Pentingnya Sikap Toleransi Untuk Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia

KULIAHALISLAM.COM - Di satu sisi kita semua memiliki keyakinan-keyakinan bersama, juga optimisme yang amat kuat, bahwa kita mampu menciptakan perdamaiaan dan hubungan baik antara sesama umat manusia dengan modal dasar keyakinan-keyakinan bersama itu. 

Sementara itu di sisi yang lain, kita juga menyaksikan dan ikut merasakan, betapa iklim prasangka dan curiga satu terhadap yang lain itu bertumbuh dan berkembang di tengah-tengah kita seolah-olah menjadi sesuatu yang wajar dan dapat dibenarkan.

Iklim prasangka itu bahkan berkembang menjadi ajang kompetensi dan ajang saling membenci. Terhadap situasi seperti itu kita semua tidak punya pilihan lain selain membuka komunikasi satu dengan yang lain. Namun berkomunikasi yang dimaksudkan disini tidak tentang akidah masing-masing. Kita berdialog namun tetap mengakui bahwa dalam hal akidah setiap agama memiliki perbedaan-perbedaan yang bersifat hakiki.

Disisi lain ada hal yang lebih penting yaitu mewujudkan kerukunan hidup umat beragama, khususnya di Indonesia. Pengertian kerukunan hidup antar umat beragama adalah terbinanya kesimbangan antara hak dengan kewajiban dari setiap umat beragama.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban itu adalah sungguh-sungguh dari setiap penganut agama untuk mengamalkan seluruh ajaran agamanya sehingga ia menjadi agamawan paripurna namun pada saat yang sama pengalaman ajaran agamanya tidak bersinggungan dengan kepentingan orang lain yang juga dimiliki hak untuk mengamalkan ajaran agamanya.

Syahdan, untuk mewujudkan terjadinya kerukunan hidup umat beragama didalam masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda baik berskala internasional, regional maupun dalam skala nasional, selalu terjadi dalam dua bentuk sikap.

Pertama, saling menghargai dan menghargai dan menghormati itu berjalan secara tidak sadar. Artinya, seorang menghormati orang yang beragama lain tidak dilihat dari kepentingan tetentu, misalnya karena sama-sama mendalami dunia yang satu manusia tidak pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling mengusir atau karena sama-sama satu bangsa dan negara sepantasnnya umat beragama saling rukun demi cita-cita bersama.

Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut agama lain itu muncul bukan hanya kepentingan politik tetapi lebih dari itu adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang sangat mendasar.

Sekurang-kurangnya, penulis menemukan ada empat upaya yang perlu digalakan oleh bangsa Indonesia dalam membangun kehidupan yang harmonis. Pertama, mengembangkan pemahaman agama yang esoterik dan menumbuhkan kesadaran pluralitas dalam level eksoteris. Hal ini diharapkan menunjukan kejujuran dalam hidup yang beragam dan meminimalisir sikap fanatik buta dan penuh curiga.

Kedua, mengembangkan penyiaran keagamaan yang menekankan aspek kemanusiaan. Karena cara ini akan menjadi etika sosial yang bercorak keagamaan. Falsafahnya sangat sederhana yaitu; “Kalau Tuhan memuliakan manusia, mengapa diantara kita tidak saling memuliakan.”

Ketiga, mendorong umat beragama untuk mencari titik temu agama-agama pada ajaran agamanya sendiri dan bersikap menurutnya. Sebab penemuan titik temu dan pengalamanya akan melahirkan teologi kerukunan dan sikap kesatuan makhluk Tuhan dan sebagai sesama warga negara Pancasila yang harus mendarmabakhtikan kiprahnya bagi pembangunan bangsa.

Keempat, visi mengenai titik temu agama-agama ini perlu dibudayakan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sebab, budaya pencarian titik temu agama-agama tersebut sangat relevan dengan kebutuhan kesadaran pluralitas sebagai salah satu ciri masyarakat global. 

Dengan demikian, untuk itu, seluruh kalangan, terutama pemerintah perlu memberikan dorongan untuk terciptanya usaha-usaha dan iklim yang kondusif bagi dikembangkannya pencarian dan penegakan visi titik temu agama-agama di kalangan umat beragama.

Itu sebabnya, tak mengherankan jika orang sekelas Kuntowijoyo mengatakan bahwa, hubungan antar umat beragama perlu mendapat nama baru, isi baru, dan substansi baru. Selain menimbulkan sikap apoligitik, juga kerukukan atau toleransi hanya cocok untuk masyarakat agraris, tetapi tidak sesuai untuk masyarakat industrial.

Kerukunan menunjukan masyarakat dalam agamanya sendiri yaitu bagaimana masyarakat memiliki sikap empati terhadap kelompoknya dalam kerjasama sosial. Yang kita perlukan adalah, konsep baru hubungan antar umat beragama yang lebih menitik beratkan kerjasama sosial dan tidak menutup diri dengan upaya mewujudkan penanaman nilai kemanusiaan, serta dinamis yang memiliki tujuan dan kerja bersama.

Oleh karena itu, mengusulkan supaya kerukunan atau toleransi digantikan dengan kerja sama atau koperasi; di masa depan yang kita perlukan bukan kerukunan atau toleransi, tetapi kerja sama atau koperasi antar umat beragama. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال