Konsep Pemimpin Dalam Al-Qur'an

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan manusia, baik itu ayat-ayat yang tersurat maupun yang tersirat. Al-Qur’an juga sebagai Kitab Suci umat Islam, banyak memberikan petunjuk tentang masalah pemimpin, berupa ketentuan-ketentuan, nilai etis yang sangat diperlukan dalam kepemimpinan tersebut.

Masalah pemimpin merupakan persoalan keseharian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan Negara antara lain dipengaruhi oleh pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah teori tentang pemimpin bermunculan dan berkembang. Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan persoalan
pemimpin sebagai salah satu persoalan pokok dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.

Nabi Muhammad merupakan pemimpin agama dan negara. Beliau mengemban dua tugas tersebut sekaligus. Di satu sisi sebagai Nabi dan rasul Allah yang menyampaikan dakwah Islam, di sisi lain sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Madinah ketika itu. Sepeninggal Nabi, muncul persoalan politik (siyāsah) terutama yang berkenaan dengan estafet kepemimpinan, dan pada gilirannya timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi sebagai pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan setelah wafatnya.

Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah pemimpin ini setelah wafatnya Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan keutamaan dalam mencari pengganti beliau dalam memimpin umat Islam. Pentingnya persoalan pemimpin ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini, meskipun Indonesia bukanlah Negara Islam.
Allah SWT telah memberitahu kepada manusia, tentang pentingnya peran pemimpin dalam Islam, sebagaimana dalam Al-Qur’an kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah Pemimpin, diantaranya adalah surat An-Nisa’ ayat 59 dan 83: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".(Q.S an-Nisa’ ayat 59).
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir merupakan suri teladan umat manusia sedunia dan termasuk untuk persoalan kepemimpinan. Beliau sebagai kepala pemerintahan yang berhasil meletakkan sendi kenegaraan yang diridhai Allah SWT. Beliau mempersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim duta, serta membuat perjanjian.

Jadi tugas dari seorang pemimpin adalah mengelola perbedaan dan keragaman rakyatnya sebagai aset dan kekuatan negara. Tugas pemimpin bukanlah memaksakan persamaan. Namun untuk menghargai perbedaan dan keragaman, perbedaan suku, ras, dan apapun dikalangan rakyat semuanya menjadi ladang kompetisi untuk menjadi mulia dan bertaqwa di sisi Allah SWT, dan yang paling berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk itu adalah pemimpin.

Al-Qur’an sebagai kumpulan peraturan dasar bagi manusia untuk hidup didunia maupun diakhirat, sudah tentu ada juga membahas tentang pemimpin dalam al-Qur’an, dalam hal ini ada 2 ayat yang membahas pemimpin dalam bentuk Ulial-Amr, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S An-Nisaa’ ayat 59 dan ayat 83.

Makna Pemimpin

Pemimpin dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti: 1) Orang yang memimpin. 2) Petunjuk, buku petunjuk (pedoman), sedangkan Memimpin artinya: 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3) Membimbing, 4) Memandu, 5) Melatih, mendidik dan mengajari.

Kemudian Pemimpin dalam Bahasa Inggris disebut leader. Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Kemudian dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia berasal dari kata ‘’Pimpin’’ yang berarti ‘’Tuntun’’ dan ‘’Bimbing’’ jadi pemimpin berarti ‘’penuntun dan pembimbing.’’
Menurut bahasa Ulil Amri artinya menyuruh, lawan kata dari melarang, kemudian secara istilah berarti orang yang memerintah dan dapat diajak bermusyawarah". Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.

Ulil Amri Menurut Jabir bin Abdullah, Mujahid, Hasan al-Bashri, Abu ‘Aliyah, Atha’ bin Ribah, Ibnu Abbas dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, adalah ‘’Ahli Al-Qur’an’’ yakni para Ulama. Demikian kata Malik dan Dhahhaq. Sedangkan menurut Ibnu Kisan, Ulil Amri adalah ’’Ahli akal dan ahli ilmu’’. Dan Bidhawi dalam tafsirnya menerangkan, bahwa Ulil Amri itu adalah Amir (Komandan) dari pasukan di zaman Rasulullah SAW. Setelah Rasul wafat, maka Ulil Amri itu pindah kepada para khalifah, dan kepala pasukan perang.

Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin

Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dalam perkembangannya mengalami perluasan arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari “hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau golongan.

Konsekuensi dari kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang dirumuskan oleh para ulama dan fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat tergantung dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan fuqaha.
Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadhi yang hidup pada abad pertengahan menyebutkan syarat utama bagi seorang pemimpin yaitu;
1. Adil dalam arti yang luas,
2. Punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum,
3. Sehat pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggung jawabnya,
4. Sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah cepat,
5. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum,
6. Berani dan tegas membela rakyat dan
menghadapi musuh,
7. Dari keturunan Quraisy.

Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan dengan al-Mawardi, yaitu;
1. Dari kalangan Qurasy,
2. Baligh, merujuk pada sabda Nabi, “Pena diangkat dari tiga golongan, anak-anak sampai dewasa, orang gila sampai sembuh, dan orang tidur sampai sadar”,
3. Laki-laki, dasar yang digunakan adalah sabda Rasulullah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”,
4. Muslim, karena Allah SWT berfirman “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk (menguasai) kaum mukmin” (Q.S. an-Nisa’ ayat 141),
5. Paling menonjol di dalam masyarakatnya, mengetahui hukum-hukum agama, secara keseluruhan taqwa kepada Allah SWT, dan tidak diketahui berbuat fasik.

Penafsiran Ulama Klasik dalam surat An-Nisa’ ayat 59 dan 83. Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".(Q.S an-Nisa’ ayat 59).
Dalam ayat yang lain. Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Q.S an-Nisa’ ayat 83).

Dalam surat an-Nisa’ ayat 59 Ibnu Katsir menafsirkan bahwa berkaitan dengan firman Allah diatas, ‘’Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu’’ al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata ‘’ayat ini diturunkan sehubungan dengan Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adi tatkala ia diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu pasukan.’’ Demikian pula menurut riwayat jama’ah, kecuali Ibnu Majah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, dia berkata ‘’Rasulullah mengutus suatu pasukan yang dipimpin oleh seorang Anshar. Setelah mereka berangkat si pemimpin mendapat masalah untuk mengatasi mereka. ’’Ali berkata, ’’Maka si pemimpin Berkata kepada mereka, ’Bukankah Rasulullah telah menyuruh kalian agar menaati aku?’ mereka mengiyakannya.Si pemimpin berkata, ’Ambilkan aku kayu bakar. ’Kemudian si pemimpin meminta api dan menyalakan kayu bakar, lalu berkata, ’’Aku menginstruksikan kepada kalian agar masuk kedalam api itu.’’’Ali berkata, ’’Ada seorang pemuda berkata kepada yang lain,’ Sungguh, kamu harus berlari dari api itu dan mengahadap Rasulullah. "Janganlah kamu tergesa-gesa memutuskan sebelum kamu bertemu dengan Rasulullah SAW. jika beliau menyuruhmu untuk memasuki api, maka
masukilah. ’’’Ali berkata, ‘’Maka mereka pun kembali kepada Rasulullah seraya memasukinya, niscaya kalian tidak akan pernah dapat keluar lagi untuk selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya menyangkut kema’rufan.’’’(Hadis itu dikemukakan dalam sahihan dari Hadis al-A’masy).
Abu Daud meriwayatkannya dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW beliau bersabda ’’Seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada penguasa terhadap segala sesuatu yang dia sukai maupun tidak sukai selama tidak diperintah untuk bermaksiat, jika diperintah untuk bermaksiat, maka tiada lagi mendengar dan taat.’’(HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Bahwa Allah memerintahkan untuk taat kepada Nya dan taat kepada Rasul-Nya, yaitu dengan melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah serta menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang memegang kekuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para hakim, dan para ahli fatwa (mufti), sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka.

Sebagai suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan mengharap apa yang ada disisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan Allah, dan bila memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah, dan bisa jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja ‘’taat’’ pada perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepadanya ia telah taat kepada Allah, adapun para pemimpin, maka syarat taat kepada mereka bahwa apa yang diperintahkan
bukanlah suatu kemaksiatan.

Kemudian Allah SWT memerintahkan agar mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan pengungkapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau isyarat atau peringatan, pemahaman atau keumuman makna yang yang dapat di qiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya diatas kitabullah dan sunnah Rasul-Nya agama tegak berdiri, dan tidaklah akan lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani keduanya, maka mengembalikan perkara kepada keduanya adalah syarat keimanan.

Kemudian dalam surat an-Nisa’ ayat 83 Ibnu Kastir dalam Tafsirnya Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari menafsirkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk merenungkan al-Qur’an dan memahami maknanya, Allah melarang mereka berpaling dari al-Qur’an, konsep-konsepnya yang muhkam, dan ungkapannya yang komunikatif. Allah juga memberitahukan kepada mereka bahwa didalam al-Qur’an itu tiada ikhtilaf, kekacauan dan kontradiksi karena ia merupakan kebenaran yang diturunkan dari Yang Maha Benar.
Kemudian Allah berfirman, ’’seandainya dia bukan berasal dari sisi Allah, ’’yakni jika al-Qur’an mengandung ikhtilaf seperti dikatakan oleh kaum musyrik dan kaum munafik secara sembunyi-sembunyi, niscaya mereka menemukan kontradiksi yang banyak, maksudnya, al-Qur’an itu bebas dari ikhtilaf. Lalu dari sisi Allah, sebagaimana Dia memberitahukan ihwal para ahli ilmu tatkala mereka mengatakan, ’’kami beriman kepadanya, semua isinya adalah dari Tuhan kami.Maksudnya, ayat yang muhkam dan mutasyabih adalah hak, lalu mereka mngembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam sehingga mereka pun beroleh petunjuk, sementara kaum yang sesat mengembalikan yang muhkam kepada yang mutasyabih sehingga mereka pun tersesat.

Istilah Pemimpin Dalam Al-Qur'an

Dalam perspektif al-Qur’an, istilah pemimpin dalam pengertian sebagaimana yang telah diuraikan, dapat merujuk pada term khalifah, imamah dan ulu al-Amr.

1. Khalifah

Menurut bahasa, kata khalifah merupakan subjek dari kata kerja lampau khalafa yang bermakna menggantikan atau menempati tempatnya. Dalam pengertian yang lainnya, kata ini digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Islam. Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn atau “pemimpin orang yang beriman.”
Term khalifah juga diungkapkan antara lain dalam QS. al-Baqarah [2]: 30 sebagai penegasan Allah tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. Bentuk plural (jamak) term khalifah.tersebut adalah khalaif sebagaimana dalam QS. Fāthir [35]: 39. Secara etimologis, kata khalifah.berakar kata dengan huruf-huruf ‘kha’, ‘lam’, dan ‘fa’’, mempunyai tiga makna pokok, yaitu, ‘mengganti’, ‘belakang’, dan ‘perubahan’.
Dengan makna seperti ini, maka kata kerja khalafa-yakhlufu-khalifah dipergunakan dalam arti bahwa khalifah adalah yang mengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin, khalifah adalah pemimpin di belakang (sesudah) Nabi, khalifah adalah orang mampu mengadakan perubahan untuk lebih maju dan menyejahterahkan orang yang dipimpinnya.

2. Imamah dan Imam

Term imamah berasal dari kata imam. Dalam Maqāyis al-Lughah dijelaskan bahwa term imam pada mulanya berarti pemimpin shalat. Imam juga berarti orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya, demikian juga khalifah sebagai imam rakyat, dan a1-Qur’an menjadi imam kaum muslimin. Imam juga berarti benang untuk meluruskan bangunan. Batasan yang sama, dikemukakan juga oleh al-Asfahāni bahwa al-imam adalah yang diikuti jejaknya, yakni orang yang didahulukan urusannya, atau perkataannya, atau perbuatannya. Imam juga berarti kitab atau semisalnya. Jamak kata al-imam tersebut adalah a’immah.
Dalam al-Qur’an, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali. Sementara kata a`immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaannya. Ia bisa bermakna jalan umum (QS. Yāsīn [36]: 12); pedoman (QS. Hūd [11]: 7); ikut (QS. al-Furqān [25]: 74); dan petunjuk (QS. al-Ahqāf [46]: 12). Begitu pula dalam makna kata pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka (QS. al-Isrā’ [17]: 71); pemimpin orang-orang kafir (QS. al-Tawbah [9]: 12); pemimpin spiritual atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub (QS. al-Anbiyā’ [21]: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (QS. al-Qashash [28]: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah (QS. al-Sajdah [32]: 24).

Term imamah dalam konteks sunnah dan syi`i berbeda pengertiannya. Dalam dunia sunni, imamah tidak dapat dibedakan dengan khilafah. Sedangkan dalam dunia syi`i, imamah bukan saja dalam konotasi lembaga pemerintahan, tetapi mencakup segala aspek. Hal ini disebabkan predikat imam bagi kaum syi`ah tidak saja terkait dengan aspek politik, tetapi juga mencakup aspek agama secara keseluruhan: akidah, syariah, mistik, dan yang disepakati oleh kaum syi`ah ialah bahwa imam harus berasal dari ahl al-bayt dengan garis keturunan `Ali. Dengan demikian kaum syi`ah memahami bahwa konotasi imam erat sekali dengan dimensi keagamaan dan menjadi kurang tepat bila dikaitkan dengan aspek politik saja. Dari sinilah sehingga konotasi imam harus tetap mengacu pada pengertian pemimpin spiritual atau keagamaan.

3. Ulu al-Amr

Ulu al-Amr merupakan ungkapan frase nominal yang terdiri atas dua suku kata, ulu dan al-amr. Yang pertama bermakna pemilik, dan yang kedua bermakna “perintah, tuntunan melakukan sesuatu, dan keadaan atau urusan”. Memperhatikan pola kata kedua, kata tersebut adalah bentuk mashdar dari kata kerja amara-ya’muru (memerintahkan atau menuntut agar sesuatu dikerjakan). Dari sini, maka kata ulu al-Amr diterjemahkan “pemilik urusan” dan “pemilik kekuasaan” atau “hak memberi perintah.” Kedua makna ini sejalan, karena siapa yang berhak memberi perintah berarti ia juga mempunyai kekuasaan mengatur sesuatu urusan dan mengendalikan keadaan. Melalui pengertian semacam inilah, maka ulu al-Amr di sepadankan dalam arti “pemimpin.”
Al-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli takwil berbeda pandangan mengenai arti ulu al-Amr. Satu kelompok menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulu al-Amr adalah umara. Sedangkan kelompok lain berpendapat bahwa ulu al-Amr itu adalah ahl al-ilmi wa al-fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah yang dimaksud dengan ulu al-Amr. Sebagian lainnya berpendapat ulu al-Amr itu adalah Abu Bakar dan Umar. Dalam Ahkam al-Qur’ān, Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa yang benar dalam pandangannya adalah bahwa ulu al-Amr itu umara dan ulama semuanya.”

Kesimpulan

Menurut bahasa Ulil Amri artinya menyuruh, lawan kata dari melarang, kemudian secara istilah berarti orang yang memerintah dan dapat diajak bermusyawarah. Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan.
Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT. Ulil Amri Menurut Jabir bin Abdullah, Mujahid, Hasan al-Bashri, Abu ‘Aliyah, Atha’ bin Ribah, Ibnu Abbas dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, adalah ‘’Ahli Al-Qur’an’’ yakni para Ulama. Demikian kata Malik dan Dhahhaq. Sedangkan menurut Ibnu Kisan, Ulil Amri adalah ’’Ahli akal dan ahli ilmu’’. Dan Bidhawi dalam tafsirnya menerangkan, bahwa Ulil Amri itu adalah Amir (Komandan) dari pasukan di zaman Rasulullah SAW. Setelah Rasul wafat, maka Ulil Amri itu pindah kepada para khalifah, dan kepala pasukan perang.

Penafsiran Ulil Amri menurut Ibnu Taimiyah dan Hamka berbeda dengan Ulil Amri pada masa sekarang ini, menurut mereka ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi serta diteladani adalah pemimpin yang memiliki kapabilitas dan faqih dalam ilmu agama, ia dapat melaksanakan amanah dengan baik sesuai dengan syari’at Allah dan Rasulnya. Pemimpin seperti itulah yang wajib dipatuhi dan akan berdosa jika melanggar perintah dan tidak menaatinya.
Sedangkan pemimpin pada masa sekarang, jika dia mampu memilki semua kriteria yang layak bagi seorang pemimpin maka ia pun wajib ditaati aturannya, akan tetapi jika dia adalah seseorang yang lalai dan gemar bermaksiat dan telah menzholimi rakyatnya maka rakyatnya hanya diberikan kewajiban untuk mentaatinya sebatas hal-hal yang tidak melawan perintah Allah dan Rasul, jika perintah itu berlawanan dengan perintah Allah dan Rasul (Baca: korupsi, suap dan lain-lain) maka rakyat tidak ada kewajiban untuk mematuhi perintahnya dan pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang ia lakukan pada rakyatnya.

Referensi:

TERMINOLOGI PEMIMPIN DALAM ALQUR’AN (Studi Analisis Makna Ulil Amri dalam Kajian Tafsir Tematik)”. Oleh: Khairunnas Jamal dan Kadarusman, Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau. An-Nida: Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 39, No.1. Januari - Juni 2014.

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN. Surahman Amin, STAIN Sorong Papua dan Ferry Muhammadsyah Siregar, ICRS-Yogya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Tanzil: Volume I, Nomor 1, Oktober 2015.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال