Menunaikan Kewajiban Dalam Kehidupan Beragama

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Seperti makhluk-makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah Swt, ia diciptakan secara alamiyah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah, jika diorganisir ke dalam diri manusia akan menghasilkan ekstrak sulalaI (air mani), jika masuk ke dalam rahim sulalal akan mengalami proses kreatif. Akan tetapi manusia berbeda dengan ciptaan-ciptaan alamiyah lainnya karena setelah dibentuk, Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia. Al-Qur'an tidak mendukung semacam doktrin dualisme yang radikal di antara jiwa dan raga seperti yang terdapat di dalam filsafat Yunani, agama Kristen dan Hinduisme.

Manusia itu merupakan individu atau perseorangan, dia adalah seorang dari keseluruhan. Melihat manusia sebagai individu berarti kita melakukan personisasi atau manusia tidak lain adalah pribadi-pribadi dalam masyarakat yang terbukti sangat mempengaruhi kualitas masyarakat tersebut. Ini tentu berlawanan dengan konsep sosiologi yang menyatakan bahwa sesuatu dari dan dalam masyarakat ditentukan oleh masyarakat.

Sesungguhnya setiap sesuatu yang terjadi karena proses-proses alamiyah dilakukan pula oleh Allah Swt. ketika kepada Nabi Muhammad saw ditanyakan “mengapa Allah Swt. telah memilih dia sebagai utusan-Nya bukan tokoh-tokoh yang lain” Al-Qur'an menjawab dengan sebuah pertanyaan pula: Apakah mereka yang membagi-bagikan Rahmat Tuhanmu sebagaimana tercantum dalam al-Qur'an surat az-Zukhruf (43) ayat 32, dan Allah Swt. yang paling mengetahui siapa yang diangkat-Nya untuk menjadi Rasul-Nya.

Inilah sebuah contoh yang khas mengenai proses-proses politik yang wajar yang dinyatakan sebagai kehendak Allah Swt.

Karena setiap sesuatu di dalam alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya, maka keseluruhan alam semesta ini tunduk patuh kepada kehendak Allah Swt. Manusia adalah satu-satunya pengecualian di dalam hukum universal ini karena di antara semuanya dialah satu-satunya ciptaan Allah Swt. yang memiliki kebebasan untuk menaati atau mengingkari perintah-Nya.

Jika perintah Allah Swt telah dituliskan ke dalam setiap sesuatu yang diciptakan-Nya, maka perintah itu sesungguhnya telah dituliskan ke dalam hati manusia sebagaimana tercantum dalam Q.S.Asy-Syams: 7-8. Terjemahnya: "(Aku bersumpah) demi ruh manusia dan yang menjadikan-Nya, Allah telah menuliskan ke dalam dirinya kejahatan dan kebajikan (sehingga ia dapat menjaga dirinya dari kejahatan moral)”.

Ayat ini menunjukkan adanya perbedaan jika setiap ciptaan Allah secara otomatis telah menaati sifat-sifat-Nya, maka manusia harus menaati sifat-sifat-Nya.

Kata “harus” di sini adalah bentuk “tranformasi dari eksistensi menjadi keharusan”, yang merupakan keistimewaan dan sekaligus resiko yang unik bagi manusia. Lebih dari itu, ikrar primordial telah dibuat Allah Swt. dengan sesama manusia sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-A'raaf [7]: 172: Terjemahnya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini TuhanMu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan” Allah berbuat demikian agar di hari kiamat manusia tidak dapat berkata “tidak tahu” sehingga ia mempertanggung jawab-kan perbuatan mereka semasa hidupnya.

Permasalahan-permasalahannya sekarang “mengapa manusia seringkali secara sadar dan dalam kesanggupannya tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya? Mengapa manusia seringkali tidak mau bertanggung jawab? Dan mengapa ibadah-ibadah wajib yang telah ditunaikan seseorang tidak membawa efek positif terhadap perbaikan moral bagi dirinya? Jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan ini akan dicoba ditelusuri melalui pembahasan dalam makalah ini seputar “hakikat kewajiban dan pertanggungjawaban individu dalam ajaran Islam.”(MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU (Analisis terhadap Kewajiban dan Tanggung Jawab). Oleh: Zainuddin Hamka. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. DPK Universitas Indonesia Timur (UIT). Ash-shahabah. Jurnal Pendidikan dan Studi Islam. Volume 5, Nomor 1, Januari 2019. Hlm, 108-010).

Hakikat Kewajiban

Kewajiban dalam terminologi Ushul Fiqh bermakna tuntutan (iqtidha) untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.

Hukum wajib, misalnya menunjukkan perintah yang pasti dan hukum haram merupakan larangan yang pasti, oleh karena itu tuntutan (iqtidha) ini disebut hukum taklifi yang tidak lain merupakan ketetapan Allah. Bentuk perintah atau larangan itu, ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk pasti, maka itu adalah “kewajiban”, jika tidak pasti disebut “anjuran”. Demikian juga dengan “larangan”, bila berbentuk pasti disebut “haram”, bila tidak pasti disebut “makruh”.

Menurut pendapat kebanyakan ulama bahwa hukum “wajib” identik dangan “fardhu” yang berisikan suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa. “Konsekuensi berdosa adalah mendapatkan cercaan dan siksaan dari Allah Swt".

Setiap individu telah diberikan “taklif” (beban agama) untuk dilaksanakan, sekiranya seseorang itu meninggal berdosalah ia dan berhak disiksa, sebagai contoh: shalat, zakat, menepati akad, memberikan hak orang lain dan kewajiban-kewajiban lainnya, yang apabila ditinggalkan, berdosa.

Bahkan jika ada seseorang yang telah mengerjakan suatu kewajiban yang juga menyangkut kewajiban orang banyak, maka seolah-olah orang banyak yang tidak menunaikan kewajiban itu dianggap mengerjakan juga (fardhu kifayah) sehingga terbebaslah semuanya dari cercaan dan tanggung jawab.

Ketentuan hukum ini menunjukkan arti penting kepedulian setiap individu dalam masyarakat, bahkan Islam menuntut adanya individu yang mampu menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat, itu berarti individu yang menjadi pemimpin tersebut akan dibebani kewajiban-kewajiban tambahan selain kewajiban dan tanggung jawab yang berkaitan dengan dirinya sendiri secara personal.

Dasar “taklif”, sehingga memunculkan suatu tuntutan, pada prinsipnya, adalah “akal” dan “pemahaman”. “Akal yang mampu memahami itulah yang menjadi landasan pembebanan.

Para ahli sepakat bahwa individu haruslah berakal dan faham karena pembebanan tuntutan mustahil dipikulkan kepada sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham seperti binatang dan benda mati. Sedangkan orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman global terhadap tuntutan, tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa atau bahwa yang memerintah adalah Allah swt.

Yang harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu memahami suatu tuntutan (perintah atau larangan) karena tujuan untuk itu tergantung kepada pemahaman yang mendasar terhadap tuntutan juga terhadap pemahaman yang rinci atas tuntutan itu.

Anak-anak yang cakap, meskipun ia mengetahui atau mengerti apa yang dimengerti oleh anak yang tidak cakap, tetapi pengertiannya itu tidaklah selengkap pengertian yang dimiliki oleh orang yang dewasa.

Dalam Islam setiap hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Dengan kata lain, hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang mesti ada. Manakala suatu perintah telah ditunaikan oleh seseorang, ia akan mendapatkan ganjaran, sebaliknya jika tidak ditunaikan, akan mendapatkan sangsi hukuman.

Akan tetapi hal yang mendasar yang perlu diperhatikan adalah bahwa suatu kewajiban bukan hanya sekedar kewajiban, melainkan hakikat dari kewajiban itu sendiri. Hakikat kewajiban dapat ditelusuri dari himpunan intisari hukum Islam yang tercantum dalam al-Qur‟an, surat An-Nahl, ayat 90: Terjemahnya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Ayat di atas dapat dipahami bahwa kewajiban-kewajiban yang ditunjukkan melalui Nash bukan tanpa maksud. Allah menyuruh manusia menggali perintah-perintah yang wajib itu agar manusia mampu menemukan “tujuan-tujuan syara” yang terkandung di dalamnya. Tujuan-tujuan syara itu, dalam istilah Ushul al-Fiqh, disebut maqashid al-syari‟ah atau maqashid al-ahkam. Tujuan syara‟ (hukum) yang paling dasar adalah “terwujudnya kemaslahatan” sehingga apapun yang berguna untuk dapat menunaikan kewajiban, hak maupun tanggungjawab, wajib dilaksanakan, sebaliknya apapun yang akan menghambat, wajib dilenyapkan. Oleh Karena itu, kewajiban-kewajiban dalam ajaran agama senantiasa berisikan perintah-perintah, yang isinya berguna bagi tercapainya suasana-suasana kehidupan yang diinginkan Allah sebagaimana tercantum dalam ayat di atas. Jelasnya, dalam Islam, “hal-hal yang bermanfaat atau ber-guna bagi tercapainya maksud-maksud Tuhan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya disebut kemaslahatan”.

Hakikatnya, tidak sekali-kali suatu perbuatan, yang disyari‟atkan oleh Islam melalui al-Qur‟an maupun Sunnah, melainkan disitu terkandung maslahat yang hakiki walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya. Maslahat yang dikehendaki oleh Islam bukanlah maslahat yang seiring dengan hawa nafsu melainkan maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan hajat keagamaan individu sekaligus kepentingan umum.

Hanya dengan terciptanya kemaslahatan-kemaslahatan di muka bumi, Islam sebagai pembawa rahmat akan terasa-kan oleh umat manusia bahkan makhluk-makhluk Tuhan lainnya, sebagaimana tercantum dalam (Q.S. Al-Anbiyaa: 107). Terjemahnya: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Dalam pandangan agama secara universal, manusia harus memperoleh rasa aman, damai dan adil. Allah Swt. telah menjadikan hak seimbang dengan kewajiban. Misalnya disebut dalam al-Qur'an bahwa kaum wanita dibebani kewajiban-kewajiban sesuai dengan hak-hak yang diperolehnya, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 228: Terjemahnya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuki-nya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai agama itu, maka Allah Swt. telah mewajibkan berbagai macam hal, baik ibadah maupun muamalah, kepada setiap individu umat manusia.

Misalnya, ibadah-ibadah yang wajib secara mendasar dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagaman. Semuanya itu menandakan bahwa hal-hal yang diwajibkan oleh agama kepada manusia sangat bersifat fungsional guna menjadikan dirinya benar-benar religius atau hamba Tuhan sejati. Betapa tidak, Karena manusia mampu merealisasikan tujuan-tujuan agama. Berdasarkan argument-argumen demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya, hakikat kewajiban adalah kebutuhan bagi manusia.

Dalam hal memahami tentang adanya Allah Swt. sebagai zat yang berfirman dan memberikan kewajiban-kewajiban kepada hamba-hamba-Nya atau tentang adanya Rasul yang bersifat jujur dan telah menyampaikan risalah kenabiannya, misalnya pengertian mereka tidak sampai pada sistem taklif sebagaimana pengertian orang yang telah dewasa meskipun seorang anak sudah mendekati kelayakan untuk menunaikan tuntutan, namun karena akal dan pemahaman itu merupakan suatu yang abstrak dan berkembang secara bertahap dengan tidak ada landasan yang jelas, maka agama telah menetapkan suatu batasan umur kelayakan.

Apabila kita tidak sependapat dengan Mathew Arnold, seorang ahli syair Bahasa Inggris, yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang itu merupakan tiga perempat dari seantero hidup, dan dengan patuh ia mengatakan bahwa etika yang paling tinggi dalam susunan nilai adalah “cita tentang kebaikan”, maka ini berakibat kualitas hidup seseorang hanya dinilai dengan “ukuran perbuatan baik” sebagai pengamalan kewajiban yang ditetapkan oleh agama saja.

Tiga hal termasuk dalam penilaian secara moral ini yaitu: kebebasan memilih, pilihan itu sendiri diawasi oleh ukuran-ukuran moral yang dalam bahasa agama ialah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti tunduk dan patuh pada perintah-perintah Tuhan, dan akhirnya bahwa ketundukan yang dilakukan oleh seseorang dengan kerelaan itu adalah hanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang bahwa segala sesuatu yang telah diperoleh merupakan nikmat dari-Nya bukan merupakan kebetulan saja. “Ketundukan” merupakan “kewajiban” yang dilakukan oleh manusia terhadap Tuhannya dan sekaligus konsep kewajiban menjadi dasar bagi moral.

Tidaklah mengherankan ketika Thomas Carlyle berkata “individu yang telah menjalankan kewajibannya biarlah tidak mencari lagi kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Dari seluruh argument yang dikemukakan nyata sekali bahwa pada prinsipnya melaksanakan kewajiban adalah merupakan kebutuhan bagi manusia demi mendapatkan hikmah yang terkandung di dalam tiap-tiap butir ajaran yang wajib tersebut. “Keharusan dari “wajib” adalah keharusan “principium identitas,” artinya: “manusia itu harus berlaku sebagai manusia, jika tidak, dia pungkiri kemanusiaannya”.(MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU (Analisis terhadap Kewajiban dan Tanggung Jawab). Oleh: Zainuddin Hamka. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. DPK Universitas Indonesia Timur (UIT). Ash-shahabah. Jurnal Pendidikan dan Studi Islam. Volume 5, Nomor 1, Januari 2019. Hlm, 110-113).

Mengenal Kewajiban Asasi Manusia

Kewajiban Asasi Manusia di kalangan masyarakat istilah tidak populer pembahasannya. Beda dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM), tidak hanya pada masyarakat pendidikan tinggi, tetapi juga sampai kepada masyarakat awam sekalipun. Pada hal dalam hukum Islam kewajiban asasi manusia itu menjadi isu pokok sebelum orang berbicara tentang hak asasi manusia. Karena setiap orang menunaikan kewajiban dahulu baru menuntut akan hak asasi manusia. Dengan kata lain Hak Asasi Manusia lahir dari kewajiban Asasi Manusia (KAM).

Istilah Kewajiban itu bersumber dari kata Ijab atau wujub atau wajib (al-Wājib) bahasa Arab yang secara kebahasaan berarti tetap, mengikat, harus dan pasti. Artinya perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan, bisa berakibat pada pahala dan jika ditinggalkan akan berakibat pada dosa.

Ulama berbeda pandangan dalam memahami makna wajib, jumhur ulama usul bahwa perbuatan yang wajib itu sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan, orang yang tidak melaksanakan dikenai sanksi atau siksaan dan bagi orang yang mengingkari kewajiban itu dianggap kafir.

Sementara menurut ulama mazhab Hanafi membedakan antara wajib dan fardu. Wajib menurut mereka tuntutan bagi orang mukallaf dan ditetapkan berdasarkan dalil ẓanni yang penerapannya orang tidak melaksanakan kewajiban dikenai siksa dan orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir. Sementara fardu ditetapkan sebagai kewajiban berdasarkan dalil qat‟i yaitu al-Qur‟an dan hadis Mutawatir, seperti salat, zakat, membaca al-Qur‟an (fardu fi al-Itiqadi) dalam keyakinan.

Terlepas dari perbedaan ulama dalam memahami makna kewajiban, maka kewajiban yang menjadi pembahasan utama dalam topik ini adalah kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sehingga tidak mengganggu hak dasar dari orang lain. Kewajiban dasar itu berbeda-beda antara satu dengan lain dalam memahaminya, sehingga perlu dilakukan pemetaan terkait dengan bentuk-bentuk kewajiban tersebut.(IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEWAJIBAN ASASI MANUSIA (Telaah Hukum Pidana Islam). Oleh: HAMZAH HASAN. Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Mazahibuna. Jurnal Perbandingan Mazhab. Volume 1, Nomor 2, Desember 2019. Hlm, 92-93).

Bentuk-Bentuk Kewajiban Asasi Manusia dalam al-Maslahah al-Khams

Bentuk-bentuk kewajiban asasi manusia dalam hukum pidana Islam meliputi perintah dan larangan. Tuntutan yang mengandung (taklifi) beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau al-amar. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut dengan larangan atau al-nahi.

Setiap perintah dan larangan ada yang mengandung esensial dan tegas (al-Ibtidā‟î) dan ada perintah atau larangan yang tidak esensial (gairi al-ibtidā‟î al-Taṣrihi). Antara lain: 1. Zina. 2. al-Qażf. 3. Minum minuman yang memabukkan (al-Khamar). 4. Tindak Pidana Pemberontakan (Al-Bagyu). 5. Tindak Pidana Pencurian. 6. Tindak Pidana Perampokan (al-Hirābah. 7. Tindak Pidana Murtad (Riddah).(IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEWAJIBAN ASASI MANUSIA (Telaah Hukum Pidana Islam). Oleh: HAMZAH HASAN. Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Mazahibuna. Jurnal Perbandingan Mazhab. Volume 1, Nomor 2, Desember 2019. Hlm, 97-105).

Melaksanakan Kewajiban

Melaksanakan sesuatu kewajiban dan menjauhi larangan adalah hasil pemahaman terhadap dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan hadis melalui bentuk fi’il amar. Misalnya dapat di jumpai dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, antara lain; QS al-Māidah/5: 38, QS al-Nūr/24: 2; QS al-Nūr/24; 4; QS al-Baqarah/2: 178.20.

Dengan demikian kewajiban asasi manusia menjadi sesuatu kemutlakan yang harus dilaksanakan oleh seseorang supaya hak-hak orang lain dapat terjaga dan terpelihara, termasuk dalam hal ini korban atau keluarga korban tindak pidana. Kewajiban memelihara agama dan melaksanakan ajaran agama, kewajiban memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta benda orang lain. Betapapun beratnya beban yang diderita oleh korban atau keluarganya, tindakan sewenang-wenang, main hakim sendiri tetap tidak dibenarkan sampai menunggu proses hukum selesai dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.(hlm, 245-246).

Hukum Islam memiliki konsep bahwa kewajiban itu lebih utama atau lebih didahulukan dari pada hak. Bahkan hukum Islam mendahulukan pemenuhan kewajiban dari pada menuntut hak dan menjadi salah satu asas hukum Islam.

Dalam sistem hukum Islam orang baru memperoleh haknya, misalnya mendapat imbalan pahala, setelah ia menunaikan kewajibannya terlebih dahulu. Asas menunaikan kewajiban terlebih dahulu dari pada penuntutan hak merupakan hakikat hukum yang mendorong terhindarnya seseorang melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Untuk terciptanya keteraturan kehidupan atau terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat, maka hukum pidana Islam mengaturnya dengan konsep al- darūriyāt al-khamsah.

Al-darūriyāt al-khamsah ialah setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk memelihara perkara yang lima, yaitu perkara agama (dîn), jiwa (nafs), akal pikiran (aql), dan keturunan (nasb), serta harta benda (māl). Istilah ini juga dalam hukum Islam dikenal dengan kewajiban Asasi Manusia yang tersimpul dalam al-ḍarūrî al-khamsah (primer). Hak dan kewajiban ḍarurîyāt, yaitu hak dan kewajiban yang amat menentukan di dalam hidup dan kehidupan duniawi ataupun ukhrawi. Jika itu tidak terwujud, kehidupan manusia akan kacau balau.(hlm, 247).

Kesimpulan

Hakikat “kewajiban” adalah “kebutuhan”; apabila suatu kewajiban agama disikapi sebagai suatu kebutuhan oleh setiap individu, maka individu-individu tersebut akan mendapatkan tujuan-tujuan syara‟ dari kewajiban-kewajiban agama tersebut. Jika tidak, maka kewajiban-kewajiban itu hanyalah rutinitas belaka tanpa mampu mengubah atau memperbaiki sikap moral pelakunya.

Tanggungjawab, hakikatnya, adalah “keberanian” menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan sesuai dengan kodrat manusia sebagai hamba Tuhan.

Kewajiban asasi manusia tidak hanya pada pelaku tindak pidana tetapi juga termasuk kewajiban bagi korban atau keluarga korban tindak pidana merupakan kewajiban yang memiliki substansi untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Ketika jenis kewajiban yang berkaitan dengan perintah untuk melakukannya, kemudian tidak dilaksanakan akan berakibat pada perbuatan dosa dan berimplikasi pada sanksi.

Demikian juga halnya dengan melakukan perbuatan yang dilarang akan berimplikasi pada sanksi pidana. Menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan, baik bagi pelaku tindak pidana maupun bagi korban tindak pidana akan berakibat pada terciptanya atau tegaknya kemaslahatan bagi masing-masing pihak yang berkepentingan, dengan sendirinya akan tercipta kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Referensi:

MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU (Analisis terhadap Kewajiban dan Tanggung Jawab). Oleh: Zainuddin Hamka. Dosen Uviversitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. DPK Universitas Indonesia Timur (UIT). Ash-shahabah. Jurnal Pendidikan dan Studi Islam. Volume 5, Nomor 1, Januari 2019.

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEWAJIBAN ASASI MANUSIA (Telaah Hukum Pidana Islam). Oleh: HAMZAH HASAN. Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Mazahibuna. Jurnal Perbandingan Mazhab. Volume 1, Nomor 2, Desember 2019.

HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA (Sebuah Telaah dengan Pendekatan Alqur’an dan Hadits). Oleh: Yudesman. DITERBITKAN OLEH JURUSAN SYARI’AH. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KERINCI. Vol. 07 Juli 2012.

Kewajiban Asasi Manusia Perspektif Hukum Pidana Islam. Hamzah Hasan. UIN Alauddin Makassar. Al-Ulum: Volume 19 Number 1 June 2019.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال