Kaidah Fikih Sebagai Rambu dalam Kehidupan


Penulis: Arya Aulia Razmi*

Rahmat bagi semesta alam adalah visi agung dari hadirnya Islam di muka bumi. Banyak hikmah yang bisa didapat ketika memperdalam ajaran Islam, baik secara individu, komunitas, ataupun lingkungan. 

Kemunculan Islam di jazirah Arab sendiri mulanya bertujuan untuk menyelesaikan problem sosial masyarakat. Seperti judi, kecurangan dalam jual beli, pembunuhan anak perempuan, perzinahan, perang dan lain sebagainya. Produk dari hukum Islam bertujuan untuk merawat kebaikan pada manusia dan alam yang menjadi tempat hidupnya.

Seorang muslim haruslah selalu ingat akan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya, ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.” yang menunjukkan bahwa manusia diamanahkan untuk tidak hanya mengatur urusan antar sesama, tetapi alam raya juga. Di awal ayat, Allah SWT menegaskan kata Ingatlah! yang secara langsung dapat dipahami sebagai penegasan agar manusia selalu memberikan kebermanfaatan dan mencegah kerusakan.

Di dunia Islam ada satu bidang ilmu yang bernama qowaidul fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih). Kaidah fiqih atau kaidah hukum Islam digunakan sebagai metode dalam menghadapi problem kehidupan praktis, baik individu maupun kolektif dengan cara yang bijak sesuai Alqur’an dan Hadis. 

Tujuan kaidah ini adalah untuk membuahkan kesadaran di benak kaum muslim bahwa Islam merupakan rahmat bagi secara prinsipil. Tujuan inilah yang harus ada pada manusia sebagai khalifah Allah SWT yang akan merawat segala hal di muka bumi. Sehingga ajaran Islam tidak ternista oleh perilaku tercela umatnya yang dapat mengaburkan esensi dari visi Islam itu sendiri.

Di antara kaidah fikih yang terkenal adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’di (1889 –1957) dalam karyanya Manzhumah Qawaidul Fiqhiyyah yang berbunyi:

الدينُ مبْنيٌّ على المصالحِ في جلبِها والدرءِ للقبائحِ

"Agama Islam itu dibangun di atas prinsip mewujudkan maslahat dan mencegah keburukan."

فإنْ تَزَاحَمْ عَدَدُ المصالِح يُقدّمُ الأعلى من المصالحِ

"Jika terjadi pertentangan pada sejumlah maslahat, maka yang didahulukan adalah maslahat yang lebih besar."

وضِدُّهُ تزاحمُ المفاسِدِ يُرتَكبُ الأَدنى من المفاسِدِ

"Kebalikannya adalah ketika terjadi pertentangan hal-hal yang buruk (mafasid), maka yang diambil adalah yang lebih rendah dari keburukan yang ada."

Pada kaidah pertama disebutkan bahwa Islam memiliki prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan dan menepis keburukan. Maka kalau kita lacak pada dunia Islam, bahwa hal-hal yang bersumber dari Islam baik itu hukum, pemikiran, maupun pergerakan pasti diklaim membawa urgensi kemaslahatan. 

Prinsip ini sifatnya universal dan berkesesuaian dengan visi ajaran Islam itu sendiri. Apabila ada hukum fikih, pemikiran, dan pergerakan inspirasinya berasal dari ajaran Islam, namun tidak mengandung prinsip ini maka hal tersebut tertolak dan tidak boleh digunakan. Sebagai contoh ada dalil bahwa semua hewan laut halal dikonsumsi namun terdapat juga hewan laut yang beracun dagingnya seperti ikan buntal. Maka secara langsung kita dapat menyimpulkan bahwa mengkonsumsi ikan buntal adalah haram disebabkan oleh mudharat (bahaya) pada ikan buntal tersebut, racun.

Ada sebuah cerita ketika seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan ia juga telah memiliki modal untuk akomodasinya. Tiba-tiba ia dihadapkan dengan kabar tentang keadaan tetangganya, yakni janda dengan kelima anaknya sedang membutuhkan finansial demi keberlangsungan hidup mereka. Maka tindakan yang patut dilakukan oleh orang tersebut adalah memberikan hartanya demi mencegah kemudharatan menimpa keluarga tersebut. Tindakan orang ini sudah mengandung esensi kaidah pertama, dengan rincian bahwa mencegah kemudharatan didahulukan ketimbang mengambil kemaslahatan (haji). Dengan menyingkirkan mudharat secara otomatis menciptakan kemaslahatan.

Kaidah kedua menerangkan tindakan yang seharusnya dilakukan ketika seseorang dihadapkan pada sejumlah hal yang membawa kemaslahatan atau kebaikan. Akan tetapi, jika hal-hal tersebut tidak dapat saling dikompromikan, maka tindakan yang harus diambil adalah mendahulukan kemaslahatan yang dampaknya lebih luas dan besar. 

Contohnya dalam pelaksanaan ibadah dengan menggunakan kaidah ini adalah tidak salat sunnah saat iqomah (ketika sedang berada di masjid) , karena salat fardhu berjama’ah akan didirikan. Ketika dihadapkan antara melaksanakan yang wajib dan yang sunah maka yang wajib haruslah didahulukan.

Adapun contoh lain, jika dihadapkan antara dua hal wajib, maka yang didahulukan adalah yang paling wajib. Seperti seseorang berhaji karena nadzar (janji) tetapi ia belum sama sekali melaksanakan haji fardhu. Maka ia harus melaksanakan haji fardhu terlebih dahulu sebelum haji nadzar (janji). 

Begitu pula dengan perkara antara dua hal sunnah, maka dipilih yang lebih sunnah apabila antara kedua hal sunnah tersebut tidak dapat digabungkan. Adapun antara wajib dan sunnah sudah seharusnya mendahulukan yang wajib seperti yang telah dijelaskan pada masalah salat sunnah ketika iqomah.

Pada bait terakhir disebutkan kaidah ketiga, yaitu ketika dihadapkan pada berbagai kemudharatan yang tidak ditemukan solusi atasnya. Solusi bagi kondisi ini adalah memilih kemudharatan yang dampaknya paling ringan. 

Contohnya adalah ketika seseorang berada di hutan untuk berburu, sedangkan ia kehabisan bekal makanan dan belum menemukan buruan yang halal kecuali babi. 

Dengan mempertimbangkan apakah mati demi makanan halal atau tetap bisa melanjutkan hidup dengan memakan babi, maka tindakan yang harus ia lakukan adalah memakan babi tersebut sampai ia bisa menemukan hewan halal lagi.

Dalam permasalahan lain seperti politik, pada saat pemilu kita dihadapkan dengan berbagai calon pemimpin untuk dipilih. Maka keharusan bagi kita adalah memilih calon yang kita anggap paling baik diantara calon lainnya. Pertimbangannya adalah mengurangi potensi terpilihnya calon-calon yang kompeten, karena ditakutkan apabila terpilih akan merugikan kehidupan negara. Nasib orang banyak bergantung pada suara individu pada saat pemilihan calon pemimpin, karena selisih satu suara saja berdampak besar bagi masa depan banyak orang.

Kaidah fikih dalam penggunaanya tidak terbatas pada perkara-perkara yang berkaitan dengan ibadah saja. Namun juga bisa diterapkan dalam berbagai hal duniawi seperti beberapa contoh di atas. Ketiga kaidah ini tentu mudah diingat, namun tantangan bagi umat muslim adalah mengimplementasikannya dalam kehidupan. 

Banyak orang menganggap citra dari Islam itu buruk karena umatnya tidak mencerminkan prinsip-prinsip di atas pada realitas mereka. Oleh karena itu, kaidah-kaidah ini perlu dipelajari oleh umat Islam terlebih para ulamanya yang memiliki otoritas untuk membimbing umat.

Referensi:

Al-Sa’di, Abdurrahman. 2010. Manzhumah Qawaidul Fiqhiyyah. Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.

*) Mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menyukai ilmu-ilmu Keislaman

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال