Peranan Partai Masyumi dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


Foto Presiden Soekarno dalam Konvensi Masyumi 1954


Majelis Syura Umat Islam (Masyumi) didirikan pada 7 November 1945 dalam suasaan revolusi yang sedang bergolak di Indonesia dan persaingan dengan berbagai kelompok idieologi. Inisiatif pemebentukan Partai Masyumi datang dari tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia. Di antara mereka adalah Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasjim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi dan Dr. Abu Hanifah.

Tokoh-tokoh di atas tidaklah asing dalam pergerakan politik, sosial dan keagamaan Indonesia. Agus Salim melupakan bekas tokoh partai modernis Sarekat Islam dan Pergerakan Penyadar. Dr. Sukiman juga mantan pemimpin utama Sarekat Islam dan kemudian pemimpin PII (Partai Islam Indonesia). Prof. Abdul Kahar Muzzakir dan Ki Hadi Bagus Hadikusumo adalah tokoh gerakan moderenis Muhammadiyah. Abdul Wahid Hasjim adalah tokoh Nahdatul Ulama. Mohammad Natsir dan Mohammed Roem dan Prawoto Mangusasmito adalah tokoh pemuda beraliran modrenis JIB (Jong Islamieten Bond). Dr. Abu Hanifah adalah tokoh golongan Intelektual.

Menurut beberapa tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi ada berapa pertimbangan yang mendorong mereka untuk membentuk partai ini menjadi partai tunggal Islam di Indonesia. Dari segi doktrin, tokoh-tokoh itu merujuk kepada Alquran yang memerintahkan agar umat Islam bersatu dan jangan berpecah belah. Perbedaan pendapat antara sesama kelompok Islam menurut mereka harus dilihat sebagai rahmat dari Tuhan karena perbedaan itu tidak bersifat fundamental Tetapi hanya berhubungan dengan masalah-masalah kecil.

Suasana yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah suasana yang sesuai untuk mendirikan partai dengan motif seperti di atas. Suasana lingkungan sosial dan politik ketika Masyumi dibentuk dapat digolongkan kepada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu suasana Revolusi Indonesia. Kedua, suasana persaingan antara berbagai golongan politik dalam masyarakat Indonesia. Suasana revolusi bermula sejak 17 Agustus 1945 ketika Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan itu dilakukan dengan cara revolusi yang tindakan cepat dilakukan dua hari setelah Jepang mengumumkan kekalahan mereka terhadap tentara sekutu setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Proklamasi kemerdekaan itu dilakukan secara mengejut sebelum Jepang menyerahkan seluruh kawasan Indonesia kepada Belanda yang didudukinya sejak 8 Maret 1942. Proklamasi Kemerdekaan kemudian dilanjutkan dengan perang kemerdekaan dan perjuangan diplomasi selama kurang lebih 4 tahun untuk mempertahankan kedaulatan negara yang baru.

Masyumi memiliki anggaran dasar yang disahkan dalam Angaran Dasar KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) pada tahun 1945 menyebutkan bahwa Masyumi dibentuk dengan dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah menegakkan kedaulatan negara Republik Indonesia dan Agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

 Penjelasan singkat mengenai kedua tujuan itu diuraikan dalam dua naskah resmi Masyumi yaitu pernyataan politik yang dikeluarkan pada 8 November 1945 dan program perjuangan Masyumi yang diumumkan pada 17 Desember 1945.

Pernyataan politik pada 8 November 1945 menjelaskan bahwa Masyumi dibentuk sebagai respon langsung terhadap Revolusi Indonesia yang sedang bergolak yaitu tekad bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Sebab, tindakan Belanda dan kelompok-kelompok kriminalnya adalah tugas membahayakan kedaulatan negara Republik Indonesia.

Padahal, tegaknya kedaulatan negara itu adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan terhadap terlaksananya ajaran agama Islam. Imperialisme apapun juga manifestasinya adalah suatu kezaliman yang melanggar peri kemanusiaan. Secara nyata ia diharamkan oleh agama Islam. Karena itu untuk mempertahankan kedaulatan negara setiap orang Islam wajib berjuang dengan jiwa harganya demi membela kemerdekaan negara dan agamanya sebagai Jihad fisabilillah.

Program perjuangan yang diumumkan pada 17 Desember 1945 menambahkan penjelasan di atas. Dikatakan bahwa perjuangan Masyumi adalah untuk melenyapkan kolonialisme dan imperialisme yang penuh dengan kepuasan, kekejaman dan Kepalsuan. Tanah air mestilah dibebaskan dari pemerkosaan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kolonialisme dan imperialisme.

Untuk itu umat Islam Indonesia harus berjuang dengan cara Sabilillah yaitu menegakkan kalimat Allah yang direndahkan dan dihinakan oleh kaum kolonialis dan imperialis itu. Ditegaskan juga bahwa agama Islam tidaklah memusuhi kaum-kaum dan penganut agama lain.

Islam Indonesia harus berjuang secara fisabilillah semata-mata karena kehendak membela dan mempertahankan diri dari serangan kaum-kaum yang memusuhinya. Penjelasan mengenai tujuan Masyumi yang pertama di atas mencerminkan sikap pragmatis dan kompromistis dalam menghadapi masalah konkrit yang terjadi dalam lingkungan politiknya.

Terlihat jelas bahwa tokoh-tokoh Masyumi melihat antara negara dan agama sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan yang satu mendukung yang lain.

Sikap pragmatis seperti di atas semakin jelas apabila dihubungkan dengan realitas empiris bahwa negara Republik Indonesia yang didirikan 17 Agustus 1945 itu apabila dilihat dari segi konstitusi tidaklah memberikan jaminan ataupun keistimewaan apapun kepada Islam, baik sebagai falsafah negara agama resmi negara ataupun pasal-pasal yang menjamin kedudukan hukum Islam di dalam negara.

Bahkan, tidak ada syarat yang menyebutkan bahwa presiden Indonesia haruslah seorang muslim. Masyumi memutuskan bahwa apapun corak dan sifat negara itu sepanjang ia tidak bertentangan  dengan prinsip-prinsip Islam, negara yang sudah ada itu wajib dipertahankan.

Untuk mencapai menegakkan kedaulatan negara, Masyumi melakukan dua cara yaitu cara pertama dimulai oleh Masyumi dengan menggunakan otoritas karismatik para ulama untuk mengumumkan perang Jihad fisabilillah untuk menghapuskan imperialisme dan kolonialisme serta mengusir penjajah yang kafir dari bumi Indonesia. 

Ulama-ulama Masyumi menegaskan bahwa kolonialisme dan imperialisme adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan perikemanusiaan. Oleh karena itu kaum kolonialis dan imperialisme telah merendahkan dan menghinakan Islam maka tidak ada pilihan lain kecuali kita wajib melawan mereka sebagai Perang Sabil. Masyumi sibuk memperkuat dua pasukan tentaranya yaitu tentara Hizbullah dan Tentara Sabililah. Masyumi juga sibuk mengumpulkan senjata sebanyak-banyaknya dan memobilisasi massa untuk ikut dalam perang kemerdekaan. Slogan Allahu Akbar dan merdeka atau mati dijadikan oleh Masyumi sebagai slogan revolusioner.

Cara kedua, Masyumi segera melibatkan diri dalam proses penyusunan pemerintahan. Hal ini memang tidak dapat dipisahkan dari partai itu, karena tokoh-tokoh Masyumi terutama dari generasi tua merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan sejak zaman penjajahan. Sebagian dari mereka bahkan diakui sebagai the founding fathers negara Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan, beberapa tokoh Masyumi telah ikut dalam kabinet parlemen dan jabatan-jabatan administrasi pemerintahan walaupun partai itu tetap kritis terhadap sikap Perdana Menteri Syahrir dari partai Sosialis  yang cenderung mengambil langkah berunding dengan pihak Belanda.

Masyumi memandang keterlibatan secara langsung dalam jabatan-jabatan kekuasaan negara sebagai suatu strategis untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dengan cara demikian hukum-hukum Allah tidak saja keluar dari mulut alim ulama di atas mimbar mimbar masjid tetapi juga keluar dari pejabat-pejabat pemerintah dan menjadi undang-undang negara. Sesuai dengan pandangan dasar yang positif menendang pluralisme dan kecenderungan realistis dan kompronisnya dalam menyelesaikan masalah, partai modernis seperti Masyumi tidaklah sulit untuk berkoalisi dengan pihak-pihak lain.

Cara ketiga, dilakukan Masyumi melalui aktivitas diplomatik, baik melakukan kontak dengan tokoh-tokoh di negara-negara lain, melibatkan diri jalan delegasi perundingan Indonesia menghadapi pihak Belanda maupun mengantarkan misi diplomatik ke berbagai negara dan organisasi internasional untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia.

Usaha Masyumi yang terakhir ini membuahkan hasil ketika misinya ke Timur Tengah diterima baik oleh pemimpin-pemimpin di kawasan itu.

 Mesir merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan kemudian disusul oleh Libanon, Suriah, Arab Saudi dan Irak. Pengakuan itu menyulitkan posisi Belanda karena negara itu selalu mempropagandakan bahwa perselisihan Indonesia Belanda adalah masalah dalam negeri Belanda. Dengan demikian, pihak-pihak lain termasuk perserikatan bangsa-bangsa menurut pemerintah Belanda tidak boleh campur tangan dalam perselisihan itu.

Kontak mencari dukungan oleh Masyumi mulai dilakukan pada hari pertama Masyumi didirikan. Pada 8 November 1945, Masyumi menghubungi Muhammad Ali Jinnah dan Pandit Jahavar Lal Nehru, miminta intervensi mereka dalam keterlibatan tentara Inggris asal India dalam pasukan sekutu yang terlibat dalam konflik dengan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.

Muhammad Ali Jinnah menjawab permintaan itu pada 11 November 1945. Melalui pidato dari radio Delhi, zinah menginstruksikan agar tentara India muslim tidak ikut bertempur melawan pejuang Indonesia. Empat hari kemudian, 400 orang tentara India Muslim melakukan disersi. Di Surabaya disersi itu melibatkan Kapten Mohammad Zia ul-Haqq yang belakangan jadi Presiden Pakistan.

Pada 8 November itu Masyumi menghubungi Raja Ibnu dan memohon agar beliau memaklumkan kemerdekaan Indonesia kepada jamaah haji yang sedang wukuf di Padang Arafah dan meminta agar jamaah haji mendoakan perjuangan bangsa Indonesia. Misi diplomatik itu terdiri atas Agus Salim, Mohammad Rasjidi dan Abdurahman Baswedan. Masyumi juga mengontak Abdurrahman Azzam yang saat itu menjabat sebagai sekretaris jenderal Liga Arab untuk meminta beliau agar negara-negara Arab segera mengakui kemerdekaan Indonesia.

Sumber : Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam desertasinya : Modrenisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Perbandingan Partai Masyumi (Indonsia) dan Partai Jama’at -i-Islami (Pakistan), diterbitikan Paramadina

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال