kembali dikirim ayahnya ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam. Di sana ia berguru pada ulama-ulama besar seperti Sayid Amin Al-Qutubi (Ulama ahli tauhid dan fiqih), Syekh Hasan al-Massad dan Sayid Hasan al-Yamani (keduanya Ulama besar di bidang sastra dan tata bahasa Arab) dan Syekh Abbas Al-Maliki (Ulama ahli tasawuf). Pada tahun 1914 dalam usia 17 tahun, ia kembali ke tanah air dan kemudian nyantri pada KH Mohammad Kholil di Bangkalan, Madura dan KH Hasyim Asy’ari di Jombang.

Pada tahun 1924, As’ad memulai karirnya sebagai guru di pesantren ayahnya. Selanjutnya ia banyak diserahi tugas mengasuh dan membina pesantren itu. Ia banyak mengadakan perubahan dalam tubuh pesantren itu baik dalam sistem pendidikan maupun dalam pengelolaan administrasi. Pada mulanya pesantren ini sangat tradisional dan merupakan suatu majelis pengajian yang diikuti ratusan santri.

Dalam pandangan As’ad, sistem belajar dan mengajar seperti itu sangat tidak efektif dan tidak efisien. Untuk itu ia mulai dengan sistem Madrasah walaupun tidak meninggalkan metode mengajar klasik seperti Sorogan yaitu sistem pengajaran untuk perorangan atau kelompok kecil yang terdiri atas 3-5 santri, di mana guru bisa membaca dan menerjemahkan beberapa baris materi bacaan kata perkata atau kalimat perkalimat, menterjemahkan dan menerangkan maksudnya sementara murid hanya mengikuti dan memperhatikannya.

K.H As’ad dipandang sebagai orang yang memajukan Pesantren Salafiyah Syafiiyah terutama dengan usahanya mendirikan Ma’had Ali (Pesantren Tinggi) di pesantren tersebut, yang tenaga-tenaga pengajarnya adalah ulama-ulama besar yang didatangkan dari Mekkah dan beberapa ulama terkemuka Indonesia. Setelah ia meninggal dunia, pesantrennya dipimpin oleh putranya, KH Ahmad Fawaid, yang memang telah dipersiapkan sejak lama untuk meneruskan kepemimpinannya di pesantren.

Selain aktif mengurus pesantren, KH. As’ad juga sangat peduli terhadap lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 1940, ia mendapat izin untuk mengkavling tanah seluas 25 ha di sekitar pesantren Sukorejo. Tanah itu kemudian dibagikan kepada masyarakat dengan harga murah untuk digunakan sebagai tempat tinggal, hanya sebagian untuk lingkungan pesantren.

Nama KH As’ad menjadi populer pada tahun 1984, khususnya menjelang Muktamar NU ke-27 di pesantrennya. Muktamar tersebut menepatkan NU melepaskan keterkaitannya pada politik dan kembali pada Khittah 1926, yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.

KH. As’ad adalah Kiai yang paling gencar memperjuangkan ketetapan ini. Waktu itu ia dipercaya sebagai ketua Tim Ahl Al-Hall wa al-‘Aqad yang bertugas menetapkan Ketua PBNU. Pada Muktamar NU ke-28 (tahun 1989) di Krapyak, Yogyakarta, ia tidak hadir. Sebelumnya KH. As’ad memang menyatakan ketidaksetujuannya pada beberapa tindakan Abdurrahman Wahid yang dirasakannya tidak pantas menjadi Ketua PBNU.

Ia kemudian menyatakan memisahkan diri (mufaraqah) dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Walaupun demikian ia tetap seorang NU. Dalam kepengurusan NU periode 1989-1994, ia tetap ditempatkan pada jabatan Ketua Majelis Mustasyar NU dan posisi itu tetap didudukinya sampai akhir hayatnya.

Sumber : Ensiklopedia Islam

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال