Hubungan Antara Agama dan Filsafat Menurut Ibnu Rusyd


Penulis: Mahdafiqihya Ahmad Shidqi*

Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Ruysd atau Ibnu Rusyd,yang biasa dikenal dengan Averroes oleh para pemikir Barat telah memberikan kontribusi yang besar dalam pemikiran Islam. Ia sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, dan ia sangat mengagumi ilmu mantik Aristoteles. 

Ibnu Rusyd menjadi populer di Eropa Tengah dari pada di belahan timur, hal itu disebabkan karena karya-karyanya yang beredar dalam bahasa latin serta dilestarikan serta menawarkan satu pandangan baru agar mampu menangkap dimensi rasionalitas, baik dalam filsafat maupun agama yang dibangun atas maksud dan tujuan yang diberikan oleh-Nya yang pada akhirnya membawa upaya manusia kepada nilai-nilai kebajikan. Maka dari itu, karya-karyanya mudah diterima di Eropa Tengah. Sayangnya, karya aslinya banyak yang dibakar dan dilarang terbitkan.

Salah satu pemikiran Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah tentang hubungan antara filsafat dan agama, ia mencoba memadukan antara filsafat dengan agama, menyatakan bahwasannya filsafat itu tidak bertentangan dengan agama, serta Alquran yang sebagai pedoman umat Islam yang berisikan tentang pencipta dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya mengajak kita untuk berfikir secara mendalam. 

Maka dari itu Ia menyatakan bahwa berfilsafat merupakan hal yang dianjurkan dalam agama. Sebagaimana firman-Nya,

“Dialah (Allah) yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepadamu (Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Alquran) dan orang yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata ‘Kami beriman kepadanya (Alquran), semuanya dari Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaan kecuali ululalbab.” (QS. Ali-Imran :7).

Dalam memahami bakna batin wahyu perlu menggunakan takwil. Akan tetapi, makna batin wahyu hanya boleh diketahui oleh para filosof dan tidak boleh sembarangan dalam menyampaikannya terutama dihadapan orang awam, karena dikhawatirkan bisa menghantarkanya pada kekafiran jika terjadi kekeliruan dalam mentakwil wahyu. 

Kita mengambil contoh dari salah satu firman-Nya, “Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Lalu janganlah perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikialah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 191).

Bisa menjadi konflik berkepanjangan dengan orang kafir jika kita hanya tekstual dalam memahaminya. Maka dari itu bagi orang awan cukup mempelajari makna lahiriahnya saja dan tidak boleh memaksakan diri untuk mentakwilkannya, sebab itu adalah suatu bentuk bid’ah yang dapat menghantarkan pada kekafirah. 

Begitu juga dengan orang yang membeberkan interpretasi-interpretasi kepada orang awam maka dipandang kafir. Dapat disimpulkan bahwasannya terdapat hal yang dapat diselesaikan dan dijelaskan dengan mengunakan akal. 

Akan tetapi, jika akal tidak bisa menyelesaikan dan menjelaskannya, maka wahyu ada satu tingkat di atas kita. Ibnu Rusyd membagi menjadi 3 kelompok terhadap pemahaman syar’ah sebagai bukti kebenaran yakni;

Pertama, golongan awam, golongan ini merupakan golongan terbesar tapi bukan orang-orang yang ahli intrepretasi sama sekali dan hanya mampu menyerap sesuatu lewat contoh-contoh melalui metode retorika (al-Khattabiyah).

Kedua, golongan ahli dalam interpretasi dialektika (jadali), mereka merupakan golongan dialektisis baik karena bakar atau kebiasaan. Mereka juga adalah ahli theology yang memulai kebenaran dialektis dan bukan dari kebenaran ilmiah.

Ketiga, golongan ahli takwil, merupakan golongan kaum burhani (filosof) baik secara ilmiah maupun latihan dalam berfilsafat. Mereka mencari pengetahuan tentang segala hal yang ada dengan akal mereka, bukan, bukan bersandar kepada pendapat orang yang mengajak mereka tanpa burhan.

Di sisi lain, Ibnu Rusyd pernah mengkritik Al Ghazali dalam bukunya, yakni Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dalam kerancuan) atas bukunya Al Ghazali yakni Tahafut al-Falasifah. Dalam buku Ibnu Rusyd mengkritik terkait pernyataan Al Ghazali dalam bukuya yang mengkritis para filsuf yang berujung pada mengkafirkan para filsuf. 

Ia secara tegas menolak pernyataan Al Ghazali atas tuduhan kafir kepada filosof tanpa ada ‘ijma ulama. Ia meyakini bahwa seorang muslim yang masih meyakini adanya Allah, Rasul, dan hari akhir, maka orang itu tidak bisa dikatakan kafir. 

Menurut Ibnu Rusyd Al Ghazali telah salah paham tentang apa yang dimaksud para filsuf tentang qhodim Al Ghazali menyamakan qhodim-nya alam dengan Tuhan karena menurut Al Ghazali qhodim itu tidak diciptakan, sedangkan yang dimaksud para ulama waktu itu bahwa qhodim adalah waktu. 

Ibnu Rusyd juga menjelaskan kesalahpahaman Al Ghazali tentang terciptanya alam semesta, yang ia anggap bahwa alam semesta tercipta secara langsung, sedangkan bagi Ibnu Rusyd alam bukan dari tiada menjadi ada, tapi semua itu ada bahannya. 

Bahan yang dimaksud oleh Ibnu Rusyd adalah Arsy dan benda apapun yang sebelumnya sudah ada. Tak berhenti di sana, ada juga kesalahpahaman Al Ghazali tentang pengetahuan Tuhan, Al Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan Tuhan seperti pengetahuan manusia. 

Sedangkan menurut Ibnu Rusyd, jika dipaksakan pemetaan pengetahuan umum dan khusus terhadap Allah, maka sama saja dengan menganggap Tuhan sama dengan manusia yang pengetahuannya bersifat materi.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Program Studi Akidah dan Filsafat Islam. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال