Kembali Kepada Al Qur'an dan Sunah yang Disalahpahami



Kembali kepada Al Qur'an dan Sunah yang disalahpahami. Ketika para cerdik pandai tidak mampu memahami dengan baik atas maksud dan tujuan syekhul Islam Ibnu Taimiyah atas seruannya kembali mempelajari Qur'an dan Sunnah bahkan cenderung di salah pahami dengan paham yang salah itu yang menjadi persoalan. 

Apalagi pemahaman yang keliru di karenakan guru-guru mereka melakukan agitasi dan provokasi kepada muridnya yang terjadi permusuhan kebencian yang tidak berkesudahan. Terjadi penghakiman sepihak, bukan menggunakan ilmu pengetahuan  untuk berargumentasi menghadapi sebuah tesis ilmu pengetahuan yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah namun lebih pada kebencian. 

Coba perhatikan bagaimana indahnya ketika terjadi perdebatan keilmuan yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam bukunya Tahafut Al Falasifah begitu tajam kritiknya terhadap para filsuf dan kita dapat menikmati perdebatan dalam bangunan ilmu pengetahuan yang berbasis pada kebenaran rasionalisme, yang kemudian kritik berbasis ilmu pengetahuan yang di lontarkan Imam Al Ghazali tidak luput dari ktitik Ibnu Rusyd dalam bukunya Tahafut At Tahafut. 

Ketidakdewasaan dalam memahami ilmu-ilmu Keislaman hanya karena katanya kemudian membuat kesimpulan keliru. Ini sangat berbahaya pergeseran dari cinta ilmu pengetahuan bergeser menjadi  cinta dan kultus individu.

Radikalisme dan intoleran sejatinya berawal dari kultus sesama manusia dengan mengantongi ilmu pengetahuan yang sangat minim. Mudah tersinggung, bersumbu pendek, merasa paling benar adalah gejala awal minimnya pengetahuan.

Seruan kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah tidak di maksudkan untuk tidak menghargai para sarjana dan ulama Islam. Justru kitab-kitab Islam yang di susun oleh para ilmuan Islam untuk dibaca dan di pelajari, buku yang mempunyai argumentasi benar kita ikuti yang tidak sahih boleh ditinggalkan tanpa mengurangi rasa hormat atau pencapaian para ilmuan dalam membangun teori pengetahuan.

Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin sang hujatul Islam Iman Al Ghazali menyampaikan bahwa belajar Al Qur'an dan hadis itu Fardu Ain sedang belajar ilmu hasil penyusunan teori yang dilakukan manusia di masukan dalam Fardu Kifayah.

Sebenarnya apa yang di upayakan oleh Al Ghazali itu senafas dengan yang diserukan oleh Ibnu Taimiyah. Jelas, salah pemahaman dengan paham yang keliru itu yang membuat Ibnu Taimiyah selalu di hakimi tanpa ilmu pengetahuan. 

Padahal kritik yang dilakukan tidak sama sekali menyangkut pribadi tetapi lebih pada epistimologi yang digunakan. Adapun pengikut sang idola memahami bahwa kritik itu adalah musuh yang berbahaya. Padahal kritik yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali adalah lebih pada penggunaan ilmu filsafat yang bertumpu pada kebenaran pengetahuan rasionallah sesungguhnya yang di kritik.

Sebenarnya Ibnu Taimiyah tidak keberatan bila Al Ghazali menggunakan rasionalisme untuk mendapatkan ilmu pengetahuan karena Al Qur'an sendiri juga mendorong manusia untuk menggunakan akal. Bagi Ibnu Taimiyah ada kebenaran diluar kebenaran rasional yaitu kebenaran indrawi atau kebenaran empiris yang harus dibuktikan. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa Al Qur'an dan hadist adalah sumber kebenaran.

Oleh karena itu tidak salah bila Ibnu Taimiyah menyerukan kepada kaum muslimin untuk kembali kepada Al Qur'an dan hadits. Karena sarjana muslim saat itu yang punya reputasi hebat di dalam filsafat tidak menyadari ada kebenaran di luar rasio manusia yang di ungkap Al Qur'an dan hadist.

Namun sayang niat baik Ibnu Taimiyah di salah pahami, pemikiran Ibnu Taimiyah tidak dikaji dalam ruang aktivitas intelektual, namun sebaliknya hanya dinyinyiri dan hujatan sebagaimana halnya yang terjadi dalam ruang politis. 

Sarjana muslim dari Abu Hanifah dan para imam mazhab sesungguhnya tidak hanya bertumpu pada logika semata, namun produk-produk ijtihad imam mazhab juga menyentuh dunia empiris. Namun belum sampai membuka pada tataran kebenaran empiris.

Selain Ibnu Taimiyah kita juga mengenal sosok Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan ahli kemasyarakatan yang berpengetahuan luas tentang peradaban dan sisi kultural masyarakat yang disajikan dalam mukadimah bukunya tentang sejarah.

Jadi ruang empirisme di dalam Islam sudah di kenal, baru melalui secara keilmuan oleh Ibnu Taimiyah yang didapat dari ayat Al Qur'an. Dari titik ini sebenarnya kita melihat urunan terbesar ummat Islam yaitu sumbangsihnya terhadap kemajuan sains modern. 

Ilmuan barat bertugas mengawinkan rasionalisme dengan metode deduktif yang dikembangkan bangsa Yunani dengan empirisme melalui. Metode induktif yang di kembangkan bangsa muslim dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Inilah kesepakatan besar para ilmuwan dalam membangun peradaban melalui sains. 

Oleh: Agung  Willis


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال