Kata Kita: Pembebasan Sebagai Konsekuensi Tauhid


Kita tahu, pada Abad ke-5 SM, di Yunani, filsafat datang atau lahir membebaskan manusia dari mitologi. Di belahan dunia lain, Nabi Musa menyelamatkan bani israil dari perbudakan, menghancurkan berhala sapi; di India, Budha Gautama menghapus kasta-kasta sosial. Ada kesamaan tema, yaitu pembebasan.

Selanjutnya, abad pertama Masehi, Isa al-Masih mereformasi keyahudian. Di tangan pemuka agama (ahl al-kitab), Agama Yahudi jadi kerontang dari makna dan rasa karena ditafsirkan secara formalistik (semacam fiqh-sentrik). Reduksi agama sebagai hukum, mengabaikan spiritualitas. Yahudi kehilangan ruh. Isa datang menyuntikkan kembali spiritualitas dalam tubuh agama Yahudi. Di tengah masyarakat yang meyakini Allah Swt. sebagai Sang Maha Penghukum, Isa mengabarkan, Allah Swt. sebagai sebagai Yang Maha Kasih. 

Suatu hari, ada seorang perempuan dituduh berzina. Pemuka agama menvonis hukuman rajam. Para pemuka agama dan masyarakat awam berkumpul. Siap melempar batu ke arah perempuan malang itu. Isa datang. Isa ragu atas tuduhan perzinahan pada perempuan itu. Dia berkata, ”silahkan kalian rajam perempuan ini dengan tangan-tangan yang tak pernah melakukan dosa.” Semuanya terdiam. Itulah Isa al-masih, putera Maryam, Ruhullah, sang pembebas bangsa Yahudi dari formalisme-religius kering.  

Pada Abad ke-7 M juga, Muhammad diutus di tengah masyarakat yang mengalami puncak kebiadaban. Muhammad diutus sebagai rahmat bagi alam (rahmatan li al-alamin), menyempurnakan moralitas luhur (li utammima makarim al-akhlaq) Muhammad, sang utusan Allah, membawa pesan langit. Pesan pembebasan pula, dalam format agama. Muhammad membawa agama yang dimulai dengan kata La (tidak), kata Ali Shariati. Agama tauhid; La Ilah Illa Allah. Berkata tidak pada penuhanan “selain” Allah Swt. Selain Allah itu bisa apa saja: tentu saja bisa benda atau diri kita sendiri. 

Namun demikian, masyarakat Mekkah menentang Muhammad. Penentangan itu bukan pada tauhid sebagai doktrin teologis, melainkan lebih karena konsekuensi sosial politik ekonomi dari tauhid. Lalu apa konsekuensi sosial, politik, ekonomi tauhid? 

Pertama, adalah konsekuensi sosial:
Egalitarianisme, kesetaraan umat manusia. Pejabat, rakyat jelata, orang kaya, orang miskin, orang pintar, orang bodoh, pemuka agama, jamaah, majikan, budak, bos, pekerja adalah setara. Semua manusia setara di hadapan Tuhan. Hanya kualitas taqwa yang jadi pertimbangan Allah menilai kemuliaan manusia di sisi-Nya (QS. Al-Hujurat: 13), bukan status sosial.

Karena itu, merasa diri lebih tinggi (sombong, takabbur) dari orang lain adalah bentuk syirik-psikologis. Penghinaan, pelecehan, pemaksaan, diskriminasi, pelanggaran hak-hak dasar manusia tanpa alasan, eksploitasi manusia atas manusia, perbudakan adalah syirik-sosial. Tauhid membebaskan manusia dari syirik sosial. 

Kedua, adalah konsekuensi politik:
Tuhan Maha Kuasa. Semua kekuasaan berasal dari-Nya. Manusia dipinjami kekuasaan. “katakanlah, wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan (al-khair). Sungguh Engkau maka kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26).

Oleh sebab itu, kekuasaan adalah amanah Allah. Semakin besar, luas kekuasaan yang dimiliki seseorang, maka dituntut tanggungjawab yang lebih besar. Penyelewengan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, menindas, zalim, menipu rakyat, adalah bentuk-bentuk syirik politik. Tauhid membebaskan manusia dari syirik politik. 

Ketiga, adalah konsekuensi ekonomi. Semua kekayaan, alam dan sebagainya, adalah milik Allah. Semua orang berhak mendapatkannya. Kekayaan adalah milik bersama umat manusia. Karena itu, tidak heran, Hamid Enayat misalnya berpendapat, Islam lebih dekat pada sosialisme daripada kapitalisme. Kekayaan tidak boleh hanya beredar di sekelompok orang saja (QS. Al-Hasyr: 7) yang berakibat yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. 

Jelasnya, kekayaan harus terditribusikan secara adil. Ada jaring pengaman sosial bagi mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. Ketimpangan ekonomi menunjukkan bahwa, sistem ekonomi yang dipakai adalah sistem ekonomi-syirik. Tauhid membebaskan manusia dari syirik ekonomi. Wallahu a'lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال