Dilema: Antara Kemiskinaan dan Radikalisme


Secara prediksi, pada tahun 2020-2023, Indonesia diproyeksikan akan mengalami surplus demografi di mana terjadi peningkatan secara signifikan penduduk usia kerja.Diperkirakan penduduk usia produktif, antara 15 sampai 64 tahun, akan mencapai 70% dari total seluruh penduduk Indonesia pada periode itu (lihat: bkkbn.go.id, 2016).

Kondisi tersebut sangat potensial bagi pembangunan negara di segala bidang jika penduduk usia produktif itu nantinya mempunyai kualitas dan integritas yang cakap. Jika tidak dikelola dengan baik, maka surplus penduduk tersebut akan menjadi bumerang bagi keberlangsungan bangsa. Berkaitan dengan itu, salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah meningkatnya aksi-aksi radikalisme dan intoleransi atas dasar agama di kalangan pemuda.

Dalam hal ini, jika generasi muda Indonesia banyak yang memiliki sikap dan perilaku keberagamaan yang radikal dan intoleran akan menghambat pembangunan social-ekonomi Indonesia, lebih khusus pada periode surplus demografi yang akan mendatang. Seperti yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa, MENA) di mana ada hubungan yang kuat antara surplus demografi dengan tingginya aksi-aksi terorisme pada kalangan muda.

Pembangunan ekonomi misalnya, akan tumbuh dengan baik dalam masyarakat yang toleran dan terbuka, begitupun sebaliknya. Dengan sikap dan perilaku demikian akan tumbuh sikap saling percaya (trust) yang yang pada akhirya akan menciptakan modal social yang kuat dan partisipasi aktif masyarakat. Kondisi tersebut tentu akan menumbuhkan iklim sosial yang sehat bagi pembangunan suatu bangsa.

Sebaliknya, jika masyarakat memiliki pandangan keagamaan yang radikal dan intoleran, akan melemahkan modal sosial dalam masyarakat. Pada gilirannya akan menghasilkan konflik dan sikap saling tidak percaya antar sesama. Tentu saja, kondisi tersebut tidak kondusif bagi pembangunan social-ekonomi.

Dari sini sudah jelas bahwa, studi ini menggambarkan kondisi demografi di dunia pendidikan di Indonesia dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku radikalisme dan intoleransi. Studi ini penting mengingat generasi yang sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah dan universitas yang nantinya akan menjadi penduduk usia produktif pada periode surplus penduduk tersebut.

Itu artinya, dengan memetakan kondisi demografi pendidikan dan kaitannya dalam sikap dan perilaku aktor-aktor utama di dalamnya, siswa/mahasiswa dan guru/dosen, studi ini diharapkan menjadi pijakan para pemangku kebijakan terkait untuk mengelola persoalan radikalisme dan intoleransi di sekolah dan universitas dengan lebih cermat dan efektif.

Unit analisis dalam studi ini adalah siswa/mahasiswa dan guru/dosen di bawah Kementerian Agama (Kementerian Agama) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)/Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa rentang usia siswa dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan saat ini adalah mereka yang akan mewarnai wajah Indonesia pada periode surplus demografi mendatang.

Untuk itu melihat kondisi sikap dan keberagamaan mereka menjadi sangat krusial bagi pembangunan bangsa Indonesia. Selain siswa dan mahasiswa, unit analisis lainnya adalah guru dosen. Mereka dipilih karena mempunyai potensi yang besar dalam membentuk keberagamaan siswa dan mahasiswa. Asumsinya adalah mereka akan membentuk keberagamaan siswa yang moderat dan toleran jika mereka memiliki sikap dan perilaku keberagamaan yang moderat dan toleran pula.

Begitupun sebaliknya, jika mereka memiliki pandangan dan perilaku keberagamaan yang radikal, maka akan berpontensi besar membentuk siswa yang juga demikian. Selain itu, guru dan dosen adalah aktor yang langsung berinteraksi dengan siswa dan mahasiswa di kelas, sehingga peran mereka dalam membentuk sikap dan perilaku keberagamaan siswa dan mahasiswa juga dinilai krusial.

Dengan melihat sikap dan perilaku keberagamaan dari siswa/mahasiswa dan guru/dosen, studi ini mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara demografi dengan sikap dan perilaku keberagamaan di Institusi pendidikan di Indonesia.

Syahdan, sejatinya Islam dan pendidikan merupakan dua hal yang tak terpisahkan di Indonesia. Memisahkan antara keduanya, setidaknya untuk saat ini, merupakan hal yang mustahil. Hal tersebut dikarenakan pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang dan telah melekat bagi bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi ruang akomodasi bagi agama sebagai bagian penting dari negara. Hal tersebut tercermin dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsekuensi daripada itu adalah bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler maupun negara agama (Islam), namun konsensus kebangsaan Indonesia menjadi apa yang disebut Jeremy Menchick (2017) sebagai nasionalisme bertuhan (Godly Nationalism).

Bahwa agama, dalam batas-batas tertentu, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kebangsaan di Indonesia. Konsensus kebangsaan yang demikian juga terefleksi dalam pelaksanaan pendidikan Islam yang bahkan sudah dimulai sejak periode awal kemerdekaan. Misalnya, pada tahun 1946, Badan Pekerja Kominte Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengharuskan pendidikan agama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan masuk di dalam kurikulum nasional.

Dan, selanjutnya, ikut campur negara terhadap pendidikan Islam juga dapat dilihat melalui wewenang Kementerian Agama dalam membirokratisasi pendidikan agama. Ditambah sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, maka kajian terhadap pendidikan Islam di Indonesia telah banyak menarik minat para sarjana. Kajiankajian tentang pendidikan Islam pada mulanya banyak menaruh perhatian pada model tradisional pendidikan Islam, khususnya pesantren dan Madrasah.

Rupanya, belakangan juga muncul studi yang cukup komprehensif mengenai pendidikan tinggi Islam (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, PTKI). Institusi-institusi pendidikan model ini dianggap mewakili fakta dari berakarnya pendidikan Islam di dalam masyarakat Muslim Indonesia. Fakta tersebut dapat dibuktikan dari sebagian besar organisasi-organisasi Islam di Indonesia mempunyai pendidikan Islam; setidaknya sebagai wadah pendidikan bagi para anggotanya.

Lebih jauh, pendidikan Islam tidak hanya dimiliki oleh Nahdhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiayah yang berkembang di Pulau Jawa saja, namun organisasi Islam lainnya di luar Pulau Jawa semisal Nahdlatul Wathan (NW) di Nusa Tenggara Barat, Al-Khairaat di Sulawesi Tengah, Persatuan Islam (Persis), dan Jamiyatul Washliyah di Sumatera Utara, juga mempunyai institusi pendidikan Islam.

Karena itu, memetakan demografi di sekolah dan universitas tentang sikap dan perilaku keberagamaan menjadi krusial. Penelitian ini akan mengisi kekosongan dari studi-studi terkait sikap dan perilaku keagamaan siswa/masiswa dan guru/dosen terkait intoleransi dan radikalisme.

Sejauh ini belum ada studi yang komprehensif menggambarkan kondisi demografi terkait sikap keberagamaan mereka dalam skala nasional. Apalagi di tengah meningkatnya konservatisme agama, arus ideologi transnasional, dan gerakan terorisme saat ini, studi ini menjadi penting untuk melihat peta kondisi radikalisme dan intoleransi di institusi pendidikan. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال