Sistem Khilafah di Indonesia (1)

Khilafah HTI (Sumber gambar : Tangkapan layar kanal YouTube CNN Indonesia)

KULIAHALISLAM.COM - Hingga kini membicangkan relasi Islam dan politik di Indonesia masih tetap menarik. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen. 

Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, semenjak era sebelum kemerdekaan, aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal. Dan hingga hari ini, aspirasi politik umat Islam bersifat heterogen bahkan terus terjadi kontestasi di internal umat Islam sendiri.

Bukti bahwa aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidak bersifat homogen, ini tercatat dalam sejarah dimana terjadi penghapusan tujuh kata piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 oleh BPUPKI. Ketujuh kata tersebut berbunyi: Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya.
 
Kompromi politik terjadi, karena ada ancaman bahwa Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri jika Piagam Jakarta tetap dicantumkan. 

Demi menyelamatkan kepentingan bangsa dan kepentingan nasional, akhirnya kelompok Muslim menerima penggantian Piagam Jakarta menjadi, Sila Pertama dari Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Era Reformasi telah memberikan ruang begitu besar untuk ekspresi politik di Indonesia. Pasca reformasi, geliat politik umat Islam cenderung meningkat (dampak dari iklim politik yang terbuka)

Berbeda dengan masa Orde Baru, dinamika politik dibatasi oleh kekuatan refresif Negara, kini ruang ekspresi politik malah terbuka luas bebas. Salah satu ciri yang membedakan dinamika politik umat Islam pada era Orde Baru dan pasca-reformasi adalah, kontestasi yang terbuka antar berbagai aliran.

Terlebih, ketika dinamika gerakan Islam di Indonesia diramaikan dengan hadirnya kelompok-kelompok yang sering diistilahkan dengan Islam trans-nasional, kontestasi itu menjadi semakin riuh

Sehingga berbagai model pemikiran sama-sama merasa memiliki keabsahan untuk mengampanyekan pemikiran dan sikap politiknya. Dua di antaranya yang paling menonjol, adalah fenomena Islamisasi satu sisi, dan sekularisasi di sisi yang lain.

Dulu perdebatannya hanya sebatas bentuk negara apakah berlandas syariat Islam atau demokrasi tanpa memperdebatkan masalah batas wilayah dan nasionalisme. 

Kini perdebatan ini semakin riuh dengan hadirnya gagasan Islamisme trans-nasional yang tidak hanya mengkampanyekan penegakan syariat Islam, melainkan juga menentang nasionalisme dan demokrasi karena dianggap diluar dari tradisi Islam.

Yang jelas, gagasan ini paling getol disuarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan jargon khasnya penegakan Khilafah Islamiyah diseluruh wilayah umat Islam. 

Melalui media-media, mereka mengkampanyekan keharusan membentuk sistem pemerintahan tunggal di dunia dengan wujud Khilafah. Kelompok ini juga paling sering mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia karena dinilai tidak bersesuaian dengan syariat Islam.

Syahdan, penting untuk di ingat bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia berbeda dengan daerah muslim yang lain, tanpa terjadi konflik yang berujung pada pengharusan peperangan.
 
Sejak awal penyebaran Islam di Indonesia, telah terjadi relasi yang begitu khas antara Islam dan tradisi sehingga melahirkan corak keberagamaan Islam di Nusantara. 

Para Wali Songo sebagai pihak yang paling berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia dalam dakwahnya tidak serta menghilangkan tradisi masyarakat, justru berbaur dengan masyarakat. Inilah yang menurut para ahli membuat Islam mudah diterima di Indonesia.

Ketiadaan benturan yang begitu berarti dalam dakwah Wali Songo di Indonesia karena format yang dipakai adalah tradisi sufistiknya. Proses Islamisasi seperti ini disebut sebagai bentuk penetrasi secara damai

Tradisi sufistik budaya ini bahkan dikembangkan dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan kebudayaan lokal. Kalau tradisi halal-haram diterapkan begitu saja dalam budaya, agama akan mengalami keterasingan dan kekeringan. 

Karena itu, para wali memilih jalan sufistik menuju Tuhan. Bahkan dalam kontribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden Fattah menjadi raja, namun secara de facto para wali yang memimpin spiritualitas bangsa.

Sudah jelas, sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandang Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, kontestasi gagasan mengenai bentuk Negara ini turut mengemuka. 

Meski sempat terjadi kompromi yang berimbas pada penghapusan Piagam Jakarta, perang wacana antara pengusung penerapan syariat Islam hingga yang menolaknya di Indonesia tidak pernah sepi hingga kini. 

Dalam sebuah catatanya, Abdurahman Wahid mengatakan, ketika para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menerima gagasan persamaan status hukum bagi semua warga negara RI.

Dengan melalui pencoretan Piagam Jakarta, ini praktis mematikan gagasan Negara Islam, hingga akhirnya kemudian menggantikannya dengan istilah Negara Pancasila.

Bahkan sepuluh tahun sebelum Proklamasi, dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama telah menetapkan sebuah landasan kokoh bagi tegaknya bangsa dengan memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam.

Melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami, dan sekaligus membolehkan pendirian negara bangsa.

Meski begitu dalam perjalanan bangsa ini, gagasan Negara Islam muncul kembali dengan berbagai variannya, ada yang menginginkan formalisasi syariat berbentuk Negara Islam dan ada yang memperjuangkan sebuah negara tunggal berbentuk Khilafah Islamiyah.  

Kemerdekaan Indonesia sempat terusik dengan berbagai pemberontakan-pemberontakan yang beberapa diantara menggusung ide negara Islam. Pemberontakan yang cukup berpengaruh adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII). 

Bahkan NII pernah menjadi suatu gerakan yang berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949.

Dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Kekuatan inipun dibungkam pemerintah melalui kekuatan militer karena dinilai makar terhadap pemerintahan yang sah.

Para penyeru Negara berbasis syariat Islam berpandangan bahwa, merealisasikan aspirasi mereka dalam kanca politik nasional secara formal merupakan sebuah kenicayaan, sebab sebagai mayoritas kemerdekaan negeri ini merupakan jasa dari masyarakat muslim Indonesia. 

Inilah yang melanggengkan seruan penerapan syariat Islam sejak dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Sedangkan disisi lain sebagian kelompok muslim dan nasionalis berpandangan bahwa demi menjaga stabilitas, negara ini harus berlandaskan negara bangsa bukan berlandaskan agama.

Bagi mereka, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara multireligius dan multietnis yang tidak mengistimewakan agama dan suku tertentu. 

Oleh karena itu, bagi mereka Pancasila sudah berkesesuaian dengan ajaran Islam. Syariat Islam juga tidak perlu dicantumkan secara formal sebagai dasar negara maupun dalam hukum formal negara. 

Bagi kelompok ini, meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun negara tidak membatasi aspirasi umat Islam dan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berkembang serta menjamin hak-hak sosial dan politiknya.

Pasca tumbangnya Orde Baru, ditandai dengan dimulainya era reformasi kini tampak beberapa ormas maupun parpol berpaham Islamisme yang bermunculan dan membawa misi yang sama yakni formalisasi syariat Islam. 

Diantara sekian ormas yang sejalur dalam perjuangan formalisasi syariah di Indonesia, salah ormas yang cukup getol dan vocal karena didukung dengan beberapa media adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sedikit berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok ini dikenal dengan jargon penegakan Khilafah Islamiyah sebagai bentuk pemerintahan tunggal seluruh negara muslim di dunia.
 
Kalau dilihat dari poin dasar perjuangannya, sebenarnya bukan merupakan gerakan baru di Indonesia. Apa yang diusung HTI, pada dasarnya sama dengan yang diusung gerakan Darul Islam (DI).

Dimana mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.

Perjuangan formalisasi syariat Islam di Indonesia memang tidak pernah sepi, meski sejarah telah memberikan pelajaran akan kegagalan mereka berkali-kali. Mengapa demikian? 

Karena hampir seluruh analis politik Indonesia, termasuk para Indonesianis, tidak yakin jika diminta memprediksi pergerakan politik Indonesia. 

Hal ini disebabkan dinamika politik Indonesia seringkali bergerak tidak linier. Sedangkan menganalisis politik di Indonesia tidak akan pernah lepas dari menganalisis nalar politik mayoritas masyarakatnya beragama Islam.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال