KECURIGAAN SAYA ATAS ‘KELICIKAN’ PROF. MUN’IM SIRRI

Sore itu baru saja selesai mengikuti seminar bedah buku beliau di PPIM UIN Jakarta (kebetulan sangat dekat dan bisa jalan kaki). Seminar itu mengupas buku berjudul “Pendidikan dan Radikalisme”.  Dalam seminar itu, beliau sedang mempresentasikan hasil penelitian yang beliau lakukan sejak tahun 2018. Katanya, penelitian ini dilakukan untuk merespon hasil temuan BNPT. Temuan yang menyatakan bahwa setidaknya ada tujuh kampus yang terpapar radikalisme. Sepertinya hasil temuan BNPT tersebut telah mengusik nurani kesarjanaan beliau.  Dan tampaknya, beliau ingin menolak berbagai  kesimpulan bila belum bertemu dengan data real. Ya, bukankah memang seharusnya begitu? Sejurus kemudian, penelitian ini hadir dengan satu pertanyaan besar, bagaimana radikalisasi siswa dan mahasiswa di Indonesia?

Nah, saya sudah mengendus ‘kelicikan’ beliau sejak awal diskusi. Tepatnya sesaat beliau menceritakan ground theory yang ia gunakan untuk penelitiannya itu.  Untuk menjawab pertanyaan penelitian itu, beliau menggunakan teori konversi. Lah, bukannya teori konversi adalah salah satu teori psikologi; teori ini digunakan untuk melihat bagaimana gejala perubahan  seseorang ketika berpindah ideologi. Teori ini memang sering dipakai untuk menganalisa psikologi seseorang saat pindah agama. Dan dalam pertemuan tadi, Mun’im mengaku  memakai teori ini untuk mendeteksi perbedaan dan kesamaan gejala antara siswa dan mahasiwa. Bagaimana siswa yang tadinya toleran menjadi intoleran? Dan bagaimana mahasiswa yang tadinya tidak radikal dan ekstrimis malah terpapar radikalisme dan ekstrimisme?  Pertanyaannya, apa masalahnya kalau beliau menggunakan teori ini?

Dari dasar teori yang digunakan saja, sudah dapat menebak hasil penelitiannya. Coba pikir,  hasil seperti apa yang bisa kita simpulkan ketika kita menggunakan teori konversi? Sementara objek penelitiannya adalah anak SMA, apalagi mahasiswa. Masa dimana mereka sedang mencari jati diri. Kondisi yang memang dalam siklus rentan dan mudah terpapar apa saja. Selama masa remaja, mereka berada dalam tahap pembentukan identitas dan sering mencari rasa kepemilikan, tujuan, dan makna dalam hidup mereka. Bukankah kerentanan ini membuat mereka lebih menerima ide-ide dan ideologi baru? Yang menjanjikan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Masuknya berbagai ideologi, termasuk radikalisme dan ekstrimisme memang bisa dari mana saja, mulai dari medsos, lingkungan kampus bahkan asmara. Demikianlah memang hasil penelitian ini, sejak awal memang sudah dapat ditebak. Sudah ketahuan kemana niatnya.

Nah, ternyata dugaanku sejak awal benar,  beliau menemukan bahwa sifat toleran mahasiswa kita itu tidak sungguh-sunguh. Hanya setengah hati, ya sekaligus sifat intelorennya juga setengah hati.  Begitu pula keradikalannya, sifat radikalnya juga radikal yang  ‘ecek-ecek’. Radikal yang tidak sungguh-sungguh.  Karena  utamanya bukan karena motivasi agama (dapat pencerahan atau semacamnya) tetapi lebih karena faktor lain, seperti karena kedekatan dan  faktor lingkungan. Sesunguhnya beliau hanya ingin mengatakan bahwa mahasiwa bisa menjadi radikal menjadi tidak radikal sekaligus adalah hal yang lazim. Di usia tersebut mereka memang selalu converting, sering berubah-ubah. Jadi wajar saja akhirnya beliau menyimpulkan tidak ada hubungan langsung antara radikalisasi dengan aksi terorisme.

Menurut saya, memakai teori yang mudah ditebak hasilnya adalah hal yang aneh dari seorang Mun’im Sirri. Ini adalah kecurigaan saya, Kok bisa? Sekelas Prof. Mun’im yang belajar langsung dari universitas Chicago. Universitas yang kuat dalam teori justru melakukan itu? Mengapa beliau tidak langsung memakai teori yang lain saja, misal Relative Deprivation Theory. Teori yang mengusulkan bahwa radikalisasi bisa menjadi respons terhadap ketidakpuasan, ketidakadilan yang dirasakan, atau perasaan deprivasi relatif dibandingkan dengan orang lain dalam masyarakat. Seseorang bisa saja  beralih ke ideologi radikal sebagai cara untuk mencari perubahan sosial dan politikt. Tentu saja, orang sekaliber beliau tidak mungkin melakukan hal tersebut begitu saja. Pasti ada motivasi lain mengapa beliau melakukan itu. Saya kira ini adalah strategi beliau. Strategi apa? Ini adalah strategi beliau dalam mengevaluasi upaya pemerintah dalam menanggulangi aksi terorisme.

By the way, teori konversi yang beliau gunakan dalam penelitiannya hanyalah gimmick belaka. Bayangkan, buku tebal dari hasil  penelitian dengan teori tersebut fungsinya cuma satu, yaitu membantah hasil penelitan BNPT. Ujungnya, dipertemuan itu beliau terang-terangan mengatakan bahwa BNPT gagal. Beliau juga mengatakan bahwa usaha pemerintah untuk menanggulangi terorisme yang sekarang tidak ada gunanya. Meski dibubarkan,  nyatanya institusi radikal tidak mungkin hilang begitu saja.  Saran beliau adalah membiarkan paham radikal itu jadi bahan perdebatan secara akademis. Ya, semacam perdebatan wacana.

Demikianlah, aku sungguh terkesan. Ternyata beginilah cara seorang ilmuwan berkerja. Dibalik penelitian yang ilmiah; dengan datanya yang bernuansa akademis, beliau bisa ‘sesuka hatinya’ menyesuaikan penelitiannya dengan teori yang ia mau. Teori yang sejak awal beliau manfaatkan untuk mengevaluasi pemerintah. Akhirnya aku bisa melihat seorang kepiawaian seorang Mun’im Sirri memainkan metodologi penelitian.  Aku jadi ingin sekali membeli buku pertamanya ini. Aku juga ingin sekali segera punya sekuel buku berikutnya. Apalagi sejak ia mengatakan bahwa di penelitian berikutnya ia akan menggunakan teori deprivasi relatif.

Oh ya, jangan-jangan, acara pertemuan tadi juga adalah gimmick. Soalnya, dalam pertemuan tersebut dimunculkan seorang Prof. Didin selaku pengkritik buku tersebut. tentu saja kritikannya adalah gimmick juga; dikemas dalam suasana apik elegan. Tapi tetap saja terendus olehku. Karena niat kritikan tersebut adalah menunjukkan kepada seluruh akademika, bahwa seolah-olah penelitian beliau berikutnya tidak diajukan oleh dirinya sendiri, tapi berangkat dari saran pengkritiknya. Padahal justru sebaliknya. Gila sih. Karena bagaimana pun, teori berikutnya yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya sudah dapat ku endus. Intinya, Cerdas sekali prof. Mun’im sirri ini.

Apakah akan ada seminar lain dengan judul semacam, “relevansi penanggulangan  terorisme BNPT” oleh: Mun’im Sirri?  Jika ada, Aku pasti hadir..

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال