Modal Taqlid, Penyebab Cacat Beragama



Penulis: Afifulmi

فكل من كلف شرعاوجبا# عليه ان يعرف ماقدوجبا

لله والجائزوالممتنعا# ومثل ذا لرسله فاستمعا

إذ كل من بلد فى التوحيد# ايمانه لم يخل من ترديد

"Diwajibkan bagi setiap mukalaf untuk mengetahui sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rasul-nya, karena bagi mereka yang tidak mengenal hal itu, akan selalu ada keraguan dalam keimananya."

Melalui bait-bait yang saya kutip dari kitab Jawahirul Kalamiyah ini, sudah selayaknya setiap pribadi yang tengah memasuki masa akil baligh untuk mengetahui akidah Islam meliputi sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah, dan para Rasul-Nya, sebab dengan pengetahuanlah (makrifat) seseorang dapat menjadi manusia yang memiliki keimanan yang kuat, dan tidak mudah tergoyahkan, karena pada umumnya seseorang yang sangat mengetahui tentang sesuatu maka pengetahuannya itu yang akan menuntunnya. 

Sehingga dalam rumusan masalah tersebut  menimbulkan beberapa pertanyaan diantara kalangan ulama, mulai dari apa sebenarnya definisi iman itu sendiri?, apa yang diwajibkan pertama kali bagi kita untuk membangun sebuah keimanan yang kuat? apakah keimanan seseorang yang sekedar ikut-ikutan bisa dianggap valid, sedangkan orang dengan tipe seperti ini keimanannya sangat riskan untuk  terkontaminasi?

Definisi Taqlid

•Syara'

Menurut syariat taqlid adalah ketika seseorang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar pengambilannya.

•KBBI

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia takqlid diterjemahkan sebagai keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) seseorang ahli hukum tanpa mengetahui tendensinya.

Definisi Iman

Perlu diketahui dalam mendefinisikan apa itu iman? Terdapat beberapa pendapat ulama, ada yang berpendapat bahwa iman merupakan pengetahuan tentang akidah-akidah Islam itu sendiri yang diperoleh melalui sebuah dalil.

Ada yang mengatakan bahwa iman adalah sebuah tuntunan hati/firasat yang mengikuti sebuah pengetahuan (makrifat), dimana firasat tersebut adalah ketika seseorang telah berikrar bahwa dia telah mengimani kerasulan nabi Muhammad beserta segala ajaran yang dibawanya.

Hal pertama yang wajib bagi setiap individu 

1. Makrifat (pengetahuan)

Mereka berspekulasi bahwa menjalankan sebuah perintah sebagai bentuk ketaatan, atau tidak melakukan sebuah larangan (agama) sebagai bentuk menah diri tidak akan bisa terealisasikan kecuali setelah mengenal siapa yang memerintah, dan yang melarangnya, dimana dalam hal ini adalah allah/rasul, sehingga mau tidak mau kita harus mengetahui sifat-sifatnya terlebih dahulu. Pendapat ini antara lain diprakarsai oleh imam Haramain.

2. Berpikir serta menganalisis (nadhor & istidlal)

Salah satu penggagas teori ini adalah Ibnu Faurak, mereka berdalih sebuah pengetahuan tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan cara berpikir serta menganalisa.

3. Tahap-tahap analisis (juz minan nadhor)

Alasan yang mereka usung adalah sebelum kita melakukan sebuah proses menganalisa sesuatu tentu terdapat tahapan-tahapan yang harus ditempuh sebelumnya. Pendapat ini diceritakan dari Qadhi Abi Bakr bin Tayyib.

4. Tekad untuk menganalisis (Qasdu ila nadhor)

Pendapat ini diceritakan dari Abi Ishaq Al-Asfirani. Ke-empat pendapat tersebut dipadukan oleh sebagian kelompok ulama dengan menyebut bahwa "Pendapat yang mengatakan bahwa makrifat adalah yang pertama kali diwajibkan hanyalah sebagai bentuk anjuran, dan pembebanan alias (hanya kalau bisa), sedangkan yang dikehendaki dari pendapat ke-dua yang mewajibkan berpikir & menganalisa terlebih dahulu tidak lain hanya sebagai bentuk mentaati sebuah anjuran yang berupa makrifat, karena melalui proses analisalah akan timbul sebuah pengetahuan, sehingga bisa disimpulkan bahwa kewajiban pertama adalah kemakrifatan".

Hukum Taqlid dalam Akidah 

Mengenai hukum taqlid sendiri diantara kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat karena sudut pandang yang berbeda-beda, sebagai berikut :

1. Wajib furu'iyah (tambahan), dan absolut alias mutlak bagi siapapun baik untuk si jenius (ahli nadhor), atau si rata-rata.

2. Wajib furu'iyah hanya bagi si jenius, dan tidak untuk si rata-rata, sehingga bagi mereka yang sebenarnya punya potensi untuk tahu melalui dali-dalil dari ilmu kalam(teologi), tetapi dia enggan, maka dia tergolong seorang mukmin yang melanggar (mukmin 'ashi), karena dianggap tidak mempergunakan anugerah (akal) yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.

3. Wajib ushuli alias sebuah kewajiban yang memang dari sono-nya itu wajib, sehingga keimanan seseorang tidak akan dianggap valid kecuali dengan didasari sebuah pengetahuan (makrifat) terhadap akidah-akidah dasar. Kontradiksi atas keabsahan iman seorang muqallid (ikut-ikutan) tidak sah 

Dalam arti berati dia dianggap tidak beriman alias kafir. Beberapa ulama yang mendukung pendapat ini diantaranya, imam Sanusi dalam kitab Al-Kubra, Abu Hasan Al-Asy'ari, Abu Bakr Al-Baqillani, Imam Haramain akan tetapi terdapat cerita bahwa imam Haramain telah menarik kembali pendapat ini, dan menjelang wafatnya beliau berkata " Wahai sahabat-sahabatku!! Janganlah kalian terlalu mendalami ilmu kalam (teologi), andaikata saya tahu bahwa dampaknya akan begini, maka saya tidak akan mau mendalaminya"

Dikisahkan bahwa beliau juga pernah berkata " Aku telah berlayar terlalu jauh di samudera lepas, dan aku telah menyelami hal-hal tentang ketuhanan yang sebenarnya telah dilarang oleh para ulama dalam mencari sebuah kebenaran, yang sebenarnya hanya sebagai alibiku agar seorang tidak gemar bertaklid dalam berakidah, ,dan sekarang aku menarik kata-kataku itu (tidak sah bertaklid), dan aku telah yakin dengan apa yang dikatakan para pendahuluku ( sah taklid dalam berakidah)".

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hasyim dari sekte Muktazilah yang mengklaim bahwa" Mereka yang tidak mengenal Allah melalui sebuah proses analisa (dalil) adalah kafir, karena kebalikan dari mengenal (makrifat) adalah menolak (ingkar) sedangkan penolakan berati kufur"

Pada satu kesempatan imam Al-Ghazali menggugat teori kelompok ini, beliau menganggap teori ini sangat memberatkan umat islam karena tidak semua orang mampu mengkaji dalil ketuhanan dengan sendirinya " Ada sebagian kelompok islam yang terlalu berlebihan, sehingga mereka menganggap keimanan orang awam tidak valid (kafir), mereka berasumsi bahwa setiap orang yang tidak mengenal akidah syar'iyah melalui dalil-dalil adalah kafir, dimana dengan ini mereka berarti telah mempersempit rahmat Allah yang sebenarnya sangat luas, dan menjadikan surga khusus untuk golongan kecil mereka saja".

Begitupun dengan imam Abu Mudhofar As-Sam'ani, dan mayoritas ulama fatwa yang juga melayangkan kritikanya atas teori ini

" Tidak diperbolehkan membebani masyarakat awam dengan mengharuskan mereka untuk mengkaji (nadhor) dalil ketuhanan, karena mempelajari hal itu lebih sulit ketimbang belajar ilmu fikih".

Imam Qurthubi dalam karangnya juga menyebut "Andaikata dalam ilmu kalam hanya terdapat dua bahasan, maka ilmu kalam adalah murni sebuah keburukan, kedua bahasan tersebut adalah pertama tentang hal yang pertamakali diwajibkan bagi setiap pribadi seseorang adalah mempertanyakan eksistensi tuhan, karena hal tersebut akan mendorong kita untuk berpikir dan melakukan sebuah analisa, kedua adalah asumsi mereka atas ketidakabsahan iman seorang yang hanya bermodal taklid."

Berikut ini beberapa alasan yang diusung oleh kelompok mereka, antara lain :

1.Ayat-ayat Al-Quran yang berisi kritikan akan taklid dalam berakidah, padahal sebenarnya ayat-ayat tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir, seperti; Al-Ahzab: 67, Surat Al-Anbiya': 53, Surat Asy-Syu'ara: 74, dan ayat lainya.

2. Mereka berasumsi bahwa sebelum melakukan sebuah pencarian tentang eksistensi tuhan tidak tahu mana yang merupakan sebuah kebenaran, sehingga perlu adanya proses pencarian" 

3. Setiap hal tidak bisa langsung diterima kecuali dengan didasari oleh pembuktian, maka jika tidak, hal itu tidak lain hanyalah sebuah klaim sepihak yang tidak bisa dibenarkan"

4. Mempercayai suatu berdasar fakta adalah sebuah keharusan, maka setiap orang yang tidak punya ilmu yang mendasari akidahnya adalah bodoh, dan sesat.

Sah tetapi dianggap sebagai sebuah pelanggaran secara mutlak.

Sah tetapi dinilai sebagai sebuah pelanggaran, ketika sebenarnya orang ini mampu untuk berpikir.

Sah jika yang dia ikuti adalah dalil qath'i (Al-Quran, dan hadist qath'i )

Karena menurut mereka kedua dalil ini dinilai  jelas keabsahannya, berbeda dengan dalil yang berasal dari selain keduanya yang masih sangat mungkin terjadi kerancuan dalam memahaminya bagi selain mereka yang terjaga (maksum) alias orang awam.

Sah dan dianggap bukan pelanggaran karena menurut pendapat ini berpikir adalah penyempurna bukan keharusan, sehingga dianggap tidak etis (baik) ketika ada orang yang sebenarnya mampu untuk berpikir, tapi dia tidak melakukannya.

Sah dan tidak dibenarkan berpikir sendiri

Pendapat ini dinilai telah terkontaminasi dengan teori-teori filsafat. Menurut golongan ini keimanan seseorang bisa dianggap valid meskipun murni hanya berdasarkan ikut-ikutan (takqlid), bahkan ada beberapa oknum yang terlalu fanatik hingga mengharamkan seorang berpikir dan mengkaji dalil-dalil (ketuhanan) dengan dalih bahwa para ulama terdahulu anti terhadap ilmu ketuhanan (teologi). Pendukung teori ini antara lain adalah Ubaidillah bin Hasan Al-Ambari, beberapa ulama dari madzhab Hambali, juga dari madzhab Ad-Dhohiri. 

Referensi:

•Hasyiyah Ad-Dasuqi 'Ala Ummi Barahin, Ad-Dasuqi, Muhammad, Hal. 54-56, Haramain

•Jawahirul Kalamiyah

•Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari//Ibnu Hajar Al -Asqolani//Vol.13//Hal. 398-402//Cet. Dar Al-Hadits 

• Tuhfatul Murid// Ibrahim bin Muhammad Al-Baijury //cet.Haramain//hal.24-25

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال