Penyebab Mundurnya Umat Islam dari Pendidikan dan Faham Fatalisme Serta Solusinya Menurut Muhammad Abduh


Sumber Gambar : Alif.id

Prof. Harun Nasution dalam bukunya “ Pembaharuan dalam Islam” menjelaskan bahwa Muhmmad Abduh berpendapat penyebab mundurnya umat Islam adalah faham jumud. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis (tidak ada perubahan).

 Karena dipengaruhi paham jumud, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam berpegang teguh pada tradisi. Sikap ini diterangkan Muhammad Abduh dalam bukunya “ Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-Madaniyah”.

Sikap jumud tersebut dibawa ke dalam tubuh umat Islam oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di Dunia Islam. 

Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat istiadat dan faham-faham animustis, mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka perintah. 

Di samping itu mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan.

Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kedaan kebodohan agar mudah diperintah. 

Untuk itu mereka bawa ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pujaan yang berlebih-lebihan pada Syekh dan Wali, kepatuhan membuta pada Ulama, taklid pada Ulama-Ulama terdahulu dan tawakal serta penyerahan bulat dalam segala-galanya pada Qada dan Qadar. 

Dengan demikian membekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama kelamaan faham jumud meluas dalam masyarakat di seluruh Dunia Islam. Inilah sebenarnya yang pantas disebut “BID’AH”.

Sebagaimana Muhammad bin Abdul Wahab, Muhmmad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islamlah yang membuat umat Islam lupa akan-akan ajaran Islam yang sebenarnya. 

Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. 

Untuk mendorong umat Islam maju, faham-faham asing harus dikeluarkan dari tubuh umat Islam. Umat Islam harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-jaran Islam sebagaimana yang terdapat zaman Sahabat Nabi dan Ulama-Ulama besar.

Perbedaan Muhammad bin Abdulwahab dengan Muhammad Abduh adalah menurut Abduh tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu, sebagai yang dianjurkan oleh Muhamad Abdulwahab karena zaman dan suasana Islam sekarang telah jauh berubah dari zaman dan suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang. Penyesuaian Islam dan zaman modren harus dijalankan.

Menurut Muhammad Abduh, faham Ibnu Taimiyah membagi ajaran Islam atas dua ketegori yaitu kategori ibadah dan muamalah (hidup kemasyarakatan). 

Muhammad Abduh melihat ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci.

Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan ummat hanya merupakan dasar-dasar dan perinsip-prinsip umum yang tidak terperinci.

 Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis mengenai soal-soal kemasyarakatan itu, hanya sedikit jumlahnya.

Karena prinsip-prinsip itu umum tanpa perincian. Muhammad Abduh berpendapat bahwa semua itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.

Untuk menyesuaikan dasar-dasar itu dengan tuntutan zaman maka perlu diadakan interpertasi baru dan untuk itu perlu pintu Ijtihad dibuka. Muhammad Abduh berpendangan bahwa pintu Ijtihad bukan hanya boleh tetapi harus diadakan dan dijalankan.

 Orang yang boleh berijtihad harus tetap orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Yang tidak memenuhi syarat harus mengikuti pendapat seorang Mujtahid yang ia setujui fahamnya.

Ijtihad ini dijalankan langsung sesuai Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber yang asli dan ajaran-ajaran Islam. Pendapat-pendapat Ulama yang tidak sesuai zaman kagi tidak boleh diikuti bahkan Ijma’ (kesepakatan) mereka pun tidak mempunyai sifat ma’sum (infallible). 

Hukum-hukum mengenai kemasyarakatan (mu’amalah) perlu disesuiakan dengan zaman saat ini. Adapun ibadah antara Tuhan dengan manusia tidak lagi menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadah bukanlah lapangan ijtihad sebenarnya untuk zaman modren ini.

Dengan sendirinya taklid kepada Ulama tidak perlu dipertahankan bahkan mestri diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju. 

Muhammad Abduh dengan keras mengkritik Ulama-Ulama yang menimbulkan faham taklid. Muhammad Abduh berkata sikap taklid ini membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. 

Taklid ini menghamabat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, Syariat, sistem pendidikan dan sebagainya.

Sikap Umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat Ulama klasik dipandngan Muhammad Abduh berlainan dengan sikap umat Islam dahulu, padahal Al-Qur’an dan Hadis melarang umat Islam bersifat taklid.

 Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid berdasar pada kekuatan akal. Menurutnya, Al-Qur’an berbicara bukan semata kepada hati manusia tetapi juga pada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.

Muhammad Abduh berpandangan, mempergunakan akal adalah salah satu dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. 

Dalam Islamlah, akal dan agama mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. 

Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal maka harulah dicari interpertasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal. Keperecayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa.

Akal terlepas dari ikatan teradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akalah yang dapat menimbulkan ilmu pengetahuan. 

Ilmu-ilmu pengetahuan mordern yang banyak berdasar pada hukum alam (natural laws) tidak bertentangann dengan Islam yang sebenarnya. Hukum Alam atau sunnatulah adalah ciptaan Tuhan dan wahyu juga bersal dari Tuhan.

Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu-ilmu pengetahuan modren yang berdasar pada hukum alam dan Islam sebenarnya yang berdasar pada wahyu, tidak bisa dan tidaklah mungkin bertentangan.

 Islam mesti sesuai dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam. 

Untuk mencapai kemjuan peradaban Islam yang hilang, umat Islam harus kembali mempelajari dan mementingkan soal ilmu pengetahuan.

Free Will dan Free Act dalam Pandangan Muhammad Abduh

Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemuan dan perbuatan (free will dan free act atau Qadariyah). 

Dalam karyanya “Risalah Tauhid”, ia menyebutkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri dan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lkebih tinggi.

Analisa penulis-penulis Barat bahwa umat Islam mundur karena menganut faham Jabariah (fatalisme) dapat disetujui karena di kalangan umat Islam yang awam, faham Jabariah memang masih banyak. 

Di dalam Majalah Al-Urwah Al-Wusqa tahun 1884, Muhammad Abduh dan gurunya Jamaluddin al-Afghani menjelaskan paham Qada dan Qadar telah diselewengkan menjadi Fatalisme.

Faham Fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang dapat menimbulkan dinamika umat Islam kembali.

Menurut Muhammad Abduh, faham Fatlisme harus diubah menjadi faham Dinamika karena umat Islam akan dapat merubah nasibnya dengan usahanya sendiri.

Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelejari dan mementingkan ilmu pengetahuan adalah umat Islam harus mementingkan pendidikan. 

Sekolah-sekolah modern perlu dibuka di mana ilmu pengetahuan modern diajarakan di samping ilmu-ilmu Islam. Dan ke dalam Universitas Al-Azhar perlu dimasukan ilmu-ilmu modren agar Ulama-Ulama Islam mengerti kebudayaan modern dengan demikian mencari penyelesaian yang baik yang timbul dalam zaman modern ini.

Jika Al-Azhar memasukan ilmu-ilmu modern maka Al-Azhar menjadi Universitas akan berpangaruh besar pada kemajuan umat Islam. 

Namun usahanya untuk melakukan pemabaharuan di Al-Azhar mendapat banyak penentangan dari kaum Ulama-Ulama Konservatif saat itu. Muhammad Abduh juga memikirkan selolah-sekolah pemerintah yang menurutnya harus diajarkan agama. 

Muhammad Abduh menginginkan agar sekolah-sekolah pemerintah akan menciptakan ahli-ahli pengetahuan modren dan memiliki pengetahuan agama yang cukup, samahanya Madrasah yang harus memasukan ilmu-ilmu modern agar mereka menjadi Ulama-Ulama yang mengetahui ilmu-ilmu modern.

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال