Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Surat Al Maun


KULIAHALISLAM.COM - Tafsir Fi Zhilalil Qur’an : Di Bawah Naungan Al Qur’an lahir dari perenungan penulisnya (Sayyid Qutub) yang sangat mendalam dan interaksi yang begitu menyatu dengan Al Qur’an.

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan buah tarbiyah Rabbani yang dikaruniakan kepada seorang hamba yang telah menjual dirinya dengan syahid. Fi Zhilalil Qur’an lahir dari seorang mujahid agung yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya dalam gaya bahasa sastra yang tinggi.

Pada tulisan ini, akan dijelaskan Tafsir Surat Al Maun dari Tafsir Fi Zhilalil Qur’an tulisan Sayyid Qutub semoga Allah merahmatinya. 
 
Surat Al Maun


(Aro,aital ladzii yukadzdzibu bid diin. Fadzaalikal ladzii yadu’ul yatiim. Walaa yahudldlu ‘alaa tho’aamil miskiin. Fawailul lil musholliinal ladziina hum ‘an sholaatihim saahuun. Alladziinahum yuroo,uun. Wayamna’uunal maa’uun)

Artinya : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al Ma’un: 1-7)

Tafsir Fi Zhilalil Qur'an Surah Al Maun

Surah Al Maun adalah Surat Makkiyah menurut beberapa riwayat, dan menurut beberapa riwayat yang lain adalah Surah Makkiyah dan Madaniyah (yaitu tiga ayat pertama adalah Makkiyah sedangkan sisanya adalah Madaniyah). Surah Al Maun dengan tujuh ayatnya yang pendek ini memecahkan hakikat besar yang hampir mendominasi pengertian iman dan kufur secara total.

Lebih dari itu, Surat Al Maun mengungkapkan hakikat besar dan agung yang tersimpan didalamnya bagi manusia dan tentang rahmat yang besar yang dikehendaki Allah SWT untuk manusia yaitu dengan diutusnya Rasulullah SAW dengan membawa risalah terakhir ini.

Sesungguhnya Islam bukanlah agama simbol dan lambang semata. Tidak cukup beragama dengan simbol-simbol dan syiar-syiar ibadah saja kalau tidak bersumber dari keikhlasan dan ketulusan hati karena Allah SWT yakni keikhlasan yang mendorong dilakukannya amal saleh dan tercermin di dalam prilaku untuk memperbaiki dan meningkatkan kehidupan umat manusia di muka bumi.

Agama Islam bukan aturan-aturan parsial, terpilah-pilah, terbagi-bagi dan lepas satu sama lain yang dapat saja manusia menunaikan dan meninggalkan apa yang dikehendakinya. Tetapi agama Islam adalah manhaj “sistem” yang saling melengkapi, yang berinteraksi antara ibadah dan syiar-syiarnya dengan tugas-tugas individual dan sosialnya.

Semaunya bermuara untuk kepentingan umat manusia dengan tujuan untuk menyucikan hati, memperbaiki kehidupan, dan tolong-menolong antara sesama manusia dan bantu membantu untuk kebaikan, kesalehan dan perkembangan mereka. Pada semua itu, tercerminlah rahmat yang besar dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.

Kadang ada orang yang mengatakan dia adalah Muslim dan membenarkan agama ini dengan segala ketetapannya. Kadang dia melakukan shalat dan melaksanakan syiar-syiar lainnya selain shalat. Tetapi hakikat iman dan hakikat membenarkan agama masih jauh darinya. 

Karena hakikat ini memiliki indikasi yang menunjukan eksistensi dan kenyataan. Kalau indikasi ini tidak ada, tidak ada keimanan dan pembenaran itu, meskipun lisan telah mengucapkan dan orang itu melaksanakan simbol-simbol ibadah.

Sesungguhnya, hakikat iman apabila sudah meresap ke dalam hati, ia akan bergerak merefleksikan dirinya dalam amal saleh. Apabila tidak ada gerakan beramal saleh, ini menunjukan bahwa hakikat iman itu tidak ada wujudnya. Demikianlah yang ditetapkan surah Al Maun ini.

Tanda-Tanda Orang yang Mendustakan Agama Dalam Surat Al Maun

Surah ini dimulai dengan pertanyaan kepada setiap orang yang berpikir, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama itu ?”, dan orang yang dapat mendengar pertanyaan ini, untuk mengetahui kemana arah isyarat ini dan kepada siapa ia ditujukan ?

Untuk mengetahui siapa gerangan orang yang mendustakan agama dan orang yang ditetapkan oleh Al Qur’an sebagai pendusta agama, maka jawabnya adalah “Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Boleh jadi, ini sesuatu yang mengejutkan bila dibandingkan dengan definisi iman secara tradisional. Akan tetepi inilah persoaalan dan hakikatnya.

Bahwa orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim dengan keras, yakni menghina anak yatim dan menyakitinya. Juga tidak menganjurkan memberi makan orang miskin dan tidak suka memberi anjuran untuk memelihara orang miskin. 

Kalau hakikat pembenaran agama itu sudah manatap di dalam hatinya niscaya dia tidak akan membiarkan anak-anak yatim dan tidak akan berhenti menganjurkan memberi makan orang msikin. 

Hakikat “tashdiq (membenarkan)” agama bukanlah pernyataan yang diucapkan oleh lisan, tetapi ia bercokol di dalam hati dan mendorong yang bersangkutan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan kepada saudara-saudaranya sesama manusia yang membutuhkan pertolongan dan pemeliharaan.

Allah SWT tidak akan menghendaki pernyataan-pernyataan dari manusia, tetapi menghendaki pernyataan itu disertai dengan amal-amalan sebagai pembuktiannya. Kalau tidak pernyataan itu ialah debu yang tidak ada nilainya disisi Allah. 

Tidak ada yang lebih jelas dan lebih tegas daripada ketiga ayat ini di dalam menetapkan hakikat yang mencerminkan ruh akidah dan tabiat agama ini dengan cerminan yang lebih tepat. Kemudian, hakikat pertama ini diiringi dengan pemaparan salah satu gambaran praktisnya.

Sumber Gambar : umma.id

Gambar bertuliskan ayat diatas ini adalah doa atau ancaman kebinasaan bagi orang-orang shalat yang lalai dari shalatnya. Siapakah orang yang lalai dari shalatnya itu ? Mereka adalah “Orang-orang berbuat riya dan enggan menolong. ” Mereka mengerjakan shalat, tetapi tidak menegakan shalat. 

Mereka menunaikan gerakan-gerakan shalat dan mengucapkan doa-doanya tetapi hati mereka tidak hidup bersama shalat. Mereka melakukan shalat hanya ingin dipuji orang lain bukan ikhlas karena Allah. Karena itu mereka melalaikan shalat meskipun mereka mengerjakannya. Menegakan shalat itu adalah dengan menghadirkan hakikatnya dan melakukannya hanya karena Allah semata-mata.

Oleh karena itu, shalat yang semacam ini tidak membekas dalam jiwa orang-orang yang mengerjakan shalat tetapi lalai dari shalatnya. Karena itu, mereka enggan memberi bantuan dengan barang-barang yang berguna. Mereka enggan memberi pertolongan, enggan berbuat kebaikan dan kebajikan kepada saudara-saudaranya sesama manusia.

Mereka enggan memberi bantuan dengan barang-barang yang berguna kepada sesama hamba Allah. Seandainya menegakan shalat dengan sebenar-benarnya karena Allah niscaya mereka akan memberikan bantuan kepada hamba-hamba Allah. Karena yang demikian itu sumbu ibadah yang benar dan diterima disisi Allah.

Kita dapati nash Al Qur’an mengancam orang-orang yang shalat dengan “wail”, kecelakaan besar karena mereka tidak melaksanakan yang sebenarnya. Di balik semua ini, kita melihat sesuatu yang dikehendaki Allah terhadap hamba-hamba-Nya, ketika Dia mengutus Rasul dengan membawa riasalah-Nya supaya mereka beriman kepada-Nya.

Allah menghendaki bagi manusia kehidupan yang tinggi dan terhormat, yang berlandaskan perasaan suci, memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang bagus, dermawan, murah hati, cinta, bersaudara, bersih hati dan perilakunya

Sumber : Diringkas dari tulisan Sayyid Qutub berjudul "Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an Jilid 24" terbitan Gema Insani Press.



Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال