Menjadi Katolik Bukan Berarti Menjadi Belanda

Menjadi Katolik Bukan Berarti Menjadi Belanda 

Oleh: Arif Wibowo

Menjadi Katolik itu bukan berarti menjadi Belanda, demikian pesan Van Lith kepada murid-murid pribuminya. Menjadi Katolik Jawa adalah sebuah keniscayaan, sebab elan vital agama itu bisa masuk ke kebudayaan dan peradaban manapun. Van Lith memang dikenang sebagai bapak misionarisme di Indonesia oleh umat Katolik, bahkan oleh Protestan Jawa.

Sikap Van Lith dan koleganya para Jesuit yang berkarya di Jawa Tengah pada masa itu berbeda dengan gereja resmi Belanda. Gereja resmi Belanda, beraliran Calvinisme, Protestan yang berhaluan midernis, diwakili Frans Lion Cachet, saat itu tengah mengkafirkan Kiai Sadrach yang menjawakan kekristenan. Van Lith bisa memahami jalan berfikir Sadrach tentang kekristenan dan kejawaan, sebab menurut Steenbrink keduanya pernah melakukan korespondensi.

Selain itu, para Yesuit yang berkarya di Jawa Tengah menyaksikan pola integrasi Islam dengan kebudayaan Jawa yang beragama, ada varian santri dan ada varian abangan, walau keduanya dibingkai dengan ikatan yang disebut Ricklefs sebagai sintesis mistik Islam Jawa. 

Santri adalah mereka yang memang terikat dengan teks Islam, sedangkan kalangan abangan mengikatkan diri mereka dengan Islam menggunakan tradisi, seperti tahlilan 7, 40, 100 sampai seribu hari peringatan kematian.

Untuk itulah, menjadi penting untuk merumuskan kekatolikan Jawa dan juga memasukkan nilai-nilai biblikal dalam kebudayaan Jawa, sehingga Islam tidak lagi menjadi identitas tunggal bagin kebudayaan Jawa. Dalam memasuki tubuh kebudayaan Jawa, pada awalnya van Lith sangat pragmatis. Misalanya van Lith meminta orang Katolik Jawa untuk tetap berkhitan, dibolehkan menghadiri selamatan orang Islam. 

Tidak berhenti sampai disitu, van Lith pernah mengusulkan supaya orang Katolik dikawinkan oleh penghulu, karena penghulu tidak dianggapnya sebagai pegawai atau pejabat agama, tetapi sebagai pegawai sipil semata. Yang penting formula perkawinan tidak didasarkan Islam. Eksperimen budaya yang dilakukan van Lith memang tidak selamanya berhasil, namun integrasi kebudayaan terus berlanjut.

Untuk bisa menjadi substansi baru sebuah kebudayaan, maka perjumpaan kekatolikan dan kejawaan harus berlangsung intensif. Metoda ini disebut sebaga gerakan inkulturasi kebudayaan.

Langkah awalnya adalah van Lith meminta murid-murid pribuminya untuk mengkaji kebudayaan Jawa. Sebut saja artikel karya Soegijapranata tentang tari-tarian orang Jawa, D. Hardjasoewanda tentang Masjid di Jawa, H. Caminada tentang jathilan atau kuda kepang, B. Coenen tentang wayang, J. Awick tentang gamelan dan C. Tjiptakoesoema tentang rumah para Pangeran Jawa dan Gereja Katolik Bergaya Jawa. Pembahasan, meliputi seni tari, musik, wayang, pakaian dan arsitektur.

Selaian masalah seni dan kebudayaan, juga dikaji pandangan hidup dan adat istiadat orang Jawa. Sebut saja artikel mengenai adat-istiadat dan kepercayaan tradisional Jawa ditulis antara lain oleh H. Caminada tentang cara orang Jawa menentukan hari baik dan hari buruk, H. Fontane tentang cara orang Jawa menyelenggarakan pesta.

A. Soegijapranata tentang orang Jawa dan agama yang dipeluknya, anonim, tentang orang Jawa dan arah mata angin, H. Caminada tentang takhayul Jawa dalam ngelmu tuju, J. Dieben tentang ilmu rasa, C. Tjiptakoesoema tentang ngelmu Jawa. Beberapa artikel yang ditulis non Jesuit antara lain tulisan August tentang arti nama bagi orang Jawa dan A.D. Nitihardjo tentang pesta sepasaran/lima hari kelahiran anak. 

Artikel-artikel tersebut oleh van Lith dimuat dalam majalah St. Claverbond, sebuah jurnal Katolik berbahasa Belanda yang terbit 10 kali dalam setiap tahun. 

Selain para murid pribumi, kalangan cendekiawan Jesuit juga mendalami falsafah kebudayaan Jawa. Ada satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari spiritualitas Jawa, yaitu disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit di tahun 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek - Litteratuur Piet Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa melalui telaahnya terhadap serat centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. 

Bahkan menurut Romo Dick Hartoko, saat memberi pengantar terjemahan disertasi Zoetmolder yang diterbitkan Gramedia di tahun 1990, aneka penelitian kebudayaan Jawa sampai tahun 90an, tidak mampu menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr. Zoetmulder setengah abad yang lalu. Zoetmulder dianggap berhasil menangkap isi hati orang Jawa. 

Apa yang dikemukakan Romo Dick Hartoko ini tercermin dari catatan khusus yang diberikan Prof. Mukti Ali, mantan Menteri Agama kepada Zoetmulder

"Bahkan menurut disebutkan disini pastor P.J. Zoetmulder, SJ, yang dengan serius mempelajari agama-agama di Jawa termasuk Islam, khususnya Islam Jawa. Ia banyak menulis brosur tentang Nabi Muhammad yang menunjukkan sikapnya yang simpatik sebagai seorang pastor muda di Indonesia sejak tahun 1925. 

Dalam bukunya Pantheism en Monism in de Javaansche Soeloek literatuur (1935) ia membahas aspek-aspek mistik Islam dan mistik Islam Jawa. Ada artikel pendek dengan bahasa Perancis yang membahas tentang kedatangan Islam di Indonesia dan Portugis Katolik di Maluku (L’Islam en Indonesie : la colision avec catholicisme, En Terre d’Islam (1938). 

Zoetmulder menghabiskan sebagian besar waktunya sejak tahun 1940 di Yogyakarta sebagai Guru Besar Filsafat dan bahasa Jawa di pelbagai universitas dan perguruan tinggi. Pembahasannya yang langsung tentang Islam di Indonesia terdapat dalam tulisannya ”Der Islam” dalam Waldemer Stohr and Piet Zoetmulder, Die Religionen Indonesiens (1965), yang dapat dikatakan informasi yang baik yang membahas tentang aspek-aspek sejarah, hukum Islam dan hukum adat, pendidikan Islam dan mistik Sumatra dan Jawa. Zoetmulder merupakan otoritas terkemuka dalam bahasa dan literatur Jawa kuno."

Pengakuan dari Prof. Mukti Ali ini menunjukkan posisi penting karya Zoemulder dalam pengembangan penelitian mengenai mistik Jawa. Menurut Zoetmulder.

Oleh karena itu, kalau sekarang ini kita menyaksikan pemegang otoritas kebudayaan Jawa adalah para cendekiawan dan budayawan Katolik, hal itu bukan muncul secara instan tetapi melalui sebuah proses perjumpaan dan dialektika panjang. 

Sebut saja penulis buku ajar etika Jawa, Romo Frans Magnis Suseno, di bidang arsitektur dulu Romo Mangunwijaya yang juga penulis novel Burung-Burung Manyar, ada juga Noverl Rara Mendut dan Anak Bajang Menggiring Angin, yakni Sindhunata. SH Mintarja. dengan Api di Bukit Menoreh, masih merupakan karya paling monumental tentang Mataram. Peletak dasar tari Jawa Modern, Bagong Kusudiarjo dan banyak nama besar lain.

Bukan hanya perjumpaan pada kulit luar kebudayaan tetapi juga pertemuan falsafati yang kokoh.

Sementara, di sisi yang lain, di kalangan umat Islam, upaya mempertahankan dan melanjutkan integrasi yang telah diletakkan dasar-dasarnya dengan kokoh oleh walisongo tidak lagi dilanjutkan. Bahkan pada beberapa kalangan, agama diposisikan sebagai polisi dan hakim kebudayaan, bukan teman dan guru yang menemani kebudayaan untuk berkembang. Di sinilah letak PR besar dakwah kebudayaan itu.

Rujukan:

  1. Y. Sumandiyo Hadi, 2006, Seni Dalam Ritual Agama, Penerbit Pustaka
  2. Karel Steenbrink, 1988, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, IAIN Sunan Kalijaga Press.
  3. Kareel Steenbrink dengan kerjasama Paule Maas, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri, cet. 1. Mei 2006, Penerbit Ledalero
  4. Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 114 – 1940, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
  5. Zoetmulder, P.J, 1990 (terjemahan), Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, Gramedia, Jakarta.
  6. Mukti Ali, H.A, 1990, Ilmu Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال