Keunikan Toleransi Yang Diterapkan Sunan Kudus Melalui Dakwahnya

Penulis: Siti Noer Ainy*

KULIAHALISLAM.COM - Berhubungan dengan penyebaran Islam di pulau Jawa, Walisongo juga memiliki peranan penting atas tersebar luasnya Islam di pulau Jawa. Mereka memiliki keunikan dan karakteristik dakwah yang berbeda-beda sehingga menjadi objek kajian yang cukup menarik untuk diteliti. 


Ketika dipandang dari sisi historisnya, Walisongo mulai masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M dan wali yang pertama kali masuk adalah Sunan Ampel. Beliau sendiri tidak berasal dari Indonesia, melainkan berasal dari Kerajaan Cempa yang berdiri di Vietnam. 

Ciri khas dakwah dari Walisongo sendiri yakni, mereka berdakwah dengan damai sehingga tidak ada keterpaksaan bagi masyarakat. Faktanya, mereka melakukan pendekatan melalui budaya-budaya setempat sehingga dapat diterima pula oleh warga setempat.

Sunan Kudus Sebagai Panglima Perang Kesultanan Demak

Sunan Kudus, nama asli beliau Ja’far Ash Shadiq. Sunan Kudus merupakan anak dari sunan Ngudung mantan panglima perang kesultanan Demak, beliau juga cucu dari Sunan Bonang yang otomatis juga cicit dari Sunan Ampel. Ada pendapat lain yang mengakatakan bahwa beliau adalah keturunan orang persia, bahkan dalam pendapat lain di sebutkan bahwa beliau asli orang Jawa. 

Namun dari pendapat-pendapat tersebut, pendapat yang banyak diyakini adalah versi pertama yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus adalah cicit dari Sunan Ampel. Selain mengusai seluruh ajaran agama, Sunan Kudus juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak setelah ayahnya yakni Sunan Ngudung gugur dalam pertempuran. 

Konon dalam sejarah disebutkan bahwa beliau memiliki kurang lebih 1000 kesaktian. Bahkan beliau juga berhasil membunuh murid Syekh Siti Jenar yang sakti mandraguna. Sanad keilmuan Sunan Kudus juga tidak diragukan, lantaran beliau berguru pada wali-wali terdahulu seperti Sunan Bonang. 

Ketegasaan Sunan Kudus bisa dilihat jika sudah dikaitkan dengan masalah syariat. Beliau selalu mencegah atas terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam masalah syariat. Meskipun demikian, beliau juga seorang wali yang sangat toleran. 

Keunikan pemikiran toleransi yang diciptakan Sunan Kudus sangat menarik untuk diulas. Sunan Kudus, layaknya Sunan Kalijaga yang berdakwah melalui pendekatan budaya dan melihat kondisi warga setempat, yang pada saat itu di Kudus mayoritas masih beragama Hindu. 

Sapi Sebagai Sarana Dakwah

Lembut dan bijaksana, itu adalah kata yang muncul ketika kita mengetahui cara dakwah Sunan Kudus. Sikap toleran yang beliau praktikkan hingga kompromi antar agama, menjadikan beliau diterima oleh penduduk lokal. Apalagi beliau juga pandai dan unik dalam mencari sarana dakwah beliau. Sarana dakwah beliau yang paling populer adalah dengan menggunakan sapi. 

Sapi dalam agama Hindu dianggap sebagai hewan yang suci dan simbol kehidupan yang patut dilestarikan. Menurut umat Hindu sapi adalah tempat bersemayam para dewa, bahkan ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa sapi adalah jelmaan dari dewa Shiwa. Oleh karena itu, umat Hindu melarang adanya penyembelihan sapi. 

Pada suatu ketika diceritakan saat beliau hendak berdakwah, beliau menghias seekor sapi yang dinamakannya Kebo Gumarang lalu beliau ikat di halaman depan masjid. Tujuannya, untuk menarik atensi para warga agar mendekat ke masjid. 

Menurut beliau dengan cara itulah orang-orang bisa berkumpul meskipun tujuan awalnya hanya untuk melihat sapi yang mana sapi adalah hewan keramat menurut cara pandang dan berfikir mereka. 

Setelah mereka berkumpul barulah Sunan Kudus memulai dakwahnya dengan memberikan wejangan tentang ajaran Islam dengan tutur kata yang halus dan lembut yang beliau kemas dalam bentuk cerita bersambung. Sehingga membuat warga penasaran dengan kelanjutan cerita tersebut. Rasa penasaran itulah yang mendorong warga datang ke masjid setiap hari, tanpa paksaan pun mereka memeluk agama Islam. 

Masjid Menara Kudus Sebagai Bukti Akulturasi Kebudayaan Hindu, Jawa dan Islam

Masjid menara Kudus, nama aslinya adalah Masjid Al-Quds. Kata Al-Quds sendiri diambil dari nama kota yang ada di Palestina, tanah kelahiran beliau. Masjid ini sudah berdiri hampir 5 Abad, hal ini bisa dilihat dari batu tulis di pengimaman masjid bahwa masjid ini berdiri mulai tahun 956 H/1549 M. Pendiri masjid ini tak lain dan tak bukan adalah Sunan Kudus sendiri. Masjid ini menjadi salah satu bukti atas toleransi beragama yang diterapkan oleh beliau.

Perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Islam Jawa yang terdapat pada bangunan masjid sangat unik dan memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Biasanya menara masjid berbentuk tugu biasa, berbeda dengan menara masjid kudus ini yang didesain seperti bangunan candi. 

Terbukti dari bentuk atap berupa tumpang susun tiga. Ternyata tidak hanya menara saja yang seperti bangunan candi, tetapi masih banyak lagi bangunan-bangunan yang bernuansa Hindu. Salah satunya adalah pintu gerbang masjid.

Jika dilihat pada umumnya bangunan masjid ini memang kental dengan nuansa Hindu. Tetapi, ornamen-ornamen di masjid ini juga kental dengan unsur-unsur Arab. Salah satunya adalah Padasan atau bak air yang ada di samping bangunan masjid. 

Bangunan dan hiasan masjid menara kudus menunjukkan adanya hubungan kesenian Hindu Jawa. Terbukti dari bangunan menara yang terdapat 3 bagian, yakni kaki, badan dan puncak bangunan.

***

Dari sini dapat kita simpulkan tentang pentingnya toleransi dalam beragama, hal ini juga sudah dicontohkan langsung oleh Sunan Kudus dan terbukti dengan adanya bangunan Masjid Menara Kudus. 

Kadang dalam beragama kita seringkali kurang menghargai agama lain sehingga menyebabkan permusuhan, padahal agama Islam sendiri mengajarkan perdamaian dan toleransi serta menghargai agama lain. 

*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال