Pendapat Tarjih dan Rajih Itu Relatif


KULIAHALISLAM.COM - Syekh Muhammad Bin 'Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Hanbali rahimahullah berkata:

اعلموا وفقكم الله: إن كانت المسألة إجماعا، فلا نزاع، وإن كانت مسائل اجتهاد، فمعلومكم أنه لا إنكار في من يسلك الاجتهاد؛ فمن عمل بمذهبه في محل ولايته، لا ينكر عليه. وأنا أشهد الله وملائكته، وأشهدكم أني على دين الله ورسوله، وإني متبع لأهل العلم، غير مخالف لهم

"Ketahui oleh kalian semua—semoga Allah memberi kalian taufiq: apabila sebuah permasalahan itu telah disepakati oleh ulama (ijma'), maka tidak boleh ada pertentangan, dan apabila sebuah permasalahan tersebut termasuk dalam perkara-perkara ijtihad di sisi ulama (masail ijtihad), maka barang siapa yang beramal sesuai dengan pendapat mazhab yang dianutnya pada tempat yang berada di bawah kekuasaan, maka itu tidak boleh ditentang (tidak boleh diingkari)."

[مجموعة من المؤلفين، الدرر السنية في الأجوبة النجدية، ٥٨/١].

(Lihat Ad-Duraarus Saniyyah Fii Ajwibatin Najdiyyah, jilid 1, halaman 58).



Tatkala para sesama ulama salaf berbeda pendapat, maka perlu dipilih pendapat yang akan diikuti (mentarjih).

Anggapan bahwa wajib mengamalkan pendapat yang rajih (lebih kuat ditinjau berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah) diantara beberapa pendapat Salaf itu, memang merupakan anggapan yang benar. 

Akan tetapi mengenai mana pendapat yang rajih (lebih kuat berdasarkan dalil) dan mana pendapat yang marjuh (lebih lemah) adalah sesuatu yang relatif (sangat tergantung kepada orang yang memandang).



Sehingga sejatinya, orang yang memilih bermazhab kepada salah satu mazhab dia telah berfikih dengan mengikuti pendapat-pendapat yang rajih (lebih kuat berdasarkan dalil) menurut mazhab yang ia ikuti.

Sama saja juga terhadap orang yang memilih ikut saja kepada tarjihan Ustaznya yang entah lulusan Madinah ataupun lulusan Yaman. Sejatinya dia telah berfikih dengan mengikuti pendapat-pendapat yang rajih (lebih kuat berdasarkan dalil) menurut Ustaz itu.

Atau seseorang yang mampu mentarjih sendiri, maka dia telah berfikih dengan mengikuti pendapat-pendapat yang rajih menurut dirinya sendiri.

Kesimpulan:

Tidak perlu merasa bahwa pendapat yang Anda pilih itu "pasti paling rajih sekali". Sehingga seolah-olah orang yang berbeda sampai di tuduh "menolak Alquran dan Hadis" padahal bukan demikian.

Termasuk dalam hal ini adalah terjihan-tarjihan yang diputuskan oleh Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional Tarjih (Munas Tarjih) maupun yang difatwakan oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Itu semua harus dipahami pendapat-pendapat yang rajih—menurut Muhammadiyah—yang tidak dipaksakan kepada orang-orang non-Muhammadiyah.

Sebagaimana halnya jika Ustaz-Ustaz pentarjih, entah lulusan Madinah, Yaman, dan Mesir yang punya tarjihan-tarjihan yang berbeda dengan Muhammadiyah.

Maka tidak perlu juga memaksakan pendapat di Masjid-Masjid Muhammadiyah dan berupaya mengambil alih kepengurusan Masjid dari Pimpinan Muhammadiyah  

Kembali lagi tentang Tarjih dan Rajih itu relatif, hakikatnya tidak ada pendapat yang bernar-benar marjuh secara mutlak ataupun benar-benar raajih secara mutlak. Pada akhirnya tergantung kepada orang yang memandang.

Peringatan:

Kecuali terhadap pendapat nyleneh dan ganjil yang sudah jelas bathil, maka harus ditentang dan harus diingkari, namun pendapat yang sejenis ini tidak banyak dari ulama salaf.

Imam Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

لَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إلَّا خِلَافًا لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَرِ

"Tidak semua perbedaan pendapat itu langsung dianggap mu'tabar, bahkan perbedaan pendapat yang dianggap mu'tabar hanya perbedaan pendapat yang masing-masing pendapat punya dasar pijakan yang dapat diterima dalam disiplin keilmuan."

[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٢٠٩/٣].

(Lihat Tuhfatul Muhtaaji Fii Syarhil Minhaaji, jilid 3, halaman 209).

Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال