Filsafat Alam Karya Moritz Schlick

Penulis: Rhafi Dhanar D. M*

KULIAHALISLAM.COM - Cara paling sederhana untuk menetapkan ciri paling hakiki filsafat alam adalah dengan menunjukkan hubungannya dengan ilmu alam, dari awal pemikiran Barat hingga jaman Newton, bahkan Kant, tidak membedakan filsafat alam dengan ilmu alam.

Namun kedepan, metode spekulatif (metode filsafat alam) nampakya melepaskan diri dari prosedur eksperimental (prosedur ilmu alam) hingga akhirnya pada pertengahan abad XIX menjadi jelas bahwa metode spekulatif merupakan metode yang menipu dan menyeret ke lorong gelap.

Setelah itu, muncul periode yang di mana filsafat dipandang rendah oleh para peneliti alam, hingga pada awal abad XX istilah filsafat alam mendapatkan nilainya kembali, sebagai akibat dari kemajuan ilmu alam yang tidak terkendali.

Perhatian umum terhadap pertimbangan aspek filsafatinya muncul kembali—sebagai akibat dari sikap yang ada terhadap filsafat pada umumnya—tugas filsafat alam pertama-tama ditentukan sebagai: 1) sintesis pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai gambaran yang utuh atas keseluruhan proses alam; dan 2) sebagai pertahanan epistemologis bagi pendasaran ilmu alam. (Moritz Schlick, 2001)

Tetapi, hal ini merupakan penentuan yang tidak memuaskan, karena tugas atau objek ilmu alam adalah untuk mencapai pengetahuan yang berkaitan dengan seluruh kejadian dan proses alam dengan kata lain, hal itu merupakan pernyataan dengan proposisi yang sangat umum, juga sebagai pengkajian atas kebenaran hipotesis.

Konsolidasi atau fusi berbagai cabang ilmu alam artinya, subordinasi proposisi sederhana atas proposisi yang lebih umum hanya dapat terjadi dari bawah, dengan arah ke atas. 

Karena dalam kemajuan pengetahuan di segala bidang, tingkatan yang lebih tinggi dicapai, dan hingga tingkatan ini dicapai tidak ada kemungkinan untuk mencapai sintesis nisca: dalam rangka mencapai gambaran yang utuh. Juga mustahil bagi filsafat untuk mencapai sintesis ini. 

Keseluruhan tugas ilmu alam hanya mengandung pengkajian kebenaran proposisinya yang tetap tidak tergoyahkan, akibatnya berkembang dan hipotesis yang mantap dan aman. 

Dengan cara ini asumsi yang mendasari hipotesis diuji secara simultan dalam ranah ilmu alam itu sendiri. Selain itu, tidak ada pertahanan filsafati yang lain bagi dasar tersebut, pertahanan seperti itu bukan hanya tidak mungkin melainkan juga berlebihan fakta yang akan ditunjukkan dalam seluruh pertimbangan berikut.

Sekalipun demikian, tugas filsafat alam bukan hanya berkaitan dengan hipotesis ilmu alam namun dalam arti yang lain. Pengetahuan alam dirumuskan dalam proposisi; juga semua hukum alam diungkapkan dalam bentuk proposisional. 

Namun pengetahuan tentang maknanya merupakan prasyarat bagi pengujian kebenaran proposisi. Dua konsep ini tidak dapat dipisahkan, dan keduanya terjadi dalam ranah ilmu alam. 

Sekalipun tidak dapat dipisahkan, adalah mungkin untuk membedakan antara dua sikap psikologis: yang satu berkaitan dengan pengujian kebenaran hipotesis, dan yang lain berkaitan dengan pengertian tentang makna.

Metode ilmiah yang khas membantu untuk menemukan kebenaran, sementara usaha filsafat diarahkan untuk penjernihan makna. Tugas filsafat alam, dengan demikian, adalah untuk menafsirkan makna proposisi ilmu alam, dan dengan demikian, filsafat alam itu sendiri bukan merupakan ilmu melainkan sebagai aktivitas yang diarahkan pada pertimbangan makna hukum alam. 

Dalam rangka menetapkan tesis kita yang dalam dan penuh, kita harus menentukan ciri khas ilmu alam. yang membedakannya dengan arts dan apa yang disebut dengan ilmu budaya. 

Namun, kita akan menbatasi diri pada pernyataan, bahwa alam kita sebagai segala sesuatu yang real sejauh hal itu ditentukan dalam ruang dan waktu. Semua objek maupun proses yang ada atau terjadi dalam ruang, ada atau terjadi juga dalam waktu. 

Hal yang sebaliknya akan menjadi tidak benar karena akan menjadi absurd untuk berusaha melokalisasi perasaan dan emosi (yang tentu saja bersifat temporal). 

Akan tetapi, semuanya itu dapat dihubungkan dengan individu tertentu (yakni orang yang memiliki perasaan dan emosi) dan hal ini berarti berhubungan dengan sesuatu yang bersifat keruangan. 

Selanjutnya, karena semua objek sejarah, budaya, dan linguistik itu bersifat spasio-temporal, objek tersebut merupakan bagian alam dan dengan demikian merupakan objek ilmu alam.

Dengan demikian, kita memiliki kualitas universal dan ciri khas yang mewarnai ilmu alam yang mencegahnya untuk disubordinasikan, atau dikesampingkan, oleh salah satu arts maupun ilmu budaya. 

Dan, karena itu juga, makna filsafati ilmu alam yang unik, semua kemajuan filsafati di masa lampau ditimbulkan dari pengetahuan ilmiah dan penyelidikan persoalan ilmiah. Merupakan kesalahan yang fatal, kesalahan yang pertama kali dibuat selama ratusan tahun yang lampau untuk percaya bahwa arts dan ilmu budaya, bagaimanapun, ekuivalen dengan ilmu alam, atau bahwasanya kedua ilmu tersebut, dari titik-tolak filsafat, sama sebagai ilmu produktif. (Moritz Schlick, 2001)

Di samping sifatnya yang universal, kepastian ilmu alamlah yang menyebabkannya, baik secara historis maupun dalam fakta aktual, menjadi dasar yang sangat fundamental untuk berfilsafat. 

Hanya dalam analisis pengetahuan yang pasti, di sana ada harapan untuk mencapai insight yang benar. Hanya di sini, ada prospek untuk mencapai hasil yang pasti dan final dengan menggunakan penjernihan konsep. 

Proposisi yang samar dan tidak pasti dari berbagai ilmu yang tidak pasti, pertama-tama harus diubah bentukya menjadi pengetahuan yang pasti, yaitu proposisi tersebut harus diterjemahkan, ke dalam bahasa ilmu pasti sebelum maknanya dapat ditafsirkan secara penuh. 

Dan pengetahuan yang pasti adalah pengetahuan yang dapat diungkapkan secara penuh dan jelas sesuai aturan logika 'matematika" hanya merupakan nama bagi metode perumusan yang pasti secara logis.

Oleh karena itu, Kant mengatakan bahwa ilmu hanya mengandung pengetahuan sejauh ilmu tersebut mengandung matematika. Dalam ilmu, lebih sekedar dalam ranah yang lain, bahan atau substansi pengetahuan diturunkan dari aktivitas intelektual. 

Memungkinkan kita untuk mencapai tingkat abstraksi yang terbesar. Namun, semakin tinggi tingkatan abstraksi yang dicapai ilmu, semakin dalam ilmu tersebut menembus hakikat realitas. Inilah alasan bagi sikap sentral yang dimiliki fisafat alam. (Moritz Schlick, 2001)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال