Hakikat Cinta: Syekh Abdul Qadir Al Jailani


Oleh: Mar'atus Sholihah

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah satu seorang wali dan tokoh sufi yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia Islam, khususnya dikalangan para ahli tasawuf dan mistisme. 

Nama lengkap beliau menurut sejarawan Islam Ibnul Imad, adalah Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib Al-Jailani, beliau biasa disebut dengan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, beliau lahir di daerah Bernama Kailan atau Jailan pada tahun 470 H/1077 M, Kota Baghdad, oleh karena itu di akhir nama beliau disertakan nama daerah Al-Jailani (Bahasa Arab) atau Al-Kailani (Bahasa Persia). 

Selain sebagai seorang wali dan sufi yang aktif berdakwah, beliau juga merupakan seorang ulama dan intelektual, hal ini dibuktikan dengan sejumlah karya beliau, diantaranya: Tafsir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib dan lainnya.

Sebagaimana para sufi lainnya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memaknai cinta yang sangat berkaitan dengan Allah, bukan yang lain. Bahkan melalui pandangan tentang cinta ini, Syekh Abdul Qadir menekankan pentingnya seorang manusia untuk fokus hanya kepada Allah, bukan pada keindahan dunia yang sementara. 

Manusia boleh bermain dengan dunia, namun hati dan perhatiannya harus tetap fokus kepada Sang Pemilik Dunia yakni Allah SWT. Untuk bisa berfokus hanya kepada Allah ini, maka cinta merupakan jalannya. Sebab cintalah yang membuat hati seorang hamba selalu mengarahkan perhatiannya pada sesuatu yang dicintainya.

Cinta bagi Syekh Abdul Qadir merupakan kendaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena menurut Syekh Abdul Qadir, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini tidak lain untuk mengetahui hakikat wujud Allah. 

Bagaimana untuk mengetahui hakikat wujud Allah kalau manusia tidak mau mendekat kepada-Nya? Oleh karena itu, jalan yang tepat bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dengan cinta.

Orang-orang yang bermakrifat kepada Allah oleh para sufi seperti Syekh Abdul Qadir dan Abu yazid Al-Bistami disebut sebagai pengantin Allah, karena orang yang bermakrifat itulah sesungguhknya kekasih Allah, disebabkan kecintaan mereka kepada Allah yang begitu besar, mereka hanya mencintai Allah semata. Maka wajar jika Allah mengangkat mereka sebagai kekasih-Nya.

Ketika orang-orang makrifat itu sudah mencintai, maka merekapun mengetahui hakikat wujud Allah, sehingga Syekh Abdul Qadir menyatakan bahwa hanya para kekasih yang bisa mengenali Allah dengan sangat dekat layaknya sahabat karib-Nya, di mata Allah ia ibarat seorang yang sangat anggun dan memesona. 

Namun seperti kata Syekh Abdul Qadir, bahwa meski orang-orang yang bermakrifat kepada Allah ini merupakan hamba-hamba-Nya yang sangat memesona, tetapi secara fisik mereka tampil sederhana dan tidak menampakan keistimewaanya.

Berdasarkan pernyataan dari Syekh Abdul Qadir diatas, bisa diketahui bahwa seorang wali atau kekasih Allah didunia ini kebanyakan selalu menutupi dirinya yang sebenarnya. 

Semua itu merupakan usaha para wali untuk menutupi identitas dirinya yang sesungguhnya, mereka tidak mau menonjolkan kelebihannya dan kualitas dirinya yang sangat mulia itu dihadapan manusia, mereka selalu tampil sederhana apa adanya, meski dihadapan Allah mereka sangat mulia.

Dengan ciri khas yang seperti itu Syekh Abdul Qadir memandang seorang kekasih atau para wali Allah itu berdasarkan hadis qudsi, ketika Allah berfirman, “para sahabat-Ku tersembunyi dibawah kubah-Ku. Tiada yang mengenali mereka kecuali Aku.”

Kubah-kubah Allah itulah yang digunakan Allah untuk menyembunyikan para kekasih-Nya, yang membuat para wali Allah tidak dikenali oleh manusia umum. Seperti suatu kaidah dalam dunia sufi “لايعرف الولي إلّا ولي “ (Tidak mengetahui bahwa seorang itu wali, kecuali wali itu sendiri). Para wali Allah senantiasa menyembunyikan dirinya, dan hanya Allah dan wali sendiri yang mengetahuinya.

Syekh Abdul Qadir dengan tegas menyatakan bahwa seorang hamba yang dekat dengan Allah adalah mereka yang mampu membawa dirinya pada kekosongan. 

Kekosongan ini tiada lain adalah alam rohani dan alam spiritual yang tidak lagi terkotori oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Karena dengan lepasnya manusia dari keinginan-keinginan duniawi itulah yang akan memudahkan hamba untuk menyatu dengan wujud yang hakiki yakni pada hakikat wujud Allah.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال