Memilih Pemimpin Non Muslim


Penulis: Alif Maulana Fadiansyah*

Dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjamaah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. 

Ia memiliki peranan strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan umatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan umat dengan iringan Ridho Allah, seperti dalam firman-Nya, surat Al-Baqarah; 207 :

وَمِنَ النَّاسِ مَن یَشْرِى نَفْسَھُ ابْتِغَآءَ مَرْ ضَاتِ اللهِ وَاللهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ 

Artinya:

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinyakarena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantunkepada hamba-hamba-Nya.“ (QS. Al Baqarah : 207).

Pembahasan mengenai pemimpin non muslim dirasa sangat perlu, dan sangat kontekstual untuk dibahas, khususnya bagaimana Alqur’an berbicara mengenai hal tersebut. Dalam Alqur’an sendiri setidaknya terdapat empat ayat yang berbicara mengenai pemimpin non muslim; 

QS. Ali Imran; 28, yang berbunyi:

لاَ یَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِینَ أَوْ لِیَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِینَ وَمَن یَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَیْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْ ءٍ إِلآَّ أَن تَتَّقُوا مِنْھُمْ تُقَاةً وَیُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَھُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِیر 

 Artinya: 

“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah iadari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memeliharadiri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Al Imran 3:28)

Argumentasi Penolakan Pemimpin Non-Muslim di Kalangan Umat Islam

Hukum mengangkat pemimpin non-muslim di kalangan umat Islam merupakan isu kontroversial yang senantiasa memancing perdebatan di kalangan para ahli yang telah berlangsung sejak dahulu hingga kini. 

Hal ini muncul karena, baik dalam Alqur’an maupun al-Sunnah yang merupakan dua sumber utama hukum Islam, disamping ditemukan dalil-dalil yang melarang umat Islam memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya, ditemukan pula dalil-dalil lain yang bernada membolehkannya. 

Perbedaan pendapat para ulama tentang pemimpin non-Muslim dapat dipetakan ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang menolak pemimpin non-Muslim. Kedua, mereka yang mendukung pemimpin non-Muslim. 

Pendapat kelompok pertama, menurut Fahmi Huwaidi, sebagaimana dicatat oleh H.M. Mujar Ibnu Syarif, merupakan pendapat yang paling banyak dianut dan menjadi tesis yang paling banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini. 

Dilarangnya umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai pemimpinnya, menurut al-Zamakhsyari adalah logis mengingat orang-orang kafir adalah musuh umat Islam, dan pada prinsipnya memang tak akan pernah mungkin bagi seseorang untuk mengangkat musuhnya sebagai pemimpinnya. 

Bila umat Islam mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpinnya, maka hal tersebut berarti umat Islam seolah memandang bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir itu baik. 

Hal ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhai kekafiran berarti seseorang telah kafir. Di kalangan umat Islam yang tergolong paling keras menolak presiden non-Muslim adalah Sayyid Qutb. 

Lebih dari itu ia bahkan berpendapat, sekadar menolong dan atau mengadakan perjanjian persahabatan dengan non-Muslim saja, utamanya dengan kaum Yahudi dan Nasrani, umat Muslim tidak diperbolehkan melakukannya. 

Umat Islam, tegas Qutb, memang tidak dilarang (bahkan) dituntut bertoleransi, dengan ahli kitab dan non-Muslim lainnya di luar ahli kitab, yang bersikap damai, baik, dan tidak memihak, apapun agama orang itu. Tapi mereka dilarang memberikan loyalitas kepada mereka itu. 

Sebab pemberian loyalitas itu satu hal yang sama sekali berbeda dengan bertoleransi. Toleransi boleh jadi berarti bermuamalah dengan baik (muamalah bi al-husna) terhadap non-Muslim. 

Dari beberapa pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan olehbeberapa ulama terkemuka tersebut di atas, tampak jelas penolakan mereka terhadap pengangkatan non-Muslim di kalangan umat Islam didasarkan pada tafsir harfiah terhadap dalil-dalil yang bersumber dari Alqur’an maupun Hadis yang ada. Dengan demikian, bagi mereka, penolakan terhadap pemimpin non-Muslim adalah sebuah perintah agama.

Nahdlatul Ulama’ sesuai dengan hasil Muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo, Kediri, menghasilkan sebuah kesepakatan tentang syarat diperbolehkannya memilih pemimpin non muslim

1. Apabila   tidak   ada pemimpin   muslim   yang   berkompeten   dalam memimpin.

2. Apabila  calon  dari  Non  muslim  tersebut  tidak  dicurigai berkhianat kepada Islam atau memiliki track record yang buruk. 

3. Apabila  orang  non  muslin  tersebut  tidak  membahayakan dan  menjadi ancaman bagi Islam.

Dari   beberapa   pandagan   diatas   dapat kita simpulkan bahwa, kepemimpinan  non  muslim  boleh  dilakukan  apabila konteks negara  yang dianut bukan mengikuti sistem agama Islam, dikarenakan negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia memberikan hak seluas-luasnya bagi setiap individu baik muslim maupun non muslim untuk  memililih pemimpinnya  dan  hak untuk memimpin.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال