Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman pidana mati secara umum diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 10 KUHP menyebutkan hukuman-hukuman adalah :
a.   Hukuman Pokok :
1e. Hukuman mati;
2e. Hukuman penjara:
3e. Hukuman kurungan;
4e. Hukuman denda;
b.   Hukuman-Hukuman Tambahan :
1e. Pencabutan beberapa hak yang         tertentu,
2e. Perampasan barang tertentu,
3e. Keputusan Hakim.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendefinisikan hukuman sebagai suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Menurut Filosuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasar atas pepatah kuno :siapa membunuh harus dibunuh yang disebut teori pembalasan (vergeldings theorie).

Prof. Eddy O.S Hiariej dalam bukunya "Hukum Pidana" menyebutkan bahwa berdasarkan KUHP, jenis pidana yang diancamkan pun beraneka ragam yang secara garis besar ke dalam pidana pokok dan pidana tambahan. R.Soesilo menyebutkan bahwa  zaman dulu di Indonesia ada hukuman-hukuman seperti : dibakar hidup-hidup, dimatikan dengan menggunakan suatu keris, dicap bakar, dipukul, ditahan dalam penjara, bekerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.

Akan tetapi macam-macam hukuman itu sudah tidak dipakai lagi, dan sekarang hukuman yang sah adalah hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP. Kejahatan-kejahatan yang diancam hukuman mati misalnya makar membunuh kepala negara (Pasal 104 KUHP), melakukan pembunuhan berencana (Pasal 338 KUHP), dan lain sebagainya.

Hukuman mati diatur dalam Pasal 11 KUHP : " Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikat jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri". 

Prof. Eddy O.S Hiariej menyebutkan bahwa di banyak negara, hukuman atau pidana mati ini sudah dihapuskan. Pertama, pidana mati dianggap bertentangan dan hak asasi manusia. Kedua orang yang dijatuhkan pidana mati pada kenyataannya menjalankan dua jenis pidana sekaligus yakni pidana penjara dan pidana mati.
 Hal ini karena dalam masa penantian pelaksanaan pidana mati, pidana mendekam dalam penjara. Ketiga, jika ada kesalahan dalam penjatuhan pidana mati dan sinar pidana sudah dieksekusi maka tidak mungkin lagi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Prof. Eddy O.S Hiariej menyebutkan adapun negara-negara yang sampai saat ini belum menghapuskan pidana mati termasuk Indonesia berargumen : Pertama, tidak ada satu ajaran agama pun yang mengharamkan penjatuhan pidana mati. Kedua, dalam doktrin pidana, jika kejahatan yang dilakukan memiliki dampak yang luar biasa dan tidak ada peluang untuk memperbaiki pelaku maka pidana mati dapat dijatuhkan untuk melenyapkan pelaku. Ketiga pidana mati berfungsi sebagai General Preventie atau pencegahan umum terjadinya kejahatan.

Selanjutnya Ia juga menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap pidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya kekuatan hukum tetap dan kepala diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui Fiat executie (persetujuan Presiden RI).

Maka jelaslah di sini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penat yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.

Kontroversi Hukuman Pidana Mati di Indonesia dalam Pandangan Prof. Eddy O.S Hiariej

Prof. Eddy O.S Hiariej menyebutkan bahwa pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia namun terjadi hampir di seluruh negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktifitas hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Kecenderungan para ahli yang setujui pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dia rasa tidak dapat diperbaiki lagi sedangkan mereka yang kontak terhadap pidana mati lazim yang menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah dieksekusi dilakukan ditemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan Hakim.

Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazeweinkel Suringa, Van Hattu dan T.B Simatupang. Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaruan Hukum Pidana nasional yakni Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa hukuman pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaruan KUHP nasional.

Hal yang disampaikan oleh Barda ini hampir senada dengan hal yang pernah disampaikan oleh seorang Jenderal purnawirawan dan tokoh Gereja di Indonesia yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati dihapuskan keberadaannya di Indonesia namun dengan pertimbangan lain Ia juga secara tegas menyatakan pidana mati masih harus dipertahankan karena hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketentraman masyarakat.

Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Umum dan Militer

R. Soesilo menyatakan bahwa karena ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam pasal 11 KUHP ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa evolusi Indonesia, maka dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.

Dasar hukum pelaksanaan pidana mati diatur lebih rinci dalam Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960 dan Pasal 10 Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 dan Pasal 4 Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962 serta Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963 : "Dengan tidak mengulangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada dan tentang penjelasan putusan pengadilan maka pelaksanaan pidana mati dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau Pengadilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut".

Drs. C.S.T. Kansil, S.H dalam bukunya "Pengantar Hukum Indonesia Jilid II" menjelaskan rinci peroses pelaksanaan pidana mati. Ia menjelaskan jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

Kepala Polisi Komisariat daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanannya, menentukan waktu dan tempat pelaksaan pidana mati. 
Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Komisariat daerah tersebut dalam ayat 1 bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat 1 atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan JaksaTinggi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanannya.

Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya memberitahukan kepada sel pidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu maka Keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut. 

Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan. Pembela terpidana (Penasihat Hukum) atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari pidana dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

Untuk pelaksanaan pidana mati kepala Polisi daerah tersebut membentuk sebuah Regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tantama, di bawah pimpinan seorang Perwira dan semuanya dari Brimob. Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, tidak mempergunakan senjata organiknya. Regu Penembak ini berada di bawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, ke pidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani (tokoh agama). Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. 

Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati Komando pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain kecuali jika ada terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, Jaksa tersebut dalam pasal 4 dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan kata kakinya ataupun diikatkan dengan sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Setelah terpidana siap ditembak di mana dia akan menjalani pidana mati, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa. Jarak antara titik di mana terpidana berada dan Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

Apabila semua persiapan telah selesai maka Jaksa tersebut dalam pasal 4 memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberitahukan perintah supaya bersiap kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekan ujung laras senjatanya pada kepala l terpidana tepat di atas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat meminta bantuan seorang Dokter. 

Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memutuskan lain. Dalam hal tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya maka penguburan diserahkan oleh negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan yang dianut oleh terpidana. 

Jaksa tersebut harus membuat berita acara dari pelaksanaan pidana mati. Isi dari berita acara itu disalin ke dalam surat putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalin ke dalam surat putusan Pengadilan bersangkutan. Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال