Menuju Allah Melalui Maqamat

KULIAHALISLAM.COM - Dalam kehidupan manusia, tentu saja kehadiran Tuhan adalah yang terpenting. Tanpa Tuhan, keadaan kita tidak mungkin ada. 

Perjalanan manusia itu beragam. Dengan berbagai macam ritual keagamaan yang menjadikan dirinya sebagai hamba yang dekat dengan Pencipta. Pendekatan terhadap Tuhan bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan metode pendekatan tasawuf. 

Tasawuf merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang mengarahkan pada pembersihan hati pelakunya. 

Ada dua hal yang harus dilakukan sebelum mendekatkan diri kepada Allah. Pertama, harus punya guru (mursyid) untuk membimbing ke dalam maqamat (jalan menuju Allah) agar tidak tersesat. 

Kedua memiliki disiplin ibadah selama 3 tahun. Tahun pertama untuk Allah (fokus beribadah), tahun kedua untuk manusia (hubungan muamalah), dan tahun terakhir untuk dirinya sendiri sebagai pengenal dan pembersihan qalb (hati). 

Setelah syarat tersebut terpenuhi barulah seseorang bisa menjalani maqamat. Dalam pendapat kaum Sufi (orang yang mendalami tasawuf) tidak ada perjalanan yang sama antara Sufi satu dengan lainnya. Tetapi beberapa dari mereka menyepakati maqamat yang sama yang telah ditempuh. 

Berikut adalah beberapa jalan yang harus dilewati untuk lebih dekat dengan Allah. 

Taubat

Sebagai manusia biasa, tentu saja pernah melakukan dosa. Sebagai ganti dari dosa tersebut haruslah bertaubat dengan cara langsung (tidak bertahap) meninggalkan dosa yang pernah dilakukan. 

Wara'

Meninggalkan segala sesuatu yang tidak baik, termasuk meninggalkan sesuatu yang belum jelas haram maupun halalnya (syubhat).

Zuhud

Tidak lagi tertarik kepada kehidupan dunia, tahapan ini telah meninggal kesenangan duniawi dan berfokus pada Allah saja. 

Fakir

Fakir diartikan sebagai kemiskinan dalam kemaslahatan. Sebagai calon Sufi, kebutuhan menjadi perkara yang wajib saja untuk dipenuhi, bukan lagi soal gaya hidup. Kemiskinan mengantarkan pada ringannya beban yang ditanggung, karena tidak lagi ada harta yang dicari dan dipikirkan. 

Sabar

Bukan sabar ditinggal mantan, tetapi sabar menjalankan segala perintah Allah, menjahui larangannya, dan bersyukur terhadap semua yang Allah berikan. 

Tawakal 

Berserah diri kepada Allah, pasrah akan pemberiannya. Orang yang bertawakal tidak lagi meminta apa yang tidak dimiliki, semua diserahkan kepada Allah dengan lapang hati. 

Ridha

Hubungannya dikaitkan dengan qada dan qadar Allah. Semua yang telah ditetapkan Allah dalam takdir tidak pernah ditanyakan dan diharapkan. Semua terserah Allah, yang penting Allah ridha, begitu kiranya. 

Beberapa jalan yang harus ditempuh sebagai calon Sufi memang tidak mudah, tetapi dengan menjalankan maqamat banyak hal yang bisa diraih selain lebih dekat dengan sang Pencipta. Dalam dunia tasawuf disebut sebagai akhwal, yaitu perasaan spiritual yang diberikan Allah kepada Sufi. 

Akhwal diberikan oleh Allah sebagai hak prerogatifnya sebagai Tuhan kepada siapa saja hambanya yang terpilih. Perasan spiritual ini tidak dapat diminta untuk datang, dan di cegah untuk meninggalkan. 

Berikut beberapa beberapa kategori terkait akhwal yang dirasakan oleh para sufi ketika berada pada jalan menuju Allah (maqamat), diantaranya:

Al Muhasabah Wa Al Muraqabah (Waspada dan Mawas Diri)

Orang yang waspada senantiasa memperhatikan segala tingkah lakunya karena sadar bahwa tingkah lakunya diawasi oleh Allah. Sedangkan mawas diri adalah meneliti dengan cermat terhadap semua perbuatan apakah sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Maka dalam kondisi apapun dirinya selalu mengoreksi besitan-besitan hati atau pikiran-pikiran tercela agar hatinya tidak melupakan Allah.

Mahabbah (Cinta)

Merasakan kerinduan merupakan wujud cinta yang kuat kepada Allah sehingga seorang sufi selalu berusaha untuk bersama-Nya dalam berbagai ibadah.

Raja’ dan Khauf (Harapan dan Ketakutan)

Raja’ dan khauf saling berhubungan. Apabila harapannya terlalu besar maka akan terbesit kesombongan, dan sifat khauf yang berlebihan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat kemaksiatan. Maka kedua sifat ini tetap diperlukan dengan kondisi yang stabil dalam pengharapan dan ketakutannya kepada Allah.

Al Uns (Intim)

Keadaan spiritual saat hati dipenuhi rasa cinta, kelembutan, keindahan, belas kasih, dan apunan dari-Nya. Seorang hamba yang merasakan Uns, dibedakan menjadi tiga kondisi; 

Pertama, mengingat Allah dengan berdzikir. Dalam praktiknya, seorang sufi saat sedang berdzikir adalah ketika mulut dan hatinya sudah terhubung dengan konsentrsi yang tinggi. Sehingga ketika mulutnya terhenti hatinya tidak lagi melupakan Allah dengan kenikmatan berkomunikasi (berdzikir) kepada-Nya. 

Kedua, seorang hamba yang merasa senang dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati yang menghalanginya untuk dekat dengan Allah. 

Ketiga, kondisi dimana tidak lagi melihat adanya suka cita sebab ada rasa yang melampaui kesusahan itu, yaitu ketaatannya kepada Allah.

Thuma’ninah (Ketenangan)

Rasa tenang atau tidak adanya kekhawatiran yang menggangu perasaan dan pemikiran. Kebersihan hati yang tinggi membuat seseorang merasakan ketenangan, bahagia, tentram, dan dapat berkomikasi dengan Allah.

Yaqin (Kepastian)

Sebuah kepercayaan (akidah) yang kuat dan tidak mudah goyah dengan kebenaran dan pengetahuan yang di milikinya. Kepastian membuat seorang sufi selalu siap mengembang beban dan menghadapi bahaya serta mendorongnya untuk lebih maju dari pencapaian yang di raih.

Dalam perjalanan spiritualitas yang panjang, akhwal yang diterima mungkin hanya salah satu dari berbagai macam yang sudah saya jelaskan. Kendati demikian, pendekatan diri kepada Allah harus tetap dilakukan walaupun tidak memiliki niat untuk terjun dalam dunia tasawuf dan menjadi seorang Sufi. 

Penulis: Rif'atul Maula (Mahasiswa Studi Agama-Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال