Merayakan Idul Adha Untuk Kemajuan Bangsa

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Pada pagi hari ini, titik fokus perhatian umat Islam di seluruh dunia tertuju kepada pengorbanan seorang nabi, yang dijadikan teladan oleh umat Yahudi, Nasrani dan lebih-lebih umat Islam, yaitu nabi Ibrahim AS dan puteranya nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim berjuang untuk menjadikan agama Tauhid, agama yang hanif, agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai pedoman kehidupan manusia di muka bumi. Suatu perjuangan yang maha berat, di tengah-tengah masyarakat yang masih berpaham polytheist. Masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai materi-kesukuan dan fanatisme kelompok-kekabilahan, yang seringkali menjadi sumber konflik yang abadi sepanjang sejarah umat manusia. 

Dalam menghadapi perjuangan yang berat itu, Nabi Ibrahim hanya dapat berdoa:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ [١٤:٣٥] 

“Ingatlah ketika nabi Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman tentram-damai dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari penyembah benda-benda materi yang bersimbolkan berhala-berhala. (Q.S. Ibrahim 35).

Pada saat itu, tanah Makkah memang tidak semakmur seperti sekarang ini. Tanah di situ masih gersang. Jangankan semburan minyak dari perut bumi padang pasir dan penyulingan air laut secara besar-besaran seperti yang kita jumpai saat sekarang ini, mencari setetes air pun amat sangat susah. Lari-lari kecil, yang disebut Sai, antara bukit Sofa dan Marwa, adalah merupakan rangkaian ibadah haji yang menggambarkan betapa susahnya Hajar, istri nabi Ibrahim, perjuangan seorang ibu, mencari setetes air untuk kelangsungan hidup anaknya, Ismail. Dalam keadaan susah payah seperti itu, nabi Ibrahim melanjutkan do’anya: 

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ [١٤:٣٧] 

“Ya Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, agar mereka mendirikan salat, jadikanlah sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.(QS. Ibrahim: 37).

Demikianlah sekelumit kilas balik sejarah perjuangan nabi Ibrahim AS dengan kota Makkah yang masih tandus saat itu. Pada pagi hari ini, tanggal 10 Dzulhijjah, bersama-sama kita disini, tidak kurang dari 2 juta orang Muslim dari berbagai penjuru dunia, termasuk diantaranya adalah 167 ribu jamaah haji Indonesia melaksanakan rukun Islam yang kelima, ibadah haji, di Makkah al mukarramah memenuhi panggilan nabi Ibrahim AS.

لبيك اللّهم لبيك٬ لبيك لاشريك لك لبيك٬ ان الحمد والنعمة لك والملك٬لاشريك لك٠

(Kami memenuhi panggilanmu ya Allah. Kami memenuhi panggilanmu ya Allah, ya Tuhan kami, tiada sekutu bagimu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah karunia mu ya Allah”).

Dalam memperingati hari ‘idul qurban, marilah kita mencermati kembali pesan al-Qur’an tentang berkorban bagi kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Menjalankan ajaran dan perintah agama dalam masyarakat kontemporer yang kompleks seperti saat sekarang ini, selalu memerlukan kontekstualisasi atau fresh ijtihad, ijtihad yang segar-mencerahkan. Kontekstualisasi selalu diperlukan agar supaya pesan-pesan agama, risalah keagamaan, tidak kehilangan relevansi dalam kehidupan manusia. Perintah untuk melakukan kontekstualisasi bukannya datang dari luar, tetapi bermula dari al-Qur’an sendiri. Hari raya idul adha umumnya berkonotasi langsung dengan hewan kurban. Karena akan ada daging hasil sembelihan hewan kurban yang dibagikan kepada fakir dan miskin, seperti yang akan kita laksanakan setelah melaksanakan salat Id ini. Hal itu penting, tetapi setelah hewan kurban terkumpul dan disembelih, al-Qur’an juga mengingatkan dalam surat al-Haj ayat 37. 

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ 

“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketaqwaanlah yang dapat mencapainya”. (al-Haj: 37).

Ketaqwaan adalah tujuan utama manusia melakukan kurban. Ketika daging dan darah hewan kurban diangkat ke tingkat yang yang lebih tinggi, yakni ”taqwa”, maka terjadi proses pemuliaan niat, penataan ulang dan penjernihan tujuan manusia beragama dalam hubungannya dengan lingkungan dan kemanusiaan semesta.

Niat, maksud hati dan tujuan beragama rupanya tidak bisa berangkat dari ruang yang hampa. Niat, maksud hati dan tujuan tidak dapat dilepaskan dari konteks. Yaitu, konteks persoalan yang dihadapi seseorang selaku pribadi, konteks persoalan masyarakat Muslim dalam pergaulan dunia, konteks persoalan bangsa dan negara, konteks perkembangan ilmu pengetahuan, sains-teknologi dan begitu seterusnya.

Makna taqwa dalam al-Qur’an ternyata sangat kontekstual dan padat dengan muatan persoalan sosial-kemanusiaan. Ketika taqwa dikaitkan dengan ibadah puasa ramadlan (al-Baqarah, 183), jelas-jelas ketaqwaan disini mempunyai konteks kesejarahan atau hubungan historis dengan praktik orang-orang beragama terdahulu ( كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ ), jauh sebelum nabi Muhammad membawa risalahnya. Orang Muslim harus melakukan ibadah puasa sebagaimana orang-orang terdahulu melakukannya. Tetapi ketika ”taqwa” dikaitkan dengan anjuran untuk segera mohon ampun kepada Allah: ( وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ ) ternyata ketaqwaan disini dikontekskan dan dihubungkan dengan dimensi kemanusiaan yang mendasar, yaitu kesediaan seseorang untuk melakukan tiga hal:

1). Kesediaan memberikan bantuan kepada orang yang sedang menghadapi kesulitan (الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ)

2). Kemampuan menahan amarah (الْكَاظِمِينَ الْغَيْظ)

3). Kesediaan memberi maaf kepada sesama (الْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ)

Dari keterangan al-Qur’an tersebut, jelas disebutkan adanya syarat-syarat kemestian sosial yang harus dipenuhi oleh umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya. Syarat-syarat sosial itu berlaku dimanapun dan kapanpun manusia berada (universal). Derajat ”taqwa” tidak bisa diperoleh, tanpa memperhatikan, mempedulikan dan mencermati syarat-syarat dan mematuhi hukum-hukum sosial. Dengan begitu, konsep penting dalam ajaran agama Islam, yaitu taqwa”, bukanlah konsep yang semata-mata transendental dan ahistoris (tak terkait dengan sejarah), lebih lebih bukan konsep keberagamaan Islam yang anti sosial. Konsep taqwa bukanlah konsep keagamaan yang anti kultural dan anti struktur, tetapi ia sangat padat dengan nilai-nilai sosial dan kultural.

Bagaimana memahami dan melakukan kontekstualisasi makna qurban yang juga dikaitkan dengan taqwa? Tindakan pengorbanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail memang unik dan penuh nilai. Tindakan unik dan bermuatan nilai tinggi yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah agama-agama. Pengorbanan atau kesediaan berkorban untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh orang lain, dalam hal ini adalah bapaknya sendiri nabi Ibrahim AS. Setidaknya ada 3 nilai fundamental keagamaan-keihasanan (Ihsan) yang terkandung dalam tindakan seseorang untuk rela berkorban.

Pertama, Disiplin. Kesiapan dari dalam diri seseorang untuk mentaati dan mematuhi aturan, tata tertib, hukum, kontrak atau perikatan sosial yang telah disepakati bersama. Kesepakatan antara bapak dan anak, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara pemerintah dan rakyat dan begitu pula sebaliknya. Ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan, hukum, tata tertib yang telah tertanam kuat dalam diri seseorang disebut disiplin.

Kedua, Etos. Adanya motivasi dari dalam diri pribadi yang mampu mendorong, membangkitkan semangat dan menghimpun tenaga berdaya kekuatan besar, mengumpulkan seluruh energi untuk menjalankan tugas, meraih cita-cita besar, luhur dan mulia. Inner driving force inilah yang disebut para ahli ekonomi sebagai etos. Etos kerja yang kuat, pantang menyerah, penuh optimisme.

Ketiga, Dedikasi. Kerelaan menjalankan tugas dengan sepenuh hati, penuh semangat, tanpa ragu, terlibat penuh dalam menyelesaikan tugas apapun untuk meraih cita-cita luhur. Cita-cita luhur tidak dapat diraih tanpa dedikasi, keikhlasan dan keterlibatan penuh dari pelakunya. Rela berkorban, penuh keikhlasaan, untuk meraih cita-cita, mengejar kebaikan sosial dan kesejahteraan bersama selalu mendasari tindakan-tindakan keagamaan yang tulus-otentik.

Ketiga nilai fundamental keagamaan-keihsanan tersebut jelas ada di belakang tindakan pengorbanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail AS yang kita peringati pada pagi hari ini. Ketiga nilai tersebut seharusnya melekat dalam jiwa seorang muslim-muslimah, jika mereka ingin memperoleh derajat taqwa, ingin memperoleh kebaikan di dunia dan di akherat, seperti yang diajarkan oleh al-Qur’an. Ketiga nilai tersebut, yaitu disiplin yang tinggi, etos kerja yang kuat dan dedikasi yang penuh merupakan nilai fundamental keagamaan-keihsanan yang sangat diperlukan oleh pribadi-pribadi yang unggul, begitupun masyarakat dan bangsa yang hendak meraih cita-cita besar kebangsaannya.(BERKORBAN UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN PERADABAN. M. Amin Abdullah. Hlm 1-8).

Ibadah kurban adalah Pelajaran Berharga dari Nabi Ibrahim a.s. Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana terekam dalam Surah ash-Shaffat ayat 102-111.

Maka tatkala anak itu sampai (pada usia) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku! sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” ia menjawab: “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu) ”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Begitulah kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an yang mulia, yang penuh dengan ujian dan cobaan, yang menjadi sumber utama ibadah haji, ibadah kurban dan Idul Adha yang kita rayakan ini.

Dari kisah di atas, setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik secara umum, yaitu: Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah s.w.t. seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak betapapun besarnya

Makna Idul Adha

Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kontinuitas “jalan kesalehan sosial spiritual” dari Idul Fitri. Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, egoisitas, dan individualitas, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendah-hatian untuk melakukan refleksi historis dalam rangka mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim As dan putranya, Ismail As, sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji.

Kedua hari raya tersebut bermuara kepada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, etos berbagi (zakat fitrah dan daging kurban), dan signifikansi silaturrahim. Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti diteladankan Nabi Muhammad SAW dalam khutbah Wada’nya di saat wukuf di Arafah maupun mabit (bermalam) di Mina.

Ketika kita merayakan Idul Adha, para tamu Allah (dhuyuf ar-Rahman) itu sedang menapaktilasi aneka ritualitas haji di tanah suci. Mereka merengkuh jalan ketaatan dan ketakwaan dalam rangka meraih prediket haji mabrur, karena dimotivasi oleh spirit bahwa balasan haji mabrur tidak lain adalah surga (HR. Muslim). Garansi kebahagiaan spiritual (surgawi) inilah yang memotivasi umat Islam untuk memenuhi panggilan Ilahi (berhaji), meninggalkan kampung halaman menuju tanah suci, dan meninggalkan sanak saudara menuju persaudaraan dan kemanusiaan universal.

Menarik dikritisi, bahwa jumlah jamaah haji Indonesia adalah yang paling besar di dunia. Namun demikian, para hujjaj itu sering dikritisi: "Mengapa jumlah jamaah haji Indonesia yang terus meningkat setiap tahun, bahkan harus rela “mengantri sesuai daftar tunggu”, tidak berbanding lurus dengan penurunan kuantitas dan kualitas korupsi?”

Multinilai Haji

Haji itu ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Manasik haji bukan sekedar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji adalah sebuah "drama kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai dan makna, terutama makna sosial kultural. Haji dimulai dengan niat ihram di miqat (garis start haji).

Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu Allah haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam berpakaian.

Makna Thawaf bukan sekedar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Thawaf juga merupakan gerakan “tasbih universal” dengan menjadikan tauhidullah sebagai orbit kehidupan.

Sa'i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya.

Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran). Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta sesama, dengan memperlihatkan berbagai upaya maksimal “menyelamatkan masa depan” anak bangsa.

Wuquf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya "berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri” (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang miniatur padang "makhsyar" di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan "pengadilan terhadap diri sendiri". Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain, atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini jama’ah haji yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya, ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu dan setan?

Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri), untuk bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan "amunisi jihad" di tempat pelemparan (jamarat) di Mina. Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata, Nabi Ibrahim rela "mengorbankan" anak tercinta, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi "dikorbankan", karena manusia memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa nafsu dan keserakahan, baik serakah harta maupun kekuasaan.(Idul Adha dan Pendidikan Multikultural. Oleh: Muhbib Abdul Wahab. Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ. Hlm, 1-2).

Makna Qurban

Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” (قربان), yang berarti dekat. Di dalam ajaran Islam, qurban disebut juga dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi atau kerbau, dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.

Sebagai suatu bentuk amal ibadah yang dilakukan karena Allah, maka tentunya kita perlu mengetahui dan memahami hukum serta tata cara pelaksanaannya dengan benar sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Tampaknya, momentum Idul Qurban hingga saat ini masih menuntut kita untuk benar-benar berkorban. Artinya, berkorban bukan lagi sekadar memenuhi panggilan syari’at, tetapi karena kondisi nyata ummat yang masih dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan, maka perlu direnungkan kembali, bahkan harus dicari makna dan nilai-nilai qurban yang haqiqi.

Dalam perspektif syari’at (fiqh), qurban memiliki makna ritual, yakni menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu pada hari nahar (tanggal 10 Dzulhijah) dan hari tasyrik (tanggal 11-13 Dzulhijah). ...ibadah qurban harus dengan hewan qurban, seperti kambing, sapi atau unta, dan tidak boleh diganti dengan lainnya, seperti uang atau beras (Syukri, 2012).

Di dalam Ash Shihah fi Al Lughah 2/28, Al Jauhari, menerangkan bahwa secara etimologis (lughatan), qurban berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurban-qurbanan, dengan huruf qaf didhammahkan, bermakna mendekat. Qaruba ilaihi artinya mendekat kepada-Nya, seperti dalam firman Allah Ta’ala: “Inna Rahmatallahi Qariibun Minal Muhsinin” (Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik). Sedangkan secara terminologis (Syar’an), qurban bermakna menyembelih hewan tertentu dengan niat qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala pada waktu tertentu.

Hukum Berqurban

Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau senantiasa berqurban, bahkan Nabi bersabda bahwa qurban merupakan sunnah kaum muslimin (Al Utsaimin, 2003, hlm. 16). Oleh karena itu, umat Islam bersepakat bahwa berqurban itu disyariatkan, sebagaimana keterangan beberapa ulama. Namun terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah. Jika dijabarkan, kedua pendapat yang berbeda ini masing-masing mempunyai dasar yang sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan, “....selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam” (Baits, 2008).(QURBAN: WUJUD KEDEKATAN SEORANG HAMBA DENGAN TUHANNYA. Oleh: Mulyana Abdullah, Dosen PAI dan Kepala Sekolah di SMP Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 14 No. 1 - 2016. Hlm, 109-110).

Masyarakat Urban ber-Qurban

Seseorang yang memang cinta akan Allah swt dan mengabdi diri dalam dunia ini untuk Allah swt. Akan senantiasa ringan dalam melaksanakan perintah dan menjauhkan diri dari larangan Nya.(Cholili, 2016) Apabila ada orang yang hanya takut dengan ancaman agama pada kehidupan akhirat kelak, maka sudah dipastikan keyakinan dan level keimanannya hanya pada tahap ancaman. Selaras dengan hadis Nabi saw barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami. Hadis riwayat Imam ahmad dan ibnu majah dari Abu Hurairah, nomor hadis 8273 ahmad, ibnu Majah 3123, sanad hadis Hasan). Dalam hadis ini sangat jelas dan tegas tentang ancaman bagi orang kaya tapi tak mau berqurban, maka jangan shalat di Masjid. Dalam bahasa lain bahwa Shalat dan Qurban adalah sejalan. Maka dirikanlah shalat karena tuhanmu dan berqurbanlah.(Qs Al Kausar ayat 1-3).

Bequrban adalah wujud Muttaqin (orang yang bertaqwa). Allah swt berfirman dalam QS. al-Hajj ayat 37 “daging daging unta dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapai nya. Demikian Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayahNya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang orang yang berbuat baik”. Dalam Tafsir Mukhtashar (Az-Zuhaili, 2016)disebutkan Daging atau darah dari hewan yang diqurbankan tersebut tidak akan pernah sampai kepada Allah dalam bentuk fisik nya atau materi nya. Yang akan sampai kepada Allah hanyalah sifat Taqwa dari pada orang yang melakukannya. Yaitu dengan memurnikan taat dalam melakukan perintah, agar dengan cara berqurban ini dapat mendekatkan diri dengan Allah swt dan juga Allah menundukkan hewan qurban tersebut agar dengan qurban itu kita mampu mengagungkan Allah swt dan sebagai rasa syukur atau petunjuk dan kebenaran yang dikaruniakan kepada kita selama ini.(Zikri, 2011) Sampaikan lah wahai Rasul kabar gembira bagi orang yang senantiasa berbuat baik kepada Allah swt dan berinteraksi baik sesama makhluk Allah swt. Menurut pandangan kami bahwa bagi orang yang taraf muttaqin tidak ada alasan untuk tidak berqurban di tahun ini, akan tetapi bagi yang punya banyak alasan menunda Qurban di tahun ini, artinya anda tahu dimana posisi Anda sendiri saat ini. Jangan merasa umat akhir zaman saja yang dibebankan berqurban. Berqurban ini sudah menjadi tradisi Agama Samawi yang dibawa para nabi yaitu agama Islam.(“PERGESERAN MAKNA IBADAH KURBAN SEBAGAI KONSTRUKSI IDENTITAS SOSIAL MASYARAKAT,” 2015). Disebutkan dalam Qs al Hajj ayat 34 “dan tiap tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan Qurban supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzeqikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu adalah Tuhan yang mana esa, karena itu berserah diri lah kamu kepada Nya dan berilah kabar gembira bagi orang yang taat dan patuh kepada Allah swt”. Dalam ayat ini menggambarkan tentang Syukur, Qurban, dan ketauhidan. Syukur atas segala nikmat yang didapati dalam bentuk uang, hewan dan nikmat lainnya, perwujudan syukur adalah Berqurban. Berqurban dengan menyebut nama Allah swt dalam proses penyembelihannya.

Bagi masyarakat kota yang tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk berqurban, akan tetapi ingin sekali untuk berqurban di tahun ini, maka silahkan untuk berhutang kepada teman dan berjanji untuk melunasi nya. Menurut kami, belum ada dalil Jelas yang melarang hutang untuk melaksanakan perintah Qurban.(URBAN DAN QURBAN: FENOMENA MASYARAKAT KOTA MENTRADISIKAN BERQURBAN DI KAMPUNG HALAMAN. Andri Nirwana. AN. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm, 1-2).

Ibadah Haji dan Idul Adha

Ibadah haji dan Idul Adha yang dilaksanakan umat Islam setiap tahun sesungguhnya sarat dengan pelajaran nilai-nilai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Konsep kemanusiaan universal Islam mengajarkan bahwa umat manusia itu pada asal mulanya itu sama. Dalam orasi haji wadak Nabi Muhammad SAW menegaskan: "Kalian semua adalah keturunan Adam. Sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Karena itu, kalian semua adalah sama; tidak ada perbedaan (keistimewaan) antara orang Arab dengan non-Arab, yang berkulit putih dengan yang hitam, kecuali karena takwanya."(HR al-Bukhari dan Muslim).

Konflik, permusuhan, dan peperangan sering terjadi karena adanya vested interest di antara masing-masing kelompok manusia. Meskipun asal usul manusia itu sama, namun kehidupan manusia itu mengikuti sunnatullah kemajemukan: ras, suku, warna kulit, bangsa, agama, budaya, adat-istiadat, dan sebagainya. Perbedaan itu idealnya tidak menjadi pemicu perselisihan dan permusuhan, melainkan menjadi pangkal tolak bagi kompetisi menuju kebaikan yang ideal (Nurcholish Madjid, 2000:43).

Semua manusia semestinya diperlakukan sama depan hukum, tanpa ada diskriminasi, karena di mata Allah semua manusia itu dipandang dan dinilai sama. Yang membedakan hanyalah derajat keimanan dan ketaqwaannya (QS. al-Hujurat [49]: 13). Ajaran egalitarianisme ini ditegaskan oleh Nabi saw berulangkali dalam orasi Wadaknya di Arafah, Multazam Kakbah, dan Mina. Namun demikian, HAM bukanlah esensi kemanusiaannya itu sendiri, melainkan lebih merupakan rahmat Allah yang perlu disyukuri dengan berkompetesi berbuat yang terbaik, ber-fastabiqul khairat (QS al-Baqarah [2]: 148).

Penegakan HAM yang dideklarasikan oleh Nabi SAW saat orasi Idul Adha, antara lain, adalah "Sesungguhnya, darah dan harta kalian itu suci, haram dinodai, di hari yang suci ini dan di tempat yang suci ini. Tidak ada keunggulan orang Arab dan non-Arab (dan sebaliknya) dan juga orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam, kecuali karena taqwanya"(HR. al-Bukhari dan Muslim). Darah haram ditumpahkan, berarti manusia mempunyai hak untuk hidup. Harta haram dirampas, berarti manusia mempunyai hak kepemilikan harta, dan kehormatan haram dinodai, karena manusia memiliki kebebasan dan hak untuk dihormati, dimuliakan, dan diperlakukan adil di depan hukum.

Orasi wadak yang disampaikan dalam momentum Idul Adha dan hari tasyrik tersebut mengandung pelajaran HAM yang paling mendasar dan penting ditegakkan, yaitu: hak hidup (manusia tidak boleh menumpahkan darah orang lain, membunuh, menyakiti, meneror, melakukan kekerasan, perang, dan sebagainya); hak kepemilikan (manusia bebas memperoleh harta, asal dilakukan dengan cara yang halal dan legal); hak persamaan dan keadilan (tidak ada diskriminasi, rasialisme, tirani, dan monopoli kebenaran dan kekuasaan); hak bersatu, bersaudara, bekerja sama dan sebagainya karena asal kita semua adalah sama, yaitu keturunan Adam; dan Tuhan yang Mahaesa.

Nilai-nilai HAM tersebut sesungguhnya telah menginspirasi Barat untuk merumuskan HAM. Dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776), misalnya, dinyatakan: "…. that all men are created equal, that they are endowed by their Creator by certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and pursuit of Happiness…". Demikian pula, hak-hak yang hampir serupa juga dicantumkan dalam Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l'homme at du Citoyen) yang diprakarsai oleh Parlemen Nasional Perancis pada 26 Agustus 1789, dengan slogan yang sangat popular, yaitu: liberté (kebebasan), egalité (persamaan), dan fraternité (persaudaraan).

Nilai-nilai HAM yang menjadi pesan penting Idul Adha tersebut dapat diaktualisasikan dan ditegakkan jika dilandasi sekurang-kurangnya tiga prinsip. Pertama, prinsip keadilan. Keadilan merupakan tujuan utama pembumian nilai-nilai Islam bagi manusia. Keadilan merupakan ruh dan elan vital norma-norma hukum. Penegakan keadilan hukum bertujuan untuk merealisasikan persamaan (egalitarianisme, emansipasi) di antara manusia. Dengan prinsip keadilan, hak-hak dan kewajiban manusia dapat diperoleh dan dipenuhi secara proporsional. Dengan keadilan pula, manusia akan bersedia menghormati orang lain, sebab jika ingin dihormati, maka ia harus mau menghormati orang lain. Dengan keadilan, ia akan memegang teguh komitmen, menepati janji, berlaku fair dan jujur, tidak curang dan licik dalam berinteraksi dan bertransaksi dengan sesama. Singkatnya, keadilan adalah esensi dan spirit kemanusiaan yang melahirkan hukum, sehingga keadilan HAM dapat ditegakkan dalam kehidupan individu maupun kehidupan berbangsa, bernegara, bahwa menjadi warga dunia.

Keadilan dalam Islam setidaknya mengandung empat makna. Pertama, adil dalam arti sama, memberikan perlakuan yang sama di depan hukum (QS. al-Nisa' [4]: 58). Kedua, adil dalam arti seimbang, proporsional; dalam pengertian ini adil tidak harus sama, melainkan harus proporsional, sesuai kebutuhan dan kepentingan, karena segala sesuatu diciptakan oleh Allah menurut ukurannya masing-masing (QS al-Qamar [54]: 49). Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada yang berhak atau si pemiliknya; adil dalam hal ini adalah lawan zalim; keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial. Keempat, keadilan yang dinisbahkan kepada Ilahi; semua keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. (Quraisy Shihab, 1996:114-6). Jadi, keadilan itu merupakan nilai dan prinsip dasar yang melandasi berlaku dan tegaknya HAM dalam kehidupan manusia.

Kedua, prinsip maslahat (kedamaian dan kebaikan). Semua hukum dan ajaran Islam berkaitan erat dengan prinsip maslahat, dalam arti bertujuan mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia, sebaliknya menolak dan menghilangkan kemudaratan (bahaya dan malapetaka) yang dapat menimpanya. Abdul Wahab Khalaf menegaskan bahwa tujuan Allah membumikan syari'at tidak lain adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik itu mendatangkan kemanfaatan maupun menolak malapetaka dan bahaya. Orang yang sakit boleh (berhak) untuk tidak berpuasa Ramadan, karena alasan kemaslahatan kesehatannya.

Dalam kitabnya, al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan, "Sesungguhnya tujuan pembumian syariah Islam itu ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Karena itu, setiap yang menjamin terpeliharanya kelima hal itu merupakan kemaslahatan. Sebaliknya setiap yang mengabaikan kelima hal tersebut adalah mafsadat (kerusakan, kehancuran). Menolak kehancuran adalah sebuah kemaslahatan." Prinsip maslahat ini sangat terkait dengan konsep HAM. Misalnya saja, memelihara jiwa mengandung arti bahwa manusia mempunyai hak untuk hidup, dan karena itu, manusia dilarang membunuh orang lain, termasuk menggugurkan kandungan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Dalam hal ini Allah berfirman: "Janganlah kalian membunuh jiwa manusia kecuali dengan cara yang hak (dapat dibenarkan agama)…" (QS al-Isra' [17]: 178). "Bahwa siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…" (QS al-Ma'idah [5]: 32).

Ketiga, prinsip kebebasan. Manusia menjadi tak bernilai jika ia tidak memiliki kebebasan. Kebebasan memang merupakan salah satu prinsip yang mendasari penegakan HAM. Manusia bebas berkehendak dan memilih perbuatan yang dikehendakinya, karena ia telah dibekali Allah swt. akal yang dapat memberinya pertimbangan-pertimbangan. Manusia menurut Islam bebas menyatakan pendapat dan pikirannya. Ia juga bebas mengikuti suatu pendapat dan menganut suatu agama (Abdel Elsalam, 2002: 44). Kebebasan yang dimiliki manusia mengharuskannya untuk menghargai kebebasan orang lain.

Dengan kata lain, kebebasan manusia "dibatasi" oleh kebebasan serupa yang dimiliki orang lain. Karena itu, ia harus mempedulikan hak-hak dan kewajibannya. Dari sinilah diperlukan adanya pemberlakuan HAM secara adil agar kepentingan satu sama lain tidak saling berbenturan, sehingga menyebabkan disharmoni, konflik kepentingan, kekerasan, kezaliman, dan disintegrasi.

Pesan-pesan penegakan HAM tersebut idealnya memberi makna perayaan Idul Adha, sehingga ibadah kurban yang dijalankan tidak sebatas ritualitas menyembelih hewan, melainkan spirit berbagi, memberi, dan menyantuni warga bangsa yang tidak berdaya di tengah himpitan ekonomi yang semakin sulit itu dapat diaktualisasikan. Spirit berkurban adalah spirit penegakan HAM, terutama hak hidup, hak memperoleh kesamaan dan perlakuan yang adil di depan hukum. Dengan spirit orasi Nabi SAW dalam Idul Adha, sudah semestinya kita belajar mengaktulisasikan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sifat kebinatangan yang buas dan rakus, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara damai, harmoni, beradab, adil, dan bermartabat.(IDUL ADHA DAN PENEGAKAN HAM. Oleh: Muhbib Abdul Wahab. Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hlm, 1-2).

Referensi:

BERKORBAN UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN PERADABAN. M. Amin Abdullah. 

Idul Adha dan Pendidikan Multikultural. Oleh: Muhbib Abdul Wahab. Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ.

QURBAN: WUJUD KEDEKATAN SEORANG HAMBA DENGAN TUHANNYA. Oleh: Mulyana Abdullah, Dosen PAI dan Kepala Sekolah di SMP Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 14 No. 1 - 2016.

URBAN DAN QURBAN: FENOMENA MASYARAKAT KOTA MENTRADISIKAN BERQURBAN DI KAMPUNG HALAMAN. Andri Nirwana. AN. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

IDUL ADHA DAN PENEGAKAN HAM. Oleh: Muhbib Abdul Wahab. Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI Media Indonesia, 22 September 2015.

Khutbah Idul Adha 1437H/2017M. Di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta. Oleh: Dr. Mohammad Syairozi Dimythi, M.Ed. Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 

*)Artikel ditulis untuk merayakan Hari Raya Idul Adha 1444 H. 28 Juni 2023.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال