Pembahasan Lengkap Hukum Pelaksanaan Qurban

   

Hukum Berqurban (Al Adla-Hi) dalam Syariat Islam

Kata “Al Adla-hi” itu, jamaknya dari kata “Udlhiyatun” dengan dhommah hamzah. Boleh kasrah hamzah dan boleh pula dibuang hamzah itu dengan fathah dha”, sehingga menjadi dhahhiyyah. Seakan-akan kata itu diambil dari nama waktu itu diisyaratkan penyembelihan Qurban. Berdasarkan itu maka dinamailah hari itu dengan Hari Raya Idul Adha. Dari sunnah terdapat riwayat dari Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata,

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir(HR. Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966). Dalam Hadis Lain disebutkan bahwa :

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا” – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat. (HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

 

Hadis ini dijadikan dalil (dasar) tentang kewajiban berqurban atas orang yang mempunyai kemampuan, karena sesungguhnya takala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang mampu berqurban namun tidak melaksanakannya untuk tidak mendekati tempat Shalat itu menunjukan bahwa dengan meninggalkan Qurban maka dia telah meninggalkan kewajibannya. Seakan-akan Nabi bersabda “ Tidak ada gunanya Shalat dengan meninggalkan kewajiban Qurban ini”. Kewajiban Qurban ini berdasarkan pula firman Allah : , فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Fashalli Lirabbika wanhar (Lalu Shalatlah kamu kepada Tuhanmu dan berqurbanlah). Juga berdasarkan Hadis dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة

 

Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban," (HR Abu Dawud). Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam itu menunjukan kewajiban berqurban. Mengenai kewajiban Qurban ini menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian Ulama lainnya. Imam Abu Hanifah semoga Allah merahmatinya mewajibkan Qurban atas Muslim yang kaya maupun yang miskin. Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa hukum berqurban itu tidak wajib karena Hadis yang pertama tadi adalah Hadis Mauquf (sanadnya hanya sampai kepada Sahabat Nabi). Sedangkan Hadis yang kedua, dinilai lemah  karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Kata Al-Khathabi : sesungguhnya Abu Ramlah itu orang yang tidak dikenal.

Lalu Firman Allah : فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ, ditafsirkan beragam oleh para Ulama. Seandainya benar ayat itu menjadi landasan wajib Qurban maka ayat tersebut menunjukan bahwa penyembelihan Qurban itu sesudah Shalat Ied. Jadi, ayat itu hanya menentukan waktu penyembelihan Qurban bukan menunjukan wajibnya. Seakan-akan Allah berfirman : Apabila kamu menyembelih Qurban maka lakukanlah sesudah Shalat Ied. Sesungguhnya Ibnu Jarir telah meriwayatkan Hadis dari Anas semoga Allah meridainya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah menyembelih Qurban selama beliau Shalat Ied lalu beliau diperintahkan lebih dahulu kemudian menyembelih Qurban.

Oleh karena kelemahan beberapa Dalil (dasar) tentang kewajiban berkurban itu, maka Mayoritas Sahabat Nabi, para Tabi’in, dan Fuqaha (ahli fiqih) menyatakan bahwa berqurban itu hukumnya Sunnah Muakkadah. Ibnu Hazm semoga Allah merahmatinya berkata bahwa tidak benar dari seorang Sahabat pun dari para sahabat itu yang berpendapat bahwa Qurban itu wajib. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Imma Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan seseorang di antara kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya”. Imam Syafi’i semoga Allah merahmatinya, berkata  Sesungguhnya sabdanya : “ seseorang di antara kamu ingin berqurban” itu menunjukan tidak wajibnya berkurban. 

Imam al-Baihaqi meriwayatkannnya dari sanad yang lain dengan susunna matan bahwa Nabi Muhammad Shallallu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Telah diwajibkan atasku berqurban dan tidak diwajibkan atas kamu sekalian”. Semua praktik para Sahabat Nabi menunjukan tidak wajibnya berkurban. Jadi, jelas bahwa hukum berqurban menurut Mayoritas Ulama adalah Sunnah Muakkdah. 

Sekedar penjelasan, Sunnah menurut Fuqaha adalah sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh syara’ kita mengerjakannya tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjukan kepada harus dilakukan. Prof. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya “ Pengantar Hukum Islam Jilid II” menjelaskan bahwa Sunnah artinya pekerjaan itu disuruh kita kerjakan, diberi pahala hanya saja tidak dihukumi berdosa orang yang meninggalkannya, hanya saja orang yang tidak mengerjakannya boleh jadi mendapat pencelaan, karena ia tidak memenuhi tujuan agama (syariat) atau yang lebih baik dikerjakan walaupun boleh ditinggalkan.

Perbedaan Sunnah dengan Mandub adalah jika Sunnah ialah yang selalu dikerjakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam dan Mandub ialah yang dikerjakan Nabi hanya sekali dua kali saja (jarang dilakukan) menurut Al-Qadli Husain semoga Allah merahmatinya. Ahli Ushul Fiqih membagi Sunnah kepada dua yaitu Sunnah Had-yin yaitu segala pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban agama dan Sunnah Za’idah yaitu segala pekerjaan yang Nabi kerjakan dan masuk urusan adat kebiasaan dan tidak ada celaan meninggalkannya.

Sementara Ulama Madzhab Syafi’iyah membagi Sunnah atas dua yaitu Sunnah Muakkadah yaitu sesuatu yang tetap Rasull kerjakan atau yang lebih baik dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa dia bukan Fardhu dan Sunnah Ghairu Muakkadah yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasull kerjakan sperti Shalat empat rakaat sebelum Shalat Dzuhur.

Jadi, yang dimaksud Hukum berqurban Sunnah Muakkadah adalah sesuatu yang lebih baik dikerjakan oleh setiap Muslim karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak meninggalkannya dan sesungguhnya pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ada teladan yang baik dan sempurna. Jika seseorang bernazar untuk berqurban maka hukumnya ia wajib melaksanakannya.

II.     Waktu Penyembelihan Hewan Qurban

Mengenai waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” Dalam Hadis lain disebutkan bahwa :

عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »

Dari Jundab bin Sufyan, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘Bismillah’. 

Jundab bin Sufyan semoga Allah merahmatinya pernah berhari raya Qurban bersama Rasulullah. Saat Nabi berkhutbah Shalat Ied, beliau melihat seseorang menyembelih seekor Kambing lalu Nabi bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum Shalat Ied maka hendaklah dia menyembelih seekor Kambing lagi sebagai gantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelihnya maka hendaklah dia menyembelih dengan menyebut nama Allah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Musli,m semoga Allah merahmati mereka.

Imam Syafi’i dan Imam Abu Daud semoga Allah merahmati mereka, berkata waktu penyembelihan hewan Qurban itu apabila sudah terbit Matahari dan setelah berlangsung Shalat Ied. Jadi, mayoritas Ulama berpendapat tidak sah Qurban sebelum selesai Shalat Ied dan dua khutbahnya. Selanjutnya seluruh Ulama bersepakat (Ijma’) bahwa waktu penyembelihan hewan Qurban itu dimulai dari hari ke sepuluh bulan Dzulhijah hingga dua hari sesudahnya.

 III. Hewan-Hewan yang Tidak Sah Dijadikan Hewan Qurban

Dalam hadits no. 1359, disebutkan,

وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – “أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا  وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ . وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ

Dari Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, “Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” Dikeluarkan oleh yang lima (empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban semoga Allah merahmatinya. Imam Al-Hakim semoga Allah merahmatinya menyatakan bahwa walau Hadis ini tidak diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, semoga Allah merahmatinya tetapi Hadis ini Sahih. Imam Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmatinya, bekata : Alangkah bagusnya Hadis itu. Imam At-Tirmidzi  semoga Allah merahmatinya, menyatakan Hadis itu Hasan.

Imam Syafi’i semoga Allah merahmatinya, berkata : Bukti hewan itu pincang adalah apabila dia terlambat dari Kambing atau hewan lain karena pincangnya itu. Terdapat juga larangan berkqurban dengan hewan yang Mushfirah yaitun hewan yang sangat kurus kering sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab An-Nihayah. Dilarang juha hewan yang Al Mashfurah yaitu hewan yang tidak mempunyai telinga. Yang Musta’shilah yaitu hewan yang patah tanduk dari pangkalnya. Hewan yang Najqa’u yaitu hewan yang sakit matanya serta dilarang juga hewan yang Kasra’u yaitu hewan yang patah kakinya.

  IV.     Batasan Umur Hewan yang Dapat Di Qurbankan

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian menyembelih kecuali Musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah Jadza’ah dari domba.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim, (HR. Muslim no. 1963). Musinnah adalah hewan yang tumbuh gigi yang berumur dua tahun masuk tiga tahun dari semua bianatang ternak dari Unta, Sapi, Kambing dan yang lebih kecil dari itu. Hadis itu menjadi dasar sebagian kecil Ulama menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak sah berqurban dengan hewan yang  berumur 4 tahun masuk 5 tahun (Jadz’ah) dalam semua kedaan kecuali sulit mendapatkan Musinnah.

Ibnu Umar dan Imam Az-Zuhri semoga Allah meridai mereka, menyatakan bahwa tidak sah berqurban dengan hewan Jadz’ah sekalipun dalam kesulitan. Selanjutnya, mayoritas Ulama berpendapat bahwa sah berqurban dengan hewan Kibas yang berumur 4 tahun masuk 5 tahun secara mutlak. Mereka menafsirkan sunnah saja berqurban dengan hewan yang Musinnah.

 Sebagai titik temunya adalah jika kesulitan mendapatkan Musinnah maka boleh berqurban dengan hewan berumur 4 tahun masuk 5 tahun. Unta minimal berumur 5 tahun lebih atau telah masuk tahun ke-6, Sapi atau kerbau minimal berumur 2 tahun lebih atau telah masuk tahun ke-3, Domba berumur 1 tahun lebih atau sudah berganti gigi,  Kambing berumur 2 tahun lebih atau masuk tahun ke-3

Sebagai tambahan, Ulama sudah sepakat boleh berqurban dengan semua hewan ternak dan mereka hanya berbeda pendapat hewan mana yang lebih utama.Yang lebih utama adalah Kambing berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Subulussalam karya Imam As-Shan’ani menyebutkan ada riwayat dari Asma’ semoga Allah meridainya, ia berkata bahwa : Kami berqurban bersama Rasulullah dengan seekor Kuda. Dan Abu Hurairah semoga Allah meridainya pernah berqurban dengan seekor Ayam jantan. Dan jika riwayat Abu Hurairah ini benar maka itu hanyalah Ijtihad beliau semata.

V.Hukum Berkurban Satu Ekor Kambing untuk Satu Keluarga

Dalil bahwa satu qurban bisa berserikat pahala untuk satu keluarga yaitu hadits dari ‘Atho’ bin Yasar, ia berkata :

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ada Hadis riwayat Ibnu Majah. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah,

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ. رواه أبن ماجه

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, “Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dua ekor kambing kurban pada waktu Idul Kurban. Saat menghadapkan keduanya beliau mengucapkan: ‘Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). Ya Allah (ini adalah) dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya.’.”Kemudian Hais yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ

Bismillah, Allahumma taqobbal min Muhammad wa aali Muhammad, wa min ummati Muhammad yang artinya "Dengan nama Allah Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad." Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam ketika menyembelih hewan Qurban berdoa “Ya Allah terimalah dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad” dan ini dijadikan dalil kuat bahwa boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu keluarga.

Selanjutnya, Dalam buku  Hukum-Hukum Fiqih Islam karya Prof. Muhammad Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan bahwa Imam Malik semoga Allah merahmatinya berkata bahwa boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu orang dan boleh juga satu ekor Kambing untuk satu rumah. Imam As-Shan’ani semoga Allah merahmatinya, dalam kitab Subulussalam menyebutkan kesepakatan Ulama bahwa satu ekor Kambing sah untuk satu orang dan untuk keluarganya atau rumah tangga berdasarkan perbuatan Nabi. Imam Malik semoga Allah meridainya dalam kitab Al-Muwatha’ menyatakan bahwa berdasarkan riwayat dari Abu Ayub Al-Anshari berkata bahwa : Kami berqurban seekor Kambing yang disembelih oleh seorang untuk dirinya dan keluarga rumah tangganya.

 Selanjutnya, seekor Unta untuk tujuh orang dan seekor Sapi juga untuk tujuh orang. Ishaq ibn Rahawih berpendapat satu ekor Sapi boleh untuk 10 orang. Boleh 7 orang tersebut berserikat menyembelih seekor Unta atau Sapi baik mereka satu rumah maupun berlainan rumah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seekor Unta itu untuk sepuluh orang.  Ibnu Rusyd kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa kesepakatan Ulama menyatakan bahwa tidak boleh perkongsian lebih daripada 7 orang untuk seekor Sapi dan seekor Unta.

Selanjutnya, Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam pernah berqurban dalam Haji Wada sebanyak enam puluh tiga ekor Unta untuk diri beliau dan menyerahkan kepada Imam Ali bin Abu Thalib semoga Allah meridainya, berupa tiga puluh tujuh ekor unta, jadi semuanya seratus ekor Unta. Jadi jika seseorang memiliki kelebihan harta dan kemampuan maka ia boleh dan lebih baik jika berqurban menyembelih hewan Qurban dengan jumlah yang banyak seperti yang dilakukan Nabi dan Imam Ali bin Abu Thalib.

    VI.   Cara Menyembelih Hewan Qurban

Hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

 “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR.Muslim). Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Standarisai Halal, syarat Penyembelihan menurut syariat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.   Yang boleh menyembelih hewan adalah orang yang beragama Islam dan akil balig (dewasa).

2.   Cara penyembelihan adalah sah apabila dilakukan dengan :

a.         Membaca “bismilah (dengan menyebut nama Allah)” saat menyembelih;

b.        Menggunakan alat pemotong yang tajam;

c.         Memotong sekaligus sampai putus saluran pernafasan/tenggorokan (hulqum), saluran makanan, dan kedua urat nadi;

d.        Pada saat pemotongan, hewan yang dipotong masih hidup.

3.   Pada dasarnya pemingsanan hewan (stunning) hukumanya boleh dengan syarat tidak menyakiti hewan yang bersangkutan dan sesudah di stunning hewannya masih hidup (hayat mustaqirrah).

4.   Pemingsanan secara mekanik, dengan listrik, secara kimiawi ataupun cara lain yang dianggap menyakiti hewan hukumnya tidak boleh.

Ketika akan menyembelih hewan Qurban maka hewan tersebut harus dihadapkan ke arah kiblat dan ketika menyembelih mengucapkan doa Sementara itu, apabila hendak menyembelih hewan kurban, maka dapat membaca doa sebagai berikut:

 

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

Arab-latin: rabbanā taqabbal minnā, innaka antas-samī'ul-'alīm, Artinya: "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

         VII.            Cara Pembagian Hewan Qurban

Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[  ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah). Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Dalam Kitab Subulussalam disebutkan Hadis itu menunjukan bahwa hewan Qurban itu disedekahkan kulit-kulitnya dan kotorannya untuk pupuk sebagaimana disedekahkan daging-daging dan tulang-tulangnya. Tidak boleh (Haram) hukumnya penyembelih mengambil sedikitpun  dari daging atau bagian tubuh hewan  Qurban itu sebagai upahnya dan ini merupakan kesepakatan Ulama.

 Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa Ulama sepakat bahwa tidak boleh menjual daging Qurban dan Ulama ada yang berpendapat boleh menjual kulitnya tetapi hasil dari penjualan kulit itu harus dibagikan semuanya kepada orang yang menerima Qurban.

Selanjutnya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “ Apabila sudah hari ke 10 Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu sekalian hendak berqurban maka jangan hendaknya dia jangan memotong rambut dan kukunya sedikitpun”. Maksud Hadis ini adalah bagi orang yang berqurban agar pada tanggal 10 Dzulhijjah agar tidak memotong kuku dan rambut orang yang mau berqurban agar tidak ada bagian tubuhnya yang terlepas sebelum diampuni dosanya oleh Allah. Tetapi sebagian Ulama menyatakan bahwa hal tersebut adalah Sunnah bukan termasuk haram.

Selanjutnya disunnahkan juga bagi orang yang mau berqurban untuk mensedekahkan daging Qurbannya dan memakannya sebagian. Mayoritas Ulama menyatakan bahwa hewan Qurban itu dibagi atas sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir dan miskin dan sepertiga lagi untuk orang yang berqurban. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makanlah kamu sekalian, sedekahkanlah dan simpanlah sebagian”.

 Tidak dibenarkan orang yang ditugaskan menyembelih hewan Qurban menikmati atau memakan bagian-bagian tubuh hewan Qurban yang akan dibagikan karena semua bagian tubuh hewan Qurban tersebut adalah hak si penerima hewan Qurban dan orang yang berqurban. Sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban setiap tindakan dan perbuatan. Selanjutnya para Ulama membolehkan membagian daging hewan Qurban kepada orang-orang bukan Islam.

Selanjutnya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya : “ Saya melarang kamu membagi daging Qurban itu lebih dari tiga hari agar cukup pemberian orang yang mampu kepada orang yang tidak mampu, maka makanlah sesuatu yang nampak ada bagimu, sedekahkanlah dan simpanlah sebagian”.

Selanjutnya, Dalam kitab “ Kado Sang buah Hati” karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah disebutkan bahwa boleh hukumnya aqiqah dan kurban digabung jika bertepatan dengan hari kurban karena tercapainya tujuan dengan satu penyembelihan. Jika ia menyembelih dengan niat beraqiqah dan berkurban maka hal itu boleh menurut sebagian besar Ulama. 

 VIII.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Hukum Qurban dengan Hewan yang Terkena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Tahun 2022

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa hukum berqurban dengan hewan yang terkena penyakit kuku dan mulut (PMK)  bernomor 32 tahun 2022 yang isinya bahwa :

a.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan seperti lepuh ringan pada cela kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan Qurban;

b.   Hewan yang terkena PMK dengan gejala klins kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban;

c.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala klins berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan Qurban (tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah) maka hewan sembelihan itu dianggap sedekah bukan hewan Qurban.

d.   Pelobangan pada telinga hewan (ear tag) atau pemeberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan itu sudah divaksin atau sebagai identitasnya tidak menghalangi keabsahan hewan Qurban itu.

Umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan Qurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan Qurban memenuhi syarat sah khususnya dari segi kesehatan dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Umat Islam Islam yang melaksanakan Qurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung peroses penyembelihan.

 

 

 



 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال