Mengenali Eksistensi Tuhan dan Makna Kehidupan


Penulis: Nadia Dina Azkiya* 

Hal pertama yang muncul dari sejumlah pertanyaan-yang mungkin muncul, dimaksud adalah bagaimana  bumi terdeskripsi dan terpikirkan manusia? Apakah keindahan, kebesaran, dan kompleksitas bumi akan sama seperti saat memersipkan saat ini, jika Adam tidak pernah nyata dan tidak “diturunkan” Tuhan ke muka bumi? Bagaimana, misalnya, jika Adam tidak memakan “buah khuldi” dan karenanya tetap berada di surga ?

Pertanyaan tersebut bersifat hipotetis. Karena itu, jawabannya pasti bersifat hipotetis juga. Ketika fakta bahwa Adam “memakan buah khuldi”, mungkin manusia harus bersyukur karena melalui kegiatan itu manusia benar-benar menjadi manusia. Lepas dari jawaban hipotesis tadi terjadi, yang pasti bahwa melalui “ulah” Adam yang memakan”buah khuldi’ itulah, justru membuat Adam menjadi penghuni dan khalifah Tuhan di bumi. Ia menjadi makhluk histori yang akan menentukan nasib dan masa depan pada dirinya sendiri, dengan segenap potensi yang dititipkan Tuhan hanya kepada dirinya. Tidak kepada makhluk lain, termasuk tidak kepada malaikat.  

Di Mana Letak Eksistensi Tuhan

Narasi dan diksi di atas, dengan sendirinya mendorong suatu asumsi, bahwa keyakinan kehadiran Tuhan dalam nalar-nalar di atas juga sama, dikonstruksi dalam nalar filosofi manusia. Suatu nalar yang kemudian melembaga menjadi sebuah disiplin ilmu, yang belakangan popular dengan sebutan Filsafat. Karena secara filosofis kehadiran Tuhan dianggap sebagai kebutuhan manusia dan nalar manusia, termasuk dalam merumuskan Tuhan satu sama lain berbeda, maka wajar jika rumusan dan bentuk Tuhan sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad juga berbeda. 

Dalam nalar ini, dapat dipastikan hampir semua tidak ada satu entitas manusia yang merasa tidak perlu Tuhan. Setiap manusia, selalu harus merasa yakin bahwa Tuhan mereka ada dan keberadaan-Nya harus dianggap benar- benar nyata. Pengakuan bahwa ada tuhan yang harus disembah, dalam pengertian ini bukan kepentingan Tuhan, tetapi melembaga menjadi suatu kesadaran kolektif manusia. Semakin tinggi tingkat kesadaran jiwa-jiwa manusia, maka pengakuan akan eksistensi Tuhan akan semakin kuat. Tuhan akan menjadi sesuatu yang innate atau natur manusia. (Prof Dr Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2020).

Para ahli Tasawuf Falsafi di kalangan intelektual muslim, mencoba merumuskannya dengan konsep Wujud dan yang Mumkin Wujud. Wujud, jika membaca tulisan Aksin Wijaya dan Abu Bakar Yamani (2017) terbagi menjadi dua bagian, yakni : wujud Tuhan dan wujud alam (termasuk manusia ). Artinya, tanpa kehadiran Tuhan, alam dan manusia tidak mungkin ada. Jadi pengakuan akan eksistensi Tuhan di balik semua realitas materil, ”lahir” atau malahan “dilahirkan” dalam narasi filosofis. (Prof Dr Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2020).

Jadi, konsep Tuhan yang Tunggal, Yang Menciptakan, Yang Mengatur, Yang Memelihara, Yang Kuat dan Perkasa, bukan saja Ada dan diakui dalam agama-agama formal atau sering disebut samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), tetapi gagasan dan formulasi keTuhanan seperti ini, justru telah hadir dalam agama masa lalu. Dalam kasus-kasus tertentu,apa yang disebut dengan Tuhan beserta seluruh perangkat, diperoleh para filsuf yang kemudian dikonfirmasi manusia terpilih (Nabi dan Rasul) sebagai suatu kebenaran. Jika apa yang disebut agama tidak mampu membawa manusia  menuju Tuhan, maka saat itu juga, sistem yang disebut agama tak layak disebut agama.

Bila kita perhatikan dengan seksama. Air mengalir dari tempat yang relatif lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, sehingga untuk menyimpannya diperlukan bejana. Udara berderak dari tempat yang lebih padat ke tempat yang relative lebih renggang tekanan udaranya, sehingga apabila ada kilat yang membakar sebagian udara (oksigen) tersebut tempat itu berkurang udaranya dan udara di kiri kananya bertubrukan, yang kita dengar sebagai guntur jika demikian teraturnya alam raya, maka seperti keteraturan ruangan yang penulis suguhhkan di muka, sudah barang tentu, alam raya yang maha luas ini pasti ada Sang pengaturnya. Manusia mencoba mencarinya, tetapi Dia sendiri memperkenalkan diri-Nya melalui kitab suci-Nya Allah. (Drs. Inu Kencana Syafie, Filsafat Kehidupan, t.t., hlm.19.)

Hakikat Manusia

Menurut Ibn ‘Arabi bahwa tidak ada makhluk Allah SWT yang lebih sempurna dibandingkan dengan manusia. Allah memberikan sifat-sifat rahbaniyah yang menjadikan manusia hidup, mampu mengetahui, berkuasa, memiliki kehendak, mampu berbicara, mampu mendengar, mampu melihat, dan mampu memutuskan. Lalu apa hakikatnya manusia hidup sampai mati ?

Tujuan manusia diberi nalar untuk berpikir akan dunia dan seisinya, yang mana di setiap rentetatan dunia dan hukum alam di situlah terdapat kekuasaan Allah SWT, sehingga makna kehidupan manusia ialah mengesakan Allah SWT. Mengutip pikiran Socrates di awal, orang bijaksana akan selalu sadar bahwa kebijaksanaan itu hanya milik sang Idea, God, atau  Allah dalam terminologi Arab-Muslim. Lebih dari itu tidak ada manusia yang benar-benar layak disebut sempuurna atau bijak. 

Dalam Islam, manusia di sebut ahsan al-taqwin yang dibuktikan adanya kesatuan wujud manusia antara unsur fisik dan psikis serta potensi yang dimilikinya. Hal tersebut menempatkan manusia pada posisi yang strategis yakni sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah. Menurut Musa Asy’arie bahwa esensi abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Manusia terikat oleh hukum-hukum Tuhan sehingga manusia sebagai hamba Allah tidak bisa terlepas dari kekuasaannya. (Springer Medizin, “["The test and treat strategy can not be recommended!"],” MMW Fortschritte der Medizin 158, no. 9 (12 Mei 2016): 21, https://doi.org/10.1007/s15006-016-8179-z.)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan

Referensi:

Springer Medizin. “["The test and treat strategy can not be recommended!"].” MMW Fortschritte der Medizin 158, no. 9 (12 Mei 2016): 21. https://doi.org/10.1007/s15006-016-8179-z.

Sumarna, Prof dr Cecep. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2020.

Syafie, Drs. Inu Kencana. Filsafat Kehidupan, t.t.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال