Khilafah Hanya Khayalan Bagi Indonesia (2)

Khilafah HTI (Sumber gambar : Tangkapan layar kanal YouTube CNN Indonesia)


KULIAHALISLAM.COM - Gus Dur menegaskan bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan ideologis dan platform politik. 

Pemahaman apapun yang berbeda apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan.


Dalam bingkai inilah, aksi-aksi pengkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.

Kelemahan pokok para penganut formalisasi syariat dalam bentuk negara adalah, mereka tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang multiinterpretatif, membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya. 

Meskipun pada tingkat yang paling umum hanya ada satu Islam, bentuk dan ekspresinya beragam, dari satu individu Muslim ke individu Muslim lainnya. 

Karena itu, bisa dipahami jika model teoritis di atas tidak bisa menjelaskan kenyataan bahwa banyak santri yang tidak saja bergabung dengan pengelompokan-pengelompokan politik non-Islam, melainkan juga menolak agenda-agenda politik rekan-rekan mereka sesama Muslim yang bergabung dengan partai-partai Islam.

Gagasan-gagasan formalisasi Islam dalam kehidupan bernegara, dalam banyak konteks sebenarnya bersifat utopis, karena tidak saja karena pendekatan mono-religius tidak sejalan dengan karakter politik bangsa Indonesia, tetapi juga karena sejumlah gagasan itu miskin kontekstualisasi dan sama sekali tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis masyarakat Indonesia. 

Sehingga lebih nampak sebagai utopia dari pada visi yang realistis. Fenomena kegagalan Islam Politik, tampaknya, bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad Mursi, tokoh Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik. 

Selama 1 tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik, yakni mengganti Konstitusi lama dengan Konstitusi Syariah. Padahal, bukan Syariah yang menjadi jawaban krisis multidimensional pasca penggulingan Presiden Hosni Mobarak dua tahun lalu. 

Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab oleh ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer. Disamping itu, masih cukup dominan kalangan Muslim berpandangan bahwa, Islam tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalan oleh ummah. 

Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi, harus diserahkan kepada akal manusia untuk memikirkannya, dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini.

Syahdan, menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara pun tidak dapat ditemukan dalam al-Quran. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Quran yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. 

Bagi mereka jelas bahwa al-Quran bukanlah buku tentang ilmu politik. Yang ada adalah bahwa al-Quran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etisis, mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. 

Untuk itu, kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dengan argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian formal dan ideologis tidaklah sungguh-sungguh penting. Yang terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. 

Jika demikian, maka tidak ada alasan teologis atau religious untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagau unit wilayah yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada landasan yang kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern.

Sebagaimana kalangan penggusung formalisasi syariat lainnya, pada dasarnya muncul karena melihat kegagalan umat Islam. Tepatnya pada pertengahan abad ke-19, umat Islam diliputi oleh rasa rendah diri atau, karena kondisi ini mereka berusaha untuk mengadakan konpensasi atau melarikan diri dengan bermacam-macam cara. 

Diantaranya adalah dengan mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhir wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan kejayaan).

Akibatnya berdampak dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam yang sangat besar dalam menafsirkan al-Quran. Ada juga pandangan karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu. 

Golongan formalisasi syariat ini mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekadar menghibur, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. 

Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara. Maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari.

Apa yang menjadi landasan Hibut Tahrir menegakkan khilafah pun dalam konteks ini masih debatebel, karena biar bagaimanapun konsepsi yang dibangun Hizbut Tahrir lahir dari ijtihad pendirinya terhadap nash al-Quran. 

Dibanding dengan ormas yang telah lama berdiri di Indonesia, Hizbut Tahrir belum memberikan kontribusi yang berarti bagi bangsa, bahkan justru gagal mentransformasikan nalar syariatik dalam sistem dan institusi politik yang lebih baik, karena masih terjebak pada konsepsi fikih abad pertengahan Islam. 

Ini memperkuat argumentasi bahwa menjadi formalisasi syariat tidak sepenuh menjadi solusi. Meski begitu, harus diakui juga bahwa memang demokrasi di Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya. 

Hadirnya kalangan fundamentalis, disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.

Namun, karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka mengambil jalan pintas bagi tegaknya keadilan, dalam hal ini melaksanakan syari’at Islam melalui kekuasaan. 

Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Peraturan Daerah. Dibayangkan dengan pelaksanaan syari’ah ini, Tuhan akan meridhoi Indonesia. 

Sebenarnya ekspresi-ekspresi seperti itu di dorong oleh niat yang tulus, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada kenyataannya lebih bersifat apologetik.

Anehnya, semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. 

Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal; bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca disini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik secara teori demokrasi diharamkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.

Masalah Indonesia, bangsa muslim terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecah oleh otak-otak sederhana yang memilih jalan pintas. Kadang-kadang dalam bentuk kekerasan. 

Penulis sadar bahwa demokrasi yang sedang dijalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال