Budaya Patriarki Teori Simone De Beauvoir (1908-1986)

Penulis: Achmad Ghulam Fadel

KULIAHALISLAM.COM - Simone De Beauvoir merupakan salah satu tokoh feminisme eksistensial, secara spesifik Simone de Beauvoir meyakini bahwa dunia perempuan akan selalu terikat dengan dunia laki-laki sebagai bukti adanya kontrol laki-laki terhadap perempuan. 


Beauvoir mencontohkan institusi perkawinan yang justru merupakan institusi yang merampas kebebasan perempuan. Ia lahir pada tahun 1908 dan meninggal di Prancis pada 1986. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai filsuf eksistensialis yang memenangkan sejumlah penghargaan, juru kampanye yang berani, dan role model dalam gerakan perempuan internasional serta pionir teori feminisme.

Pemikiran khas Simone de Beauvoir adalah ia mengungkapkan bahwa dalam institusi perkawinan selalu diasumsikan bahwa  suami adalah pelindung istrinya, namun kenyataannya dalam kehidupan berkeluarga, kekerasan sering terjadi pada istri, bahkan dalam kehidupan sosial perbuatan istri sering terjadi. 

Selalu diawasi dengan sangat detail dan masa depan istri seringkali dimanipulasi sesuai keinginan suami. Dalam teorinya, Simone de Beauvoir juga menghubungkan faktor biologis yang membentuk proses mental seorang wanita, disebabkan oleh faktor hormonal dan peran reproduksinya, yang pengaruhnya sangat mempengaruhi emosinya sehingga menimbulkan banyak teori bahwa wanita memiliki masalah psikologis. Masalah, namun Simone de Beauvoir menolak asumsi tersebut, sehingga mengarah pada transformasi konsep perempuan menjadi semacam produk mekanis dari kepribadian.

Budaya patriarki merujuk pada sistem sosial dan kebudayaan di mana pria mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kekuasaan, pengambilan keputusan, ekonomi, dan peran gender. Budaya patriarki bukanlah fenomena yang seragam di seluruh dunia. Tingkat dan bentuk patriarki dapat bervariasi antara budaya, masyarakat, dan bahkan individu. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dan menggantikan budaya patriarki dengan model sosial yang lebih inklusif dan setara.

Budaya patriarki  tidak sekedar dilihat dari pemimpin atau tokoh adat lainnya, namun lebih dalam dari itu. Patriarki sendiri memberikan dampak kekerasan terhadap perempuan karena status sosial  laki-laki  lebih tinggi dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, masyarakat cenderung menganggap  pelecehan terhadap perempuan adalah hal yang wajar, bahkan dalam bentuk terkecil sekalipun. Patriarki memberi laki-laki  hak istimewa atas perempuan. 

Dominasi  laki-laki tidak hanya mencakup ranah personal  tetapi juga  ranah yang lebih luas, seperti pendidikan, ekonomi, partisipasi politik, sosial, hukum dan lain-lain. Dalam ranah personal, budaya patriarki menjadi penyebab, bahkan akar permasalahan, munculnya berbagai bentuk kekerasan, tidak hanya terhadap perempuan namun juga terhadap laki-laki. Karena label keistimewaan laki-laki, banyak dari mereka yang merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan.

Budaya patriarki secara sempit membatasi kebebasan perempuan Madura. Penindasan terhadap perempuan Madura dalam masyarakat patriarki sangatlah nyata. Eksploitasi tubuh perempuan sebagai pekerja rumah tangga, untuk memuaskan hasrat laki-laki, sebagai juru masak di dapur, dan mengasuh anak sepanjang hidupnya telah menjadi bentuk penindasan terhadap perempuan, dan pada akhirnya mempersulit perempuan untuk memasuki ruang publik. 

Namun perempuan Madura, yang berada di ambang penindasan, masih memiliki kebebasan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke pasar tradisional. Perempuan masih mempunyai secercah harapan dalam memasuki ruang publik.

Contoh lain adalah tradisi nikah paksa di Madura. Tradisi nikah paksa adalah sebuah kebiasaan masyarakat Madura dalam menjodohkan atau menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan lelaki pilihan orang tua. Biasanya mereka dijodohkan ketika masih dalam kandungan atau masih anak-anak. 

Umumnya usia anak perempuan yang dinikahkan di bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia sekitar 12-15 tahun. Pelestarian warisan leluhur tersebut bisa dilihat di beberapa daerah tertentu di Madura meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Tradisi init karena hukum adat yang melebur dengan pemahaman keagamaan masyarakat Madura tentang Islam, didukung pula dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.

Di Madura memiliki struktur sosial yang dalam beberapa aspek dapat dilihat sebagai patriarki. Dalam konteks Madura, ada beberapa ciri patriarki yang dapat ditemukan. Pertama, kepemimpinan pria, tradisi kepemimpinan dalam masyarakat Madura sering kali didominasi oleh pria, baik di tingkat keluarga, komunitas, atau politik. 

Kedua, peran gender yang Terbagi, terdapat pemisahan peran gender yang kuat di mana pria biasanya diharapkan untuk mengambil peran sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, sementara perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. 

Ketiga, perkawinan dan warisan. Dalam konteks pernikahan dan warisan, sistem patriarki dapat tercermin dalam peraturan adat yang menentukan bahwa harta dan kepemilikan cenderung diwariskan kepada pria. Namun, penting untuk diingat bahwa masyarakat Madura tidak homogen, dan perubahan sosial serta adanya variasi dalam tingkat patriarki dapat terjadi antara keluarga dan komunitas yang berbeda. 

Selain itu, perubahan sosial dan perkembangan ekonomi dapat membawa pergeseran dalam peran gender dan struktur sosial di Madura.

Aktivis Muslimat NU Madura menunjukkan pendekatan yang berbeda dengan menggabungkan perspektif feminis dengan pemahaman agama Islam yang kuat. Aktivis feminisme mulai mengubah cara haluan otoritas mereka. Keadilan yang diinginkan agar dunia memberikan kebebasan bagi perempuan, dalam membentuk karir dan pekerjaan. 

Perempuan kini mereka berusaha untuk menyuarakan keinginan mereka agar dunia memberikan kebebasan untuk berkecimpung di dunia politik, bahkan juga layak untuk berdiri sebagai pemimpin. Dengan demikian, para feminis Muslim telah mencapai kemajuan baru yang sangat strategis dalam melawan tradisi patriarki yang disebabkan oleh ketidaklengkapan pemahaman terhadap teks Alqur’an dan Hadis, sehingga tuntutan kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan tidak ada lagi.

Dilain pihak, para Feminis muslim terus melakukan gerakan, dengan menjadikan  isu-isu agama sebagai pusat gerakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran yang lebih terbuka mengenai posisi dan fungsi perempuan. Dengan mengedepankan konsepsi tafsir keagamaan yang lebih egaliter, sesuai dengan nilai-nilai ideal Al-Quran dan Hadits, tentang  pentingnya kesetaraan, kesetaraan dan kesetaraan tanpa adanya diskriminasi karena perbedaan gender.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال