Ulama Minangkabau Dan Tradisi Intelektual : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ulama Minang Yang Sangat Mencintai Ilmu


Ulama Minangkabau Dan Tradisi Intelektual : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ulama Minang Yang Sangat Mencintai Ilmu.

Minangkabau merupakan sebuah kawasan di Indonesia yang  mendunia. Namanya bukan lagi barang asing untuk dibicarakan, tentu dengan kepopuleran itu banyak hal yang bisa digali dari negeri yang dijuluki sebagai gudangnya para ulama ini. Sebagaimana falsafah yang dianut oleh Minangkabau ketek di surau gadang di rantau. 

Semacam menjadi sebuah prinsip yang digenggam teguh oleh orang Minang untuk tetap terdidik dalam lingkungan surau dan bila sudah dewasa harus meninggalkan kampung halaman untuk menjelajah dunia. Maka tidak heran, tokoh cendikiawan dari bumi Minangkabau ini bukan terdiri dari satu atau dua orang. 

Nama-nama mereka besar dalam panggung peradaban dunia. Dari sekian banyak orang-orang besar dari negeri ini. Tersebutlah satu nama yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang namanya mengharumkan ranah Minang dan Nusantara.   

Latar Belakang Syekh Khatib

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, begitulah dunia Islam menyebutnya. Memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khathib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’I al Minangkabawi. Beliau lahir di Koto Tuo Balai Gurah Kecamatan IV Angkek Candung Bukittinggi pada tahun 1276H/1860M. 

Ayahnya bernama Buya Abdul Latif seorang ulama yang mumpuni pada masanya. Sedangkan ibu dari beliau bernama Limbak Urai asal Koto Tuo Balai Gurah. Beliau memiliki 5 saudara yaitu H. Mahmud, H. Aisyah, H. Hafsah, H. Safiah. Ditinjau dari nasabnya, Syekh Ahmad Khatib memiliki hubungan kekerabatan dengan Tuanku Nan Tuo seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama Paderi.

Syekh Khatib lahir dari keluarga bangsawan yang memiliki garis keturunan orang kaya. Keluarganya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan berpangkat. Kakeknya Engku Abdurrahman adalah seorang kepala jaksa di Padang, sementara pamannya Sutan Muhammad Salim juga seorang Kepala Jaksa di Riau. 

Mewarisi Semangat Menuntut Ilmu Dari Syekh Khatib

Di dalam buku yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Noer Delier menjelaskan Syekh Khatib mengenyam pendidikan formalnya di sebuah sekolah rendah dan sekolah guru yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pengetahuan Keislaman, seperti hafalan Alqur’an Syekh Khatib dapatkan melalui ayahnya Buya Abdul Lathif.  

Selesai dari bangku sekolah formal, pada tahun 1287 beliau beserta ayah dan kakeknya pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji. Beberapa penulis biografinya menyebut sesampainya disana Syekh Khatib tidak ikut untuk pulang ke kampung halaman bersama ayah dan kakeknya. 

Ia memutuskan menetap di Makkah untuk memperdalam agama Islam. Keilmuan yang beliau kaji dan pelajari selama di Makkah adalah ilmu Akidah, ilmu fikih, ilmu falak, ilmu hukum Islam, dan tasawuf. 

Akan tetapi melalui catatan pribadinya sendiri, Syekh Khatib menjelaskan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman untuk menyambut permintaaan kerinduan dari ibunda beliau( Khatib:8). 

Singkatnya, selama satu tahun lebih beliau di kampung, beliau kembali ke tanah suci untuk melanjutkan tholabul ilminya sebab semangat dan kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu. Dalam waktu Sembilan tahun saja, Syekh Khatib berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah. Diantara dari guru-gurunya ialah Syekh Yahya al Qabli, Syekh Bakr al-syatta.

Belajar Menjaga Intelektualitas Dari Syekh Khatib

Setelah Syekh Khatib menyelesaikan studinya, ia kemudian mengajarkan ilmu yang dia peroleh selama menjadi pelajar dulu. Berkat kecerdasan dan keilmuan beliau dalam dispilin ilmu Keislaman ia diizinkan untuk mengajar di Masjid-al Haram,  dari sanalah kemudian namanya melambung dan mulai dikenal banyak orang sampai ke Indonesia, alasannya adalah sebab tidak sembarangan orang bisa untuk mengajar di Masjid-al Haram, di tempat itu hanya guru-guru ternama saja yang dibenarkan untuk mengajar. Hal itu pulalah yang kemudian menarik pemuda-pemuda dari Indonesia berdatangan untuk belajar kepadanya.

Berdasarkan penelusuran penulis, beliau bukan dikenal sebagai guru di Masjid-al Haram saja, tetapi ia juga mendapatkan penghargaan dari Syarif ‘awn al-Rafiq  sebagai imam dan khatib dari Mazhab Syafi’i. Hal itu pulalah yang menyebabkan adanya gelar Khatib di belakang namanya. Sehingga Ia pun dipanggil Ahmad Khatib. 

Maka dari posisi dan gelar yang diberikan kepadanya, bisa kita katakan bahwa beliau adalah sosok yang memiliki pengaruh dan menjadi tokoh sentral dunia Islam pada abad itu. Itu diperkuat dengan turutnya ia menjadi bagian dari jaringan ulama Haramayn yang berperan penting dalam penyebaran gagasan-gagasan keilmuan dan pembaharuan ke seluruh dunia Islam. Dengan nama tenar yang dia sandang, ia memanfaatkan hal tersebut untuk mentransfer keilmuan dan pembaharuan kepada jamaah yang datang berhaji. 

Snouck Hurgronje mencatat , semua orang yang datang berhaji pasti akan mengunjunginya sewaktu hidup. Dari jamaah haji yang datang ada yang bermukim di Makkah untuk fokus menuntut ilmu kepadanya, dan ada yang pulang ke tanah air untuk menyebarkan ilmu yang mereka pelajari selama di Makkah dengan Syaikh Khatib. Dengan murid-muridnya juga beliau membentuk sebuah  komunitas ilmiah kosmopolitan di Haramayn (Azra,2007:386-7). 

Murid-muridnya inilah yang nanti menjadi transmitter utama tradisi intelektual keilmuan di dunia Islam. Yang menarik bagi penulis adalah, walau  beliau adalah sosok yang memiliki prinsipil yang tegas dalam pendiriannya dan cukup keras terhadap beberapa unsur-unsur Keislaman. Ia tidak memaksakan pendapatnya untuk diterima oleh murid-muridnya, dan itu menjadikan murid-muridnya memiliki pemikiran dan corak keagamaan yang beragam walau beliau adalah seorang ulama besar dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Akan tetapi, Syekh khatib tidak mengajarkan pentaqlidan secara buta  terhadap ijtihad atau pendapatnya kepada murid-muridnya.

Sumbangan Syekh Khatib dalam Keilmuan Islam

Keilmuan yang dimiliki oleh Syaikh Khatib mendapatkan pengakuan oleh dunia Islam. Tentu dengan kepakaran tersebut beliau melahirkan banyak karya untuk merawat intelektualitas Keislaman dan memberikan sumbangsih terhadap pengetahuan dalam bidang Keislaman. 

Penulis menelusuri–tidak semuanya– bahwa Syekh Khatib memiliki banyak karya dalam bentuk kitab yang terdiri dari karya berbahasa Arab dan berbahasa Indonesia, yang antara lain 

Karya berbahasa Arab :

1. Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli

2. Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah

3. Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’

4. Raudhatul Hussab

5. Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz

6. As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir

7. Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id

8. An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah

9. Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah

10.  Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir

Untuk karya berbahasa Indonesia :

1. Mu’allimul husa\sab fi ilmil Hisab

2. ArRiyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid

3. Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits

4. Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj

5. Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain

6. Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah

7. Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin

8. Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat

9. Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’

Maka kemudian dengan banyak karya dan kontribusinya, maka patut dunia Islam menempatkan namanya sebagai tokoh ulama asal Minangkabau yang memiliki perhatian dan kepedulian penuh terhadap keilmuan dan pembaharuan pada saat itu.

Penulis: Andika Saputra

Editor: Adis Setiawan

Referensi :

Akhria Nazwar. Syekh Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), hlm. 5-8  

Edwar (Ed). Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981), hlm. 17.

Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 39.

Sidi Ibrahim Boechari. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hlm. 77

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Jakarta: Penada Media, 2007

 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال