Memahami Islam Agama Kemanusiaan

 
(Sumber Gambar: Fitrah)

KULIAHALISLAM.COM - Dunia modern, di samping telah melahirkan kemajuan kemajuan yang positif bagi kemanusiaan, juga melahirkan ekses-ekses yang buruk, baik secara moral universal maupun moral agama, seperti kecenderungan sekularistis, ateistis, hedonistis, materialistis, individualistis, egoistis, dan sebagainya. Namun, sebagian orang yang melakukannya menganggap bahwa kecenderungan-kecenderungan semacam ini sesuai dengan naluri manusia yang menekankan pada kebebasan. Yang penting bagi mereka adalah bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak bertentangan dengan hukum.

Meski demikian, di antara orang-orang yang tidak beragama (agnostik, ateis) atau sekuler itu ada orang-orang yang memiliki pemikiran yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan pengalaman manusia serta menjadikannya sebagai landasan etika moral. Pemikiran yang notabene menekankan pada kebebasan manusia ini murni berorientasi pada manusia dan tanpa melibatkan agama sehingga kemudian disebut sebagai humanisme sekuler. Istilah "humanisme" pertama kali dipopulerkan secara filosofis oleh Friedrich Niethammer pada awal abad ke-19. Namun, sebagai gerakan kemanusiaan, sebenarnya humanisme ini sudah dikemukakan oleh para cendekiawan abad Renaisans (abad ke-14 sampai ke-17). yang mengekspresikan pandangan bahwa diri manusia sangat menentukan kehidupan di dunia ini dengan modal akal, bukan ditentukan oleh takdir Tuhan. Pada masa Renaisans ini pula, yakni pada abad ke-15, muncul humanisme Kristen, yang mengedepankan martabat kemanusiaan, kebebasan, dan kebahagiaan berdasarkan ajaran-ajaran Yesus, dengan tokohnya Jakob Wimpfeling, John Colet, dan Thomas More.

Sebagai agama samawi yang bersifat universal, Islam tidak hanya mengajarkan sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga ajaran ajaran tentang kemanusiaan, baik dalam bentuk etika dan nilai-nilai kemanusiaan maupun norma-norma hukum. Bahkan Islam juga menjelaskan tentang hakikat manusia dan sifat-sifat dasarnya, termasuk yang menjadi bahasan dalam psikologi humanistik. Oleh karena itu, banyak akademisi yang mengkaji humanisme dalam Islam, seperti Marcel M. Boisard, Lenn E. Goodman, dan Mohammad Arkoun. Demikian pula, kini sudah banyak kajian akademik tentang psikologi humanistik Abraham Maslow dalam perspektif Islam, seperti kajian yang dilakukan S. Muhammad M.J. Tehrani dan Robert Smither.

Agama Fitrah

Menurut Islam, manusia adalah makhluk yang dikaruniai Allah suatu kemuliaan (karamah) dengan bentuk fisik yang indah dan kemampuan berpikir ('aql, ratio) yang dilengkapi dengan hati nurani (qalb atau fuâd, conscience), sebagaimana disebutkan antara dalam Q.S. Al-Tin ayat 5: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". QS. Al-Isra' ayat 70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".

Baik akal maupun hati nurani bisa membedakan baik dan buruk serta benar dan salah meski penilaian akal dan hati nurani tentang baik dan buruk ini bisa berbeda antara seseorang dan lainnya, yang tidak terlepas dari subjektivitas dirinya dan pengaruh lingkungannya. Dengan kepemilikan akal dan hati nurani tersebut, manusia mempunyai sifat dasar (fithrah), yakni kecenderungan manusia kepada tauhid dan kebenaran (hanif), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 95: "Katakanlah, 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus (hanîf). dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik"; dan Q.S. Al Rum ayat 30: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanîf) kepada agama Allah: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

Dengan akal ini manusia bisa berpikir, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghasilkan konsep-konsep dan karya-karya pembangunan tentang berbagai aspek kehidupan sehingga manusia bisa menghasilkan peradaban (al-hadharah atau civilization) yang semakin maju. Sementara dengan hati nurani, manusia bisa memiliki kesadaran yang dalam dan halus yang terkait dengan aspek spiritual sehingga ia bisa memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang.

Sebagai agama yang hanif dan fithri, Islam, yang ajarannya mencakup kehidupan spiritual, personal, maupun sosial, telah menjadi motivasi dan pedoman bagi umat dalam menghasilkan peradaban Islam tersendiri, yang kini merupakan salah satu peradaban besar di dunia. Secara historis, peradaban Islam pernah mengalami masa kemajuan (golden age) pada abad ke-8 hingga ke-13. terutama di bidang ilmu pengetahuan, pada saat negara-negara lain di luar masyarakat Islam masih mengalami masa kegelapan (dark age). Namun kemudian, umat Islam mengalami kemunduran pada abad ke-13 sampai ke-16 dan terutama setelah Dinasti Utsmani berakhir pada 1924.

Islam juga membenarkan bahwa manusia mempunyai keinginan keinginan, baik yang merupakan keniscayaan (dharuriyyat) atau kebutuhan dasar maupun kebutuhan sekunder dan tersier. Secara psikologis, keniscayaan ini merupakan kebutuhan dasar manusia (human basic needs), yang cakupannya bervariasi, tetapi secara umum meliputi sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman.

Para ulama, terutama Al-Syathibi dan Al-Ghazali, merumuskan hal ini dalam bentuk al-dharûriyyat al-khams (lima keniscayaan). yakni agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql), harta (al-mål), dan keturunan (al-nasl). Sementara Abdul Wahhab Khallaf menyebutkan perlindungan kehormatan ('irdh) sebagai ganti perlindungan keturunan (al-nasl). Sejumlah ulama kontemporer, seperti Abn 'Asyur, memasukkan keduanya (al-nasl atau al-nasab) sehingga ia menyebutkan keniscayaan ini dengan istilah al-dharûriyyat al-sitt (enam keniscayaan). Pemenuhan keniscayaan atau kebutuhan dasar inilah yang menjadi dasar filosofis perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam Islam, yang harus dihormati oleh setiap orang.

Di antara keniscayaan-keniscayaan itu terdapat kebutuhan dasar yang menjadi keinginan manusia secara umum, seperti keinginan pada harta, biologis, dan anak, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 14:

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di ingini, yaitu wanita-wanita, anak anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)".

Pemenuhan keinginan-keinginan ini bersifat netral dalam arti bisa baik dan bisa buruk, tergantung dari niat, cara memperoleh, dan cara melakukannya. Keinginan seksual dibenarkan oleh Islam jika dilakukan melalui perkawinan, dan keinginan memperoleh harta juga dibenarkan jika diperoleh melalui cara-cara yang halal serta disertai dengan pelaksanaan kewajiban sosialnya (zakatnya).

Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan, baik yang positif maupun yang negatif. Kecenderungan yang positif, misalnya, kecenderungan untuk bermasyarakat, membantu orang lain, dan berprestasi (achievement), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Hujurat ayat 13 dan Q.S. Al-Maidah ayat 2: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran"; dan Q.S. Al-Baqarah ayat 148: "Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam) kebaikan".

Adapun kecenderungan yang negatif, misalnya, kecenderungan egoistis, tergesa-gesa, keluh kesah, kikir, dan sebagainya, yang antara lain disebutkan dalam QS. Al-Anbiya' ayat 37: "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera"; dan Q.S. Al-Ma'arij ayat 19-24: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, mereka yang tetap mengerjakan shalatnya, dan mereka yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu".

Islam juga membenarkan bahwa manusia mempunyai perasaan perasaan (emosi), seperti gembira dan sedih, suka dan benci, serta berani dan takut. Di samping itu, manusia juga memiliki keinginan keinginan (nafsu), yang dalam pengertiannya dalam bahasa Indonesia bisa bervariasi. Secara psikologis, nafsu diartikan sebagai suatu dorongan yang kuat dalam diri manusia dalam bertindak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan tertentu. Dalam perspektif Islam, nafsu terdiri atas tiga bentuk, yakni nafsu ammârah, yakni nafsu yang mendorong seseorang berbuat buruk (Q.S. Yusuf: 53); nafsu lawwamah, yakni nafsu yang mendorong seseorang mencela orang lain (Q.S. Al-Qiyamah: 2); dan nafsu muthmainnah, yakni nafsu yang tenang yang mendorong seseorang berbuat baik (Q.S. Al-Fajr: 27).

Hanya saja, karena manusia juga memiliki keterbatasan keterbatasan atau kelemahan-kelemahan (dha'if), sering kali ia tidak mampu mengendalikan nafsu yang buruk, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai hawa nafsu. Kelemahan manusia ini antara lain disebutkan dalam QS. Al-Nisa' ayat 28: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

Dengan hawa nafsu ini muncul kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh manusia, baik terkait dengan individu maupun kelompok atau negara. Adanya keserakahan, perampokan, pencurian, korupsi, penindasan, pembunuhan, pemerkosaan/perzinaan, dan penghinaan terhadap orang lain adalah bentuk dari ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu ini.

Di antara faktor yang memengaruhi kejahatan-kejahatan tersebut adalah kecenderungan seseorang untuk mendapatkan keuntungan atau membela dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu, Islam menyuruh setiap orang untuk bersikap adil dan tidak mengikuti hawa nafsunya walaupun terhadap dirinya sendiri dan keluarganya, sesuai dengan QS. Al-Nisa' ayat 135:

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan".

Bersikap adil juga dilakukan terhadap kelompok lain meskipun mereka adalah kelompok yang tidak disukai, sesuai dengan QS. Al Nisa'

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Di sisi lain, kedua ayat Q.S. Ali 'Imran: 95 dan QS. Al-Rum: 30 di atas menunjukkan bahwa semua ajaran Islam itu sesuai dengan naluri alamiah manusia, baik dari aspek ibadah maupun muamalah. Arti sifat alamiah ini adalah bahwa ajaran Islam itu sangat sejalan dengan sifat dasar dan nilai-nilai kemanusiaan, yang dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Ajaran Islam tidak hanya mendorong seseorang untuk memperbanyak ibadah, tetapi juga membenarkan aktivitas kehidupan manusia secara normal, misalnya makan. minum, tidur, nikah, dan bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Hal ini juga dilakukan oleh Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

"Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Adapun diriku, demi Allah Azza wa Jalla, aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, serta aku menikahi wanita. Barang siapa membenci sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku". (H.R. Bukhari-Muslim]

Di samping itu, Allah menetapkan ajaran Islam sesuai dengan kemampuan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al Baqarah ayat 286: "Allah tidak memberikan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapatkan pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya".

Karena mempertimbangkan aspek kemampuan manusia ini. maka jika seseorang dalam keadaan tertentu merasa berat (masyaqqat) untuk melaksanakan kewajiban agama karena ada halangan (uzur) sakit atau sedang bepergian, ia mendapat keringanan (rukhshah) untuk meninggalkan atau menguranginya. Orang sakit atau orang bepergian jauh, misalnya, boleh meninggalkan puasa dan menggantikannya di hari lain. Begitu juga seseorang yang sedang bepergian dalam jarak yang melebihi batas tertentu (sekitar 80 kilometer), ia bisa menggabungkan (menjamak) dan meringkas jumlah rakaat (meng-qashar) shalat.

Dispensasi tersebut diberikan karena pada prinsipnya agama Islam mengajarkan kemudahan, bukan kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 185: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu", dan Q.S. Al-Hajj ayat 78: "Dan sekali-kali Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan"; serta Hadits: "Mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira kepada mereka, jangan membuat mereka menjadi lari" (H.R. Bukhari).

Bahkan jika seseorang dalam keadaan darurat, suatu hal yang diwajibkan bisa ditinggalkan dan diganti dengan yang lain, atau suatu hal yang diharamkan bisa jadi dihalalkan (diperbolehkan) untuk sementara. Misalnya, shalat Jumat bisa ditinggalkan dan diganti dengan shalat Zuhur jika ada bahaya atau wabah yang mengancam jiwa, dan makan bangkai diperbolehkan bagi orang yang berada dalam keadaan darurat. Demikian pula penggunaan obat/ vaksin yang mengandung unsur alkohol atau babi bisa dihalalkan jika belum ada obat/vaksin lain yang tidak mengandung alkohol atau babi, sedangkan obat/vaksin itu sangat dibutuhkan untuk menjaga jiwa seseorang.



Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال