Kosep Zill Bayangan Allah dalam Tawasuf, Syariah dan Kalam


Zill artinya naungan, bayangan, lindungan, kekuasaan, kekerasan, kemewahan hidup. Dalam tasawuf, Zill diartikan sebagai wujud lain di luar wujud Tuhan. Dalam ilmu kalam berarti naungan Allah bagi orang-orang beriman dan beramal saleh di akhirat kelak. Dalam ilmu fiqih siyasah, Zill digunakan sebagai gelar kebesaran para Sultan pada masa Dinasti Ottoman.

Pak Sufi berpendapat bahwa Zill (bayangan) tidak mempunyai wujud yang mandiri. Keberadaannya tergantung pada wujud Allah. Alam semesta merupakan Zill yang keberadaannya diciptakan oleh Allah. Zill sering disebut dengan “ Wujud Idafi (Wujud Allah) sedangkan Wujud Hakiki (Wujud Allah) disebut dengan Wajib al-Wujud (Wujud Yang Pasti).

Upaya untuk memahami Zill tidak terlepas dari pemahaman Tajali Tuhan karena, Zill termasuk bagian dari martabat Tajali. Menurut Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri (Ulama tasawuf), Zat Allah bertajali melalui beberapa martabat. Martabat yang pertama adalah Ahadiat (Kemahaesaan). Pada martabat ini, Tuhan dipandang sebagai wujud mutlak yang transenden tanpa sifat dan nama. Karena itu, Dia tidak dapat diketahui oleh siapapun kecuali oleh Diri-Nya sendiri.

Martabat kedua adalah Martabat Wahdah (keunikan) yang disebut juga dengan Ta’ayyun Awwal (Penampakan Pertama) Nur Muhammad (Al-Haqiqah al Muhammadiyah). Pada martabat ini Tuhan menyadari Diri-Nya dan mengetahui kemampuan Zat-Nya bahwa diri-Nya yang ada. Dia mempunyai kemampuan untuk memanifestasikan diri-Nya sendiri.

Pada tahap ini terdapat empat sifat yang menandai kemampuan jatuhan yaitu wujud, ilmu, cahaya, dan syuhud (kesaksian diri Tuhan). Wujud dianggap sebagai perlengkapan zat dan mempunyai prioritas yang lebih rendah dari zat, karena zat bisa ada tanpa wujud. Akan tetapi, wujud itu sendiri merupakan zat. Ilmu juga identik dengan zat Tuhan, karena kesempurnaan ilmu tercapai dengan memahami objek yang diketahui.

Tetapi zat Tuhan tidak terbatas, karena kalau dibatasi oleh ilmu maka tidak dapat lagi dipandang sebagai zat mutlak. Konsekuensinya, ilmu Tuhan harus diakui sebagai sesuatu yang identik dengan zat-Nya. Begitu pula dengan cahaya dan syuhud, keduanya identik dengan zat-Nya.

Pada martabat ketiga yakni martabat wahidiyyah (kesatuan) muncul objek lain selain zat-Nya yaitu berupa prototipe-prototipe alam semesta (A’yan Sabitah). A’yan Sabitah adalah proses dalam ilmu Tuhan yang belum mempunyai wujud lahir. A’yan Sabitah tidak dapat dilenyapkan karena melenyapkannya berarti melenyapkan ilmu Tuhan. Dia bersifat abadi sebagaimana keabadian ilmu Tuhan.

A’yan Sabitah merupakan cerminan wujud Tuhan sedangkan Zill merupakan dunia lain yakni bayangan yang mengungkapkan diri melalui cermin tersebut. Sementara, pemantulan bayangan tersebut dinamakan Zuhur Az-Zill. Di sini, bayangan tidak dapat terlepas dari wujud cahaya. Jika tidak ada cahaya maka tidak ada bayangan, yang ada hanya kegelapan. Karenanya, alam empiris tidak dapat terlepas dari wujud Tuhan.

Zill yang pertama kali muncul adalah “Akal Pertama” yang merupakan bayangan Tuhan dengan nama-Nya, Al-Badi (Maha Suci). Kemudian muncul “Jiwa Universal” sebagai bayangan Tuhan dengan nama-Nya, Al-Ba’is (Maha Membangkitkan). Setelah itu muncul sifat universal yang merupakan wadah Tajalli nama Tuhan Al-Batin. Selanjutnya muncul Haba (debu) sebagai wadah Tajalli Tuhan Al-Akhir (Yang Akhir). Sampai tingkat ini semua Zill masih merupakan potensi tanpa wujud, dia baru ada dalam pengetahuan Ilahi.

Zill menjadi kenyataan ketika terjadi tajali syuhudi (penampakan lahir) Tuhan di luar diri-Nya. Pada tahap ini yang pertama sekali muncul ialah jasad universal sebagai Zill Tuhan dengan nama-Nya Az-Zahir (Yang Maha Nyata). Dilanjutkan dengan bentuk universal yang merupakan bayangan Tuhan dengan nama-Nya Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana).

Selanjutnya dengan nama-Nya Al-Muhit (Yang Maha Meliputi), Asy-Syakur (Yang Maha Melipatgandakan Pahala), Al-Gani (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Berkuasa), Tuhan membayangkan dirinya dalam Zill yaitu Arasy (Singgasana), Kuris, Falak al-Munazil (Bintang-bintang kristal). Setelah Falak al-Manazil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga keenam dan langit dunia.

Kemudian muncul pula air, angin, api, udara, hewan, malaikat, jin, manusia dan Insan Kamil. Masing-masing merupakan bayangan Tuhan dengan nama-nama-Nya Ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Qahir (Yang Maha Perkasa), an-Nur (Yang Bersinar), Al-Musawwir (Yang Membentuk Rupa), Al-Muhsi (Yang Mencatat), Al-Matin (Yang Maha Kokoh), Al-Qabid (Yang Membatasi), Al-Hayy (Yang Maha Hidup), Al-Muhy (Yang Maha Menghidupkan), Al-Aziz (Yang Maha Mulia).

Tuhan sebagai Wujud Hakiki dengan nama-nama-Nya yang mulia itu menampakkan diri dalam citra alam semesta yang serba ganda. Dengan demikian, Tuhan tetap Esa tetapi menampakkan dirinya serba ganda. Dalam hal ini, Tuhan adalah Wujud Hakiki sedangkan Zill-Nya adalah wujud majasi. Wujud majasi disebut juga Wujud Mumkin (Wujud Mungkin) yang keberadaannya tergantung pada Wujud Hakiki.

Dalam Ilmu Kalam, Zill merupakan naungan Allah atas orang yang beriman dan beramal saleh di panas teriknya padang mahsyar. Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa ketika segenap makhluk dibangkitkan di akhirat, semuanya dikumpulkan di padang mahsyar di bawah terik matahari yang sangat panas sehingga semuanya berkeringat (H.R Bukhari dan Muslim). Naungan yang demikian disebut Zill Allah Fi al-Akhirah (Naungan Allah di akhirat).

Dalam hadis dikatakan, ada tujuh golongan manusia yang dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama, Imam (pemimpin) yang adil. Kedua, pemuda yang mengabdi kepada Allah. Ketiga, laki-laki yang hatinya tertambat kepada masjid. Keempat, dua orang yang saling berkasih sayang pada jalan Allah, keduanya berpisah dan bersatu karena Allah. Kelima, seseorang yang bilang mengingat Allah di waktu sendirian maka keluar air matanya. Keenam, laki-laki yang dirayu oleh wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik untuk berbuat dosa pada dirinya kemudian laki-laki itu menjawab : bahwa saya takut kepada Allah Tuhan yang mengatur segenap alam. Ketujuh, seseorang yang bersedekah rahasia sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya. (H.R Bukhari-Muslim).

Imam Nawawi mengatakan ada dua pendapat tentang Zill Allah Fi Al-Akhirah. Pendapat pertama yang merupakan pendapat para ulama memandang bahwa Zill Allah Fi-Akhirah ialah Zill Al-‘Arsy (Naungan Arasy). Pendapat kedua dikemukakan oleh Muhammad bin at-Tayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Zill Allah Fi Al-Akhirah ialah Al-Karamah (kemurahan) dan Al-Kanf (lindungan) dan Raf’ an al-Makarih (terjauh dari kemurkaan) pada hari akhirat.

Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa lafal Zill dihubungkan dengan Arasy karena Arasy adalah tempat yang terdekat dengan masyhar dan Arasy itu sendiri menaungi segalanya termasuk matahari. Karena itu yang dimaksud dengan Zill adalah kemurahan dan lindungan Tuhan terhadap orang-orang tertentu.

Selanjutnya dalam Fiqih Syiasah, istilah Zill digunakan dalam pengertian Zill Allah Fi al-Ard (Bayangan Allah di muka bumi). Istilah itu dipakai para Sultan sebagai gelar kehormatan. Seorang Sultan dinamakan Zill Allah Fi Al-Ard karena secara teknis dia adalah ujung tombak pelaksanaan perintah Tuhan dalam mengatur rakyat dan ketatanegaraan di kerajanya. Dalam hadis disebutkan : Sultan adalah bayangan Allah  di muka bumi, tempat berlindung orang yang lemag dan penolong orang yang teraniaya. Barangsiapa memuliakan Sultan Allah di dunia, ia akan dimuliakan Allah pada hari kiamat (H.R Ibnu An-Najjar).

 

Ensiklopedia Islam

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال